Entri Populer

Jumat, 05 Oktober 2012

Kekristenan Dalam Sejarah Indonesia

Ada suatu peristiwa sejarah yang perlu diketahui oleh gereja yang bisa kami tuliskan. Seperti kita ketahui, Islam dan Kristen sudah berebut pengaruh di Nusantara ini dimulai sejak abad ke-16 sampai dengan sekarang. Hal ini memang tidaklah mengherankan karena kedua agama ini sama-sama bersifat agama dakwah (misi), sehingga di lapangan terkesan saling bersaing dalam penyebaran agama.

Baiklah, sebelum jauh, kita sebentar ‘bernostalgia’ ke masa lampau dulu.

Gubernur Jendral VOC/Belanda (VOC=Vereenigde Oost-Indische Compagnie atau Kompeni India Timur), yang bernama Jan Pieterzoon Coen (berkuasa tahun 1619-1629) pernah mengenalkan suatu sistem ‘pembagian beras untuk iman’ yang dikenal dengan sebutan Kristen beras (rice Christians), dimana setiap anak yang mau belajar di sekolah Kristen akan diberi 1 pon beras. Jadi orang memeluk agama untuk mencari keuntungan materi semata-mata, kira-kira begitu maksudnya.

Trus, hubungannya apa? Konteksnya sekarang, bahwa apa yang populer dilakukan gereja dengan bagi-bagi sembako sebenarnya sudah dilakukan Belanda/VOC tahun 1600an lalu. Jangan heran jika sebagian saudara kita yang Islam curiga dengan kegiatan bagi sembako (atau bakti sosial) yang diadakan oleh kelompok orang Kristen sebagai cara-cara kristenisasi (padahal sebenarnya tidaklah seperti yang mereka maksudkan).

Belum lagi dengan semboyan Belanda pada waktu itu yang tidak menjadi berkat. Mereka mempunyai motto 3G. Lho, kok kayak istilah teknologi handphone saja? Hus, bukan. Ini maksudnya, Gold, Glory, Gospel. Dengan kata lain, mereka datang ke Nusantara dengan tujuan untuk cari emas, untuk mendapatkan kemuliaan atau kehormatan dan menyampaikan Injil. Jadi misi untuk menjajah dan misi untuk penginjilan menjadi satu. Kita tahu, penjajahan itu mengutamakan kekerasan, penindasan bahkan pertumpahan darah. Sementara inti pe nginjilan adalah menyampaikan Kabar Baik, mengajarkan kasih, kasih kepada Bapa dan kasih kepada sesama. Jadi, dua hal yang sangat bertolak-belakang ini dilakoni oleh Belanda/VOC kepada rakyat Indonesia pada waktu itu.

Dalam kehidupan sehari-hari pun, orang Belanda/VOC tidak menjadi berkat. Mereka memeras orang-orang pribumi, mereka menipu pemerintahnya sendiri (korupsi), mereka tidak menghormati perkawinan.

Mereka mengganggu wanita-wanita pribumi, mereka suka mabuk-mabukan, membuat keonaran. Dan pemerintah Belanda/VOC sendiri sampai harus membuat ancaman hukuman agar mereka mau datang kebaktian ke gereja karena sangat malas beribadah.

Tambahan lagi, baik orang Portugis maupun Belanda sama-sama memiliki dan memperjualbelikan budak-budak. Terutama pulau Bali yang merupakan daerah asal budak-budak. Padahal di Eropa pada waktu itu perbudakan sudah ditiadakan (tidak diperbolehkan). Karenanya gereja induk di Belanda sudah melarang, namun gereja di Indonesia tidak menghiraukannya. Hal ini disebabkan para pendeta sendiri biasanya mempunyai budak-budak (walau memang gereja di Indonesia menganjurkan agar budak-budak tersebut diperlakukan dengan sewajarnya).

Jadi keadaan-keadaan seperti yang disebutkan diatas sedikit banyak menjadi penghalang (batu sandungan) bagi pekabaran Injil di bumi Nusantara ini. Tidaklah mengherankan jika usaha-usaha penginjilan selama kurun waktu lebih 250 tahun (1522 s/d 1799) sangat mengecewakan. Dilihat dari segi jumlah, orang yang menjadi Kristen pada waktu itu hanya kira-kira seratus ribu orang, atau 400 orang saja dalam satu tahun. Dibandingkan dengan apa yang dicapai oleh penyebaran agama Islam pada periode yang sama.

Pada tahun 1500an agama Islam sudah dianut oleh penduduk Aceh, Sumatera bagian timur, Ternate dan pantai utara pulau Jawa. Kerajaan-kerajaan Islam pada waktu itu adalah : Samudra Pasai (sejak 1297 M) di Aceh, Demak (sejak 1515 M) di Jawa Tengah, Banten (sejak 1524 M) di Banten, Mataram (sejak 1591 M) di Jawa Tengah, Ternate-Tidore (sejak 1460 M) di Maluku, Gowa-Tallo (sejak 1605 M) di Sulawesi.

Dan tahun 1800, penyebaran agama Islam secara garis besar sudah menduduki daerah-daerah seperti yang kita kenal sekarang ini.

Baik, kita kembali ke cerita Belanda lagi. Pada bulan September 1901, di Staten Generaal, Ratu Wihelmina dalam pidato kenegaraannya, antara lain mengatakan:

“ Sebagai kekuatan Kristen maka Belanda berkewajiban untuk mengatur posisi hukum yang lebih baik bagi orang-orang Kristen pribumi di Hindia Belanda, untuk memberi dukungan lebih kuat terhadap penyebaran agama Kristen….”

Beberapa tahun kemudian, Gubernur Jendral Belanda, BC de Jonge tahun 1936, di harian Deli Courant mengatakan:

” Kami sudah berkuasa disini selama tiga ratus tahun dengan cambuk dan cemeti dan kami akan berbuat begitu tiga ratus tahun lagi.”

Pernyataan Ratu Belanda dan Gubernur Jendral Belanda ini menunjukkan arogansi penguasa dan ini tentu semakin menambah antipati rakyat Indonesia terhadap agama Kristen. Akibatnya, misionaris Kristen disamakan dengan penjajah yang harus dilawan. Harus diusir mati-matian. Agama Kristen dicap sebagai agama kaum penjajah. Dan, sadar atau tidak, sampai sekarangpun sikap penolakan/resistensi terhadap kekristenan masih kuat terasa.

Salah satu penyebabnya, karena adanya luka sejarah yang ’berdarah-darah’ yang dialami oleh rakyat Indonesia selama 350 tahun penjajahan Belanda. Bagi mereka, Kristen seperti momok yang menakutkan. Ingat Kristen langsung memory-nya ingat akan kekejaman dan pahit getirnya dijajah oleh Belanda, seperti yang sudah diuraikan tadi, ditambah lagi dengan isu tentang Perang Salib (tahun 1095-1291) antara kelompok Kristen dengan Islam.

Hal ini jauh berbeda dengan awal-awal masuknya agama Islam ke Nusantara yang dilakukan kaum saudagar dari Arab, Persia dan India (Gujarat). Mereka masuk dengan cara-cara yang simpatik seperti membina hubungan dagang, tinggal menetap di suatu daerah, melakukan kawin campur dan mengikuti gaya hidup masyarakat setempat sehingga mereka diterima dan menjadi anggota salah satu suku di daerah tersebut.

Singkatnya, dengan mengetahui sejarah kekristenan ini maka gereja bisa lebih luwes dan bijaksana dalam berinteraksi dengan saudara kita yang beragama Islam. Gereja jangan memandang mereka seperti seteru yang harus dijauhi. Ingatlah bahwa mereka juga keturunan Abraham dari Ismael, sama seperti kita adalah keturunan Abraham dari Ishak. Oleh karena itu, gereja harus bisa menunjukkan kasih yang nyata kepada mereka agar ‘sikap manis’ gereja tersebut tidak dicurigai sebagai ada udang di balik kwetiau dan mereka dapat ‘sembuh’ dari trauma masa lalu. Biarkan mereka melihat dan menilai sendiri bahwa orang Kristen sekarang, memang berbeda. Karena apa? Karena ada karakter sejati Yesus dalam pribadi setiap umat Tuhan.

Matius 5: 9, “ Berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah”.

Kata kuncinya, membawa damai. Atau dalam versi New King James dikatakan peace-maker. Pembuat damai. Bukan menjadi trouble-maker, pembuat masalah. Jika kita pembawa damai atau pembuat damai maka kita akan disebut anak-anak Allah. Pertanyaannya, anak Allahkah kita? Kita jawab masing-masinglah dengan jujur.

Dalam Matius 5:13 dikatakankan agar kita menjadi garam dan terang dunia. Bukan menjadi gincu dunia! Garam bersifat memberi rasa tetapi tidak kelihatan. Sedangkan gincu bersifat kelihatan (memberi warna) tetapi tidak memberi rasa. Gereja dewasa ini cenderung lebih suka menjadi gincu dari pada garam. Suka pamer. Eksklusif. Tidak berbaur. Tidak manunggal dengan masyarakat sekitar. Padahal tujuan menggarami bukan dimaksudkan di tempat yang sudah ada garamnya karena hakekat garam diperlukan untuk memberi rasa, memberi dampak, memberi manfaat.

Istilah dalam bahasa Arab dikatakan, “khoirunas ‘anfa’uhum lil an-nas” artinya sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat bagi sesama.

Markus 9:50, “ …hendaklah kamu selalu mempunyai garam dalam dirimu dan selalu hidup berdamai yang seorang dengan yang lain.”

Sementara, menerangi bukan dimaksudkan di tempat yang sudah ada terangnya karena hakekat terang dibutuhkan di tempat yang gelap. Kalau terang di tempat terang, hanya membuat silau mata saja, alias orang Kristen lagi-lagi jadi eksklusif dan jadi eksklusif orang Kristen lagi-lagi.

Matius 5:16, “ Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya di depan orang supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di sorga.”

Benarlah petuah orang Jawa yang mengatakan, urip iku urup. Hidup itu nyala! Maksudnya, hidup itu kudu membawa manfaat. Bermanfaat bagi sesama, baik itu manfaat secara materi, jasmani juga rohani.

Saudaraku, bagaimana gereja bisa memenangkan banyak jiwa bagi Kristus, jika gereja sendiri belum menjadi pembawa damai, pembuat damai? Jika kita belum menjadi garam dan terang dunia? Bukankah nanti kita malah menjadi batu sandungan? Itulah sebabnya, sebelum Yesus memerintahkan murid-murid, seperti tertulis dalam Matius 28: 19-20, “Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa, dan Anak dan Roh Kudus, dan…”, secara tidak langsung Yesus terlebih dahulu melakukan ‘pembekalan’.

Sekali lagi, pembekalan, dengan menyampaikan kotbah di bukit, Matius 5, yang salah satunya disebut dalam ayat 9 dan ayat 13-16, seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya. Dan contoh lain juga sebagaimana tertulis dalam Matius 10 ayat 16 dan seterusnya, tentang domba di tengah-tengah serigala (akan dijelaskan di bab selanjutnya). Atau dengan kata lain, sebelum diterjunkan ke ’hutan belantara’ untuk memenangkan jiwa. Yesus terlebih dahulu mempersiapkan mental, karakter dan spiritual para murid.

Baiklah, berapa banyak hamba Tuhan yang ‘jagoan’ berkotbah di mimbar-mimbar gereja atau KKR disana-sini, namun watak atau karakternya masih jeblok? Saudara mungkin bertanya, memangnya ada yang begitu? Ya adalah pak, bu, om, tante, sis, brur. Jika tidak begitu, mana mungkin Tuhan mengatakannya dalam Matius 7:22-23 ?

“ Pada hari terakhir banyak orang yang akan berseru kepada-Ku : Tuhan, Tuhan, bukankah kami bernubuat demi nama-Mu dan mengusir setan demi nama-Mu dan mengadakan banyak mujizat demi nama-Mu juga? Pada waktu itulah Aku akan berterus terang kepada mereka dan berkata: Aku tidak pernah mengenal kamu! Enyahlah dari pada-Ku, kamu sekalian pembuat kejahatan!”

Jika diperhatikan dengan seksama, firman Tuhan ini sebenarnya bicara blak-blakan tentang dikotomi antara buah Roh (Gal 5:22-23) dengan karunia Roh (1 Kor 12+14). Bukankah buah Roh menunjuk kepada karakter/sifat manusia, sedangkan karunia Roh, sesuai namanya adalah pemberian kasih atau anugerah dari Roh Kudus?

John Maxwell, seorang pendeta sekaligus penulis tentang kepemimpinan yang terkenal, mengatakan, “Talenta adalah karunia, namun karakter adalah pilihan.” Artinya, karunia-karunia Roh berasal dari Tuhan (faktor luar), jadi mau dberikan kepada siapa atau mau diambil kembali atau tidak, itu haknya Tuhan. Tapi, karakter adalah faktor internal manusia. Apakah mau berubah atau tidak, pilihannya ada di tangan kita (free-will). Jadi, sekali-kali jangan pernah bangga de ngan karunia-karunia Roh yang ada pada kita, tapi lebih dari itu, banggalah dengan buah Roh yang kita hidupi dalam kehidupan kita sehari-hari, agar kelak di penghakiman-Nya, kita tidak ditolak-Nya.

Oke, kita kembali ke topik semula.

Sebenarnya kegagalan penginjilan di zaman VOC / Belanda dulu, adalah karena tidak sinkronnya (sesuai) antara perkataan (ajaran) dengan perbuatan. Buah Roh (kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemah-lembutan, penguasaan diri) tentu tidak ada pada orang yang menjajah! Apalagi dengan semua yang dilakukan Belanda sebagai penjajah. Wah, parah! Betul-betul rakyat diperas-ras-ras sampai habis-bis-bis. Jadi bagaimana Belanda mau menjadi garam dan terang dunia? Tidak heran kalau waktu itu ajaran Kristen sama-sekali kehilangan daya tariknya dibandingkan agama lain.

(Kata orang, masih mending dijajah Inggris. Lihat saja negara bekas jajahan Inggris, semuanya oke-oke alias makmur, dibandingkan negara bekas jajahan Belanda. Makanya perkumpulannya saja disebut ‘Negara Persemakmuran’).

Tapi bagi saya, yang namanya penjajah adalah penjajah. Tetap tidak Alkitabiah titik. Mau Belanda kek. Inggris kek. Perancis kek. Sama sajalah. Paling hanya beda kemasannya saja. Iya kan?

Oleh karena itu, belajar dari sejarah, maka gereja bisa mengambil hikmahnya. Kesalahan atau kelemahan komunitas Kristen waktu itu agar tidak terkondisikan lagi sekarang ini.

“Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah, apa yang baik, yang berekenan kepada Allah dan yang sempurna.” Roma 12:2.

Biarlah orang-orang dunia melihat dan merasakan sendiri bahwa orang Kristen sesungguhnya adalah pembuat damai, pembawa damai yang penuh kasih agape kepada sesama, yang bisa menggarami dan menerangi sehingga Injil dengan sendirinya akan jauh lebih mudah diterima. Atau dengan kata lain, gereja bisa menjadi Injil yang terbuka. Tentu ini bukan perkara gampang. Namun dengan pertolo ngan Roh Yesus, kita pasti bisa dimampukan untuk itu.



Ev. Markus HLS
http://elrasa.wordpress.com/sejarah/bab-5-sejarah-kristen/