Entri Populer

Minggu, 02 Desember 2012

YANG UTAMA DAN TERUTAMA BAGI PERTUMBUHAN GEREJA, PERAN DAN PEMIKIRAN, SERTA KONTRIBUSINYA BAGI PEMBANGUNAN BANGSA



I.          PENDAHULUAN
Hendrik Kraemer pernah berkata, bahwa pemimpin gereja, maupun pengembangan/ pertumbuhannya yang terbaik bagi gereja-gereja di Indonesia adalah orang-orang Indonesia sendiri. Dengan dasar pertimbaganan tersebut diharapkan orang-orang Indonesia dapat meneruskan tugas panggilan gereja di Indonesia dalam waktu tidak begitu lama, dengan harapan gereja-gereja yang dipimpin oleh misionaris secara bertahap dipimpin oleh pendeta pribumi (orang-orang Indonesia).
Choan Seng Song, teolog Taiwan yang menggagas teologi kontekstual, berpendapat bahwa kebudayaan Asia adalah wadah yang paling tepat bagi Injil Yesus Kristus untuk masyarakat Kristen di Asia.Pengalaman ini ratusan tahun kekristenan di Asia masih terbungkus oleh budaya Barat. Barat memang menarik (mungkin dominan) juga ketika mereka ke Asia pada abad ke 16, untuk mendapatkan rempah-rempah. Disamping mendapatkan secara langsung rempah-rempah mereka mewartakan Injil yang indah untuk orang-orang Asia. Kekristenan (Protestan lahir pada abad ke 18) sejak itulah kekristenan Barat di Indonesia sampai usainya Perang Dunia II, bertumbuh, namun lambat tidak secepat yang dibayangkan, dibanding dengan misinya pekabaran Injil di Asia, khususnya di Indonesia. Para Misionaris yang datang ke Indonesia adalah orang-orang Barat (Misionaris Pietisme) sebagai orang Barat memiliki budaya Barat. sebagai orang pietisme, mereka mencurigai terhadap nilai-nilai di luar kitab suci. Akibatnya terjadilah pengeliminasian budaya Indonesia di dalam kekristenan yang ada di Indonesia. Orang-orang pribumi yang menjadi kristen dilepaskan dari akar budayanya. Salah satu istilah ejekan kepada orang-orang Kristen yang meninggalkan budaya Jawa ialah “Londo ireng”. Namun budaya Baratbelum dia miliki. Ternyata apa yang dikatakan “Sadhu Sundar Sing” (penginjil India) kekristenan berbaju Barat kurang dapat diterima di Asia. Pertimbangan tersebut, meyakinkan kekristenan di Asia tidak berkembang hanya + 10 % di Asia. Dalam konteks Indonesia, menjadikan kekristenan berbudaya Indonesia. untuk menjadikan kekristenan eksis dan bertumbuh di Asia, salah satu caranya ialah menjadikan kekristenan berwajah Asia, dan di Indonesia menjadikan kekristenan berwajah kebudayaan Indonesia. Dalam pengamatan saya, semangat untuk membawa Injil ke dalam konteks Indonesia tidak terlihat di berbagai wilayah/daerah Indonesia, dengan pemakaian atribut budaya yang telah dilakukan. Tetapi terbatas kontekstualisasinya, masih terkesan kegamangan untuk masuk lebih dalam dan kekristenan menyentuh daerah terlarang “Sinkritisme”.Melalui paparan ini, saya mencoba menyampaikan suara hati orang-orang kristen di Indonesia, mencari fondasinya pada Injil dan membandingkannya dengan wajah kekristenan umum di Indonesia. Kesimpulan saya selaku pejabat Ditjen Bimas Kristen, masih banyak yang harus dikaji dengan penuh keterbukaan hati dan keberanian untuk demi kemuliaan nama Tuhan melalui Injil Yesus Kristus dan demi menjaga istilah yang sering muncul kepermukaan bahwa Kristen di Indonesia adalah Kristen kebarat-baratan.
1.        Kuasa dan Wibawa bagi Pertumbuhan Geraja
1.1.      Pertimbangan teori Peter Wagner dan Wibawa bagi Pertumbuhan Gereja
Peter Wagner (seorang ahli pertumbuhan gereja) dari Fuller Teological Seminary, dia mengamati tentang pertumbuhan gereja-gereja Pentakosta, dan Kharismatik di Amerika Latin dan Asia. kesimpulannya adalah peranan demonstrasi di dalam gereja menjadi faktor yang sangat penting bagi pertumbuhan gereja. Peter Wagner yang semula kurang tertarik tentang cara-cara Pentakosta – Kharismatik, tidak bisa menyangkal bahwa kuasa mukjizat, kuasa penyembuhan yang berasal dari Roh Kudus sungguh-sungguh menyebabkan pertumbuhan gereja sangat luar biasa hal inilah yang Peter Wagner meneliti kebenaran Alkitab dan melihat bahwa dialog-dialog akali dan teolog seperti yang pernah dilakukan oleh Rasul Paulus dengan filsuf Yunani di panggung Aeropagus tidak membawa dampak yang signifikan dibandingkan dengan demonstrasi kuasa Roh Kudus yang menyebabkan runtuhnya tembok penjara Pilipi.
2.        Pertimbangan dari strategi Kiyai Sadrakh dalam penginjilan di Jawa.
Kiyai Sadrakh adalah penginjil dari kalangan orang Jawa pada awal abad XX. Ia seorang yang berpendidikan yang sangat terbatas yang dipakai Tuhan sebagai Penginjil dikalangan orang Jawa,yang dapat mendirikan gereja sampai tahun 1898, berhasil mendirikan 70 Gereja dengan anggotanya + 8.000 orang. Para misionaris (Zending) dari Barat belum bisa mengimbangi dari strategi penginjilan yang dilaksanakan oleh Kiyai Sadrakh, walaupun pengetahuannya tentang agama Kristen sangat terbatas. pendekatannya berbeda dengan yang dilakukan oleh misionaris/zending Barat. Sadrakh sangat menguasai/menghargai kebudayaan Jawa dan menjadikan kebudayaan Jawa sebagai bungkus Injil Yesus Kristus yang diimaninya. Jadi kontekstualisasi merupakan ciri khas kekristenan yang dikembangkan oleh Sadrakh.
Ada 3 (tiga) pendekatan yang dilakukan oleh Sadrakh;
a.        Pola kepemimpinan Sadrakh adalah budaya Jawa, Sadrakh sangat menguasai dan menghargai budaya Jawa dan menjadikan kebudayaan Jawa sebagai sarana penginjilan. Kepemimpinan Sadrakh yang sangat Jawa, terasa asing bagi para Misionaris. Mereka menuduh Sadrakh menempatkan dirinya terlalu tinggi, sehingga disembah oleh para pengikutnya bagaikan Allah sendiri.
b.        Metode pelayanan Sadrakh yang menjadikan kuasa rohani sebagai sarana utama, untuk mengkristenkan orang lain, dan mengabaikan faktor-faktor teologi Protestan sebagai sarana mengkristenkan orang lain. Bagi Misionaris, seorang yang menjadi Kristen hanya karena kagum kepada Sadrakh, adalah tidak tepat. Menurut para Misionaris orang menjadi Kristen mengikuti ajaran Kristen Protestan.
c.        Ajaran yang kontekstual;
Ajaran kontekstual yang dilaksanakan oleh Sadrakh dipandang menyimpang dari para Misionaris. Sadrakh mengajarkan “Yesus adalah Ratu Adil”, membakar kemenyan sambil mengucapkan mantra untuk kesembuhan anggota jemaat, atau mengusir roh-roh jahat. Dari uraian tersebut di atas, saya ingin menjelaskan dalam pengembangan gerejanya, Sadrakh paling tidak menekankan 2 (dua) hal: pertama, dalam melayani jemaat sangat dibutuhkan kepemimpinan yang baik, dan teladan kepada jemaat, dan kedua, adanya demonstrasi kuasa, dalam pelayanan kepada jemaat.
II.       STRATEGI PENYAMPAIAN KHABAR BAIK YANG KONTEKSTUAL
-       POLA KEPEMIMPINAN SADRAKH
Perbedaan model kepemimpinan Barat dan Timur terletak pada penempatan kekuasaan. Di Barat kekuasaan dibagi-bagi sedangkan di Timur, kekuasaan disatukan dan dipusatkan pada seorang pemimpin. Model kepemimpinan Timur inilah yang diterapkan oleh Sadrakh. Sadrakh mengambil seluruh kepemimpinan yang berfokus pada dirinya sendiri, dan mengambil seluruh tanggung jawab gerejanya. Ia sendiri yang mengangkat seluruh pembantunya. Ia sendiri yang menentukan pengembangan gerejanya, dan semua operasional gerejanya harus dia ketahui. Salah satu contoh tentang komunikasi ke Misionaris, tidak dapat dilakukan sebelum ada persetujuan dari Kiyai Sadrakh. Tapi dilain pihak semua kegiatan dia sendiri yang langsung bekerja, misalnya: pembukaan lahan pertanian di hutan. Dia mendirikan Gereja di lahan-lahan hutan sebagai tempat memuji Tuhan, dan tempat belajar Firman Tuhan. Ketika Sadrakh ditangkap, lalu dipenjarakan karena melawan Pemerintah, ia mewajibkan seluruh penduduk untuk di cacar, Sadrakh menerimanya untuk dipenjarakan sebagai konsekuensi logis sebagai pimpinan. Sadrakh merawat anggota jemaatnya jika ada yang sakit, membagikan tanah kepada jemaatnya untuk diusahai para jemaatnya, dan mempekerjakan anggota jemaatnya di tanah miliknya, dia memberi modal kepada jemaatnya supaya mereka berusaha. Sadrakh bukan saja sebagai pemimpin rohani, juga pemimpin kehidupan fisik dari jemaatnya yang ada dimana-mana.

-       DEMONSTRASI KUASA SADRAKH
Sadrakh memulai pelayanannya, ia menjumpai para Kiyai-Kiyai dan menantang mereka dengan adu ilmu. Strategi ini ia lakukan, untuk mempermudah pelayanannya kepada para Kiyai dan penduduk di sekitar maupun lingkungan Kiyai. Penyebaran agama Kristen lebih cepat dibanding dengan langsung berdialog dengan para Kiyai-kiyai dan para Guru-guru di desa-desa. Kalau tidak berhasil dengan strategi pertama, maka ia menantang mereka dengan cara, perang tanding di depan umum untuk mengetahui yang paling hebat ilmunya. Sadrakh berjanji, kalau ia kalah, maka ia akan kembali ke agamanya semula, tapi jika ia yang menang, maka pihak lawan-lawannya masuk agama Kristen. Dengan kepintarannya, lawan-lawannya dengan sendiri ingin menjadi agama Kristen. Dalam mengendalikan jemaatnya, Sadrakh menunjukkan kekuatannya yang lebih hebat dari pada murid-muridnya, ia bisa menghilang secara tiba-tiba dan muncul lagi dan kadang-kadang di tangan dan kakinya ada bekas paku seperti Kristus. Ia membagi-bagi kuasanya kepada murid-muridnya dengan menjual keris yang sudah lebih dahulu ia berkati. Untuk menolong jemaatnya yang bermasalah, Sadrakh secara rutin mengadakan upacara penyembuhan pada setiap Selasa kliwon, ia berdoa, lalu memberi air untuk diminum, ternyata jemaatnya yang bermasalah sembuh kembali.
-       POLA PELAYANAN YESAYA PARIADJI
Saya tidak memiliki sumber primer, berupa buku-buku pola pelayanan Yesaya Pariadji, dengan pertimbangan tersebut saya mempergunakan brosur-brosur yang dibagikan dalam ibadah-ibadah, beberapa kali menghadiri kebaktian Gereja Tiberias di Medan, Jakarta, serta profil Gereja Tiberias di Indonesia secara berturut-turut selama 3 tahun, yaitu 2009, 2010, 2011, ternyata pertumbuhan anggota jemaatnya sangat cepat, dari data tersebut, Gereja Tiberias didirikan pada tanggal 17 Agustus 1990. Sekarang dalam kurun waktu 20 tahun bahwa Gereja Tiberias tergolong menjadi salah satu gereja besar di Indonesia bahkan pelayanannya sudah menjangkau hingga luar negeri.
Selain pertumbuhan anggota jemaatnya yang begitu cepat, Gereja Tiberias juga melahirkan sebuah tren baru dalam pelayanan kekristenan di Indonesia. Dalam pengamatan saya, istilah minyak urapan, adalah sumbangan Gereja Tiberias dalam pelayanan gerejawi di Indonesia. Disamping itu perjamuan kudus, sebagai suatu yang sudah lazim dilaksanakan dalam kegiatan gerejawi mendapat makna baru dengan penerapan perjamuan kudus di Gereja Tiberias. Minyak urapan dan Perjamuan kudus menjadi sarana kuasa ilahi dan tidak lagi sekedar simbol atas karya Kristus bagi orang-orang percaya.
-       DEMONSTRASI KUASA DAN KEPEMIMPINAN YANG BAIK
Berdasarkan pengamatan saya yang tampak pada Yesaya Pariadji bahwa ada 2 (dua) hal yang menonjol kepada pelayanan Yesaya Pariadji:
Pertama          : Demonstrasi kuasa Roh Kudus, dan
Kedua             : Kepemimpinan yang berwibawa.
Dalam kesaksian pribadinya, ia melayani dan membangun gerejayang hidup dan penuh kuasa dan mengembalikan kembali kuasa minyak urapan dan perjamuan kudus seperti pada zaman kisah para Rasul, sesuai dengan hatinya Bapa Surgawi.
            Tuhan yang amanahkan kepada Yesaya Pariadji ialah untuk membebaskan dan menyembuhkan orang dari segala penderitaan, segala penyakit, dan dari segala kutuk. Kemajuan Gereja Tiberias Indonesia, begitu cepat berkembang di seluruh Indonesia, tidak terlepas dari kepemimpinan Yesaya Pariadji. Yesaya Pariadji mengatakan bahwa dirinya paling jujur. Menurut pendapat saya, kesaksian-kesaksian Yesaya Pariadji memberikan wibawa khususnya sehingga jemaat-jemaatnya, pembantu-pembantunya, dan murid-muridnya “sangat menghormatinya”. Yesaya Pariadji adalah pemimpin yang baik dan berwibawa. Kalau dia pembohong terhadap sesamanya, jemaatnya, dan para pembantu-pembantunya, maupun terhadap orang lain, yang pasti orang-orang dekatnya akan segera meninggalkan dia, dan gerejanya akan berkurang yang mengunjunginya.
BELAJAR DARI GEREJA MULA-MULA
Kalau kita baca kisah para Rasul-rasul, kelahiran dan pertumbuhan gereja-gereja sangat pesat, dalam hal kuantitas maupun kualitas iman jemaatnya. Dari kisah para Rasul tersebut mengenai pertumbuhan – pengembangan gereja dapat dicontoh bagi gereja sepanjang masa. Apa yang kita contoh dari perkembangan – pertumbuhan jemaat kisah Rasul memberi 2 (dua) hal:
Pertama            : Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan gereja, dan
Kedua   : Faktor kepemimpinan yang baik.
Pada awalnya, demonstrasi kuasa Roh Kudus dalam setiap pewartaan Firman Tuhan adalah hal yang umum. Para Rasul dapat menyelesaikan semua masalah dengan mengandalkan kuasa Rohul Kudus, bukan dengan akal – pikiran – hikmat manusia, dan bukan karena kekuatan manusia. mereka dapat menyembuhkan orang-orang sakit, kerasukan setan, dan lain-lain. Yang sakit didoakan secara terus menerus dengan keyakinan yang penuh kepada Tuhan. Hasilnya semuanya terjawab,mereka sehat, dan dapat melakukan tugas-tugasnya dengan baik (Bad. KPR 3, 9, 14, dan 20). Bagi yang dipenjarakan karena mewartakan Firman Tuhan, mereka terus menerus berdoa, mereka tidak kunjungi jemaatnya yang dipenjara, mereka cukup didoakan ternyata mereka dilepaskan tanpa syarat. Kalau diperhatikan pola yang dipergunakan oleh Kisah Para Rasul ada 2 (dua) tokoh yang ditonjolkan, tokoh pertama ialah Petrus (KPR 1 s/d Pasal 12) yang orientasinya kepada gereja Yahudi yang pusatnya di Yerusalem. Tokoh kedua ialah Paulus (KPR 13 s/d 18). Faktor kedua tokoh ini sangat dominan pada kehidupan gereja zaman Rasul, kepemimpinannya luar biasa dalam pembangunan jemaat Kristen. jika kita lihat dari keterpanggilan Rasul Petrus, dia mulai sebagai murid Tuhan Yesus Kristus, sedangkan Paulus dimulai dari panggilan dan pertobatannya, yang mendapat perintah dari Tuhan Yesus Kristus. Kedua Rasul ini memiliki khas masing-masing, namun memiliki kisah pengorbanan yang istimewa. Petrus bersama Tuhan Yesus, berbagai tantangan, dan penderitaan telah dialami, dia diancam dan dimasukkan ke dalam penjara, berbagai kesulitan dia hadapi, namun karena kuasa Roh Kudus dia mampu bertahan. Rasul Paulus lebih banyak lagi mengalami penderitaan (dibanding dengan Rasul-rasul lainnya) Bad. 2 Korintus 11 … hidupnya sangat susah, tapi dia tetap tegar tahan menghadapi tantangan dalam amanah / tugas yang disampaikan oleh Yesus Kristus. Dia beberapa kali masuk penjara, disiksa dengan macam-macam penderitaan, dia tetap bersabar, dengan kekuatan dari Roh Kudus. Tugas-tugas pewartaan Firman Tuhan tidak terhalang dengan tidak bermaksud untuk menyombongkan diri. Rasul Paulus memberitahukan bahwa dirinya adalah murid yang terbaik dari guru yang terkenal pada masa itu “Gamaliel” (KPR 23:3), ia memiliki kemampuan manajerial yang sangat baik, dengan prestasinya paling banyak mendirikan jemaat. Rasul Paulus adalah guru yang terkenal, memiliki pengetahuan yang luas, cerdas, cakap, memiliki keterampilan yang luar biasa, rajin dan sungguh-sungguh dalam pelayanan. Paulus, Petrus tetap komit dalam tugas-tugas pewartaan Firman Tuhan, walaupun pemimpin-pemimpin agama mengultimatum mereka agar mereka menghentikan kegiatan pewartaan Firman Tuhan. (KPR 2:14; 4:10…) tapi karena kuasa Roh Kudus yang membimbing, menuntunnya, mereka tetap bersabar, walau banyak ancaman, penolakan, bahkan pembunuhan, tetap melaksanakan tugas-tugasnya dengan tidak takut, itu semua karena Roh Kudus bekerja di dalam kehidupan para Rasulnya Yesus Kristus.

III.          KESIMPULAN DAN PENERAPAN
a.             Dari uraian di atas, saya berpendapat bahwa teori yang disampaikan Peter Wagner, tentang pentingnya kuasa Roh Kudus dan kepemimpinan yang baik di dalam gereja sangat relevan untuk diterapkan. Beberapa gembala yang menerapkan strategi ini yang saya amati adalah “ Pdt. Niko Njotorahardjo, Pdt. Yesayas Pariadji, Pdt. Jacob Nahuway, Pdt. Timotius Arifin, Pdt. Alex Abraham, Pdt. Yusak Hadisiswantoro, Pdt. Stephen Tong, dll. Dikalangan pendeta Pantekosta dan Kharismatik pertumbuhan gereja sangat luar biasa. Beberapa penginjil juga yang datang ke Indonesia mengadakan KKR seperti Benny Hinn untuk mendemonstrasikan kuasa Roh Kudus. Para jemaat yang datang adalah bertujuan untuk jamahan Roh Kudus yang membuat banyak mukjizat kesembuhan. Oleh karena itu, saya mengajak para gembala yang sedang merintis jemaat (yang memulai pelayanan) supaya meminta kepada Tuhan “kuasa untuk menyembuhkan orang sakit, mengusir setan-setan, melepaskan orang-orang dari kuasa kegelapan” (Matius 10:1). Menurut saya, hal itu menunjukkan suatu kerinduan dan kebutuhan sebab Tuhan sangat menghargai usaha-usaha yang sungguh-sungguh untuk meminta dari Tuhan (Lukas 11: 1-13).
b.           Bagi masyarakat Indonesia, pemimpin lebih berperan dari pada sistem. Hal ini juga berlaku di tempat tugas gereja, pada umumnya. Oleh karena itu teori Peter Wagner menyangkut pertumbuhan gereja dan menjalankan kepemimpinan yang baik untuk pertumbuhan dan pengembangan gereja masih relevan, dan keduanya harus berjalan beriringan.
c.           Menjadi pemimpin yang baik, tentu saja tidak terjadi dalam waktu yang singkat. Setiap orang memerlukan proses menuju kepemimpinan yang baik, dan membutuhkan waktu dan kesempatan untuk mendewasakan kepemimpinan itu sendiri. Kita harus bersedia menerima tanggung jawab yang paling kecil, akan membuka peluang yang lebih besar. Bersamaan dengan tanggung jawab itu, kita memperoleh kuasa dari Tuhan, sehingga kita mampu untuk memimpin lebih baik. Seorang pemimpin yang baik akan berusaha untuk menjaga kepercayaan yang diberikan Tuhan kepadanya.
d.           Beberapa pendeta beraliran Pantekosta dan Kharismatis, yang melaksanakan demonstrasi kuasa dan kepemimpinan yang baik yang saya amati sebagaimana saya sebutkan tadi di atas, saya melihat paling tidak 2 (dua) hal yang ditonjolkan, pertama demonstrasi kuasa Roh Kudus dan kedua kepemimpinan yang berwibawa. Dalam pengamatan saya misalnya istilah minyak urapan, adalah sumbangan Gereja Tiberias dalam pelayanan gerejawi di Indonesia. Disamping itu, perjamuan kudus yang sudah lazim dilaksanakan, mendapat makna baru dengan penerapan perjamuan kudus di Gereja Tiberias minyak urapan, dan perjamuan kudus menjadi sarana kuasa ilahi dan tidak sekedar simbol atas karya Kristus bagi orang percaya.

IV.         PENUTUP
1.      Saya pikir ketokohan pimpinan gereja-gereja di Indonesia tidak jauh beda dengan ketokohan pemimpin gereja-gereja Barat. Akan tetapi nama-nama pemimpin gereja-gereja di Indonesia tenggelam oleh penganggapan tokoh-tokoh gereja Barat, dan mengurangi wibawa ketokohan pemimpin gereja-gereja di Indonesia. Mahasiswa Teologi/Kependetaan/PAK di Indonesia dengan gampang dan mudah mengingat nama-nama teolog Gereja Barat. Mungkin menyebut nama satu tokoh Gereja di Indonesia sangat sulit. Saya pernah memberi ceramah di salah satu PTT/AK tentang Keesaan Gereja di Indonesia. Saya menyebutkan nama Kiyai Sadrakh, dan saya bertanya kepada Saudara-saudara Mahasiswa yang sudah menyusun Skripsi S1 Teologi/Kependetaan, Mahasiswa tersebut dengan senyum, dan bangga menjelaskan kepada saya, tokoh Sadrack dalam kitab Daniel. Bagi saya selaku pernah menjadi Dosen, saya merasa bahwa teman-teman saya yang S2, S3 belum begitu akrab dan mengajarkan tokoh Kristen yang satu ini “Kiyai Sadrakh” adalah penginjil atau pewarta khabar baik di kalangan orang-orang Jawa, khususnya di Jawa Tengah. Dia bukan saja seorang tokoh/penginjil, dia juga penggerak dalam bidang pertanian, peternakan, perikanan, dan pendidikan, serta penggerak ekonomi desa, untuk masyarakat di sekitarnya.


2.      Saya melihat bahwa Gereja-gereja Protestan di Indonesia sudah mempelopori teologi kontekstual, akan tetapi masih sebatas konseptual – abstrak, masih mempergunakan cara-cara/pola pikir Barat. Sebaliknya, teman-teman Pantekosta/Kharismatik yang berpikiran konkrit, tapi kurang menerima teologi kontekstual. Alangkah indahnya bila Gereja-gereja di Indonesia bisa menerima teologi kontekstual dan mengembangkan cara-cara berpikir konkrit dan praktis.
3.      sudah saatnya Gereja-gereja menghormati pendiri Gerejanya dengan mengabadikan nama dan perjuangannya dalam buku, patung, atau orang-orang berjasa secara istimewa dan bukan pengultusan. Yang patut kita kultuskan hanyalah Tuhan Yesus Kristus. Tapi murid-muridnya yang istimewa perlu di kenang tentang peran dan pemikirannya, maupun jasa-jasanya.


 
DAFTAR KEPUSTAKAAN
1.   Peter Wagner, Pertumbuhan Gereja dan Peranan Roh Kudus, Malang. Gandum Mas, 1982.
2.   Sutarman Soediman Partowadi, Komunitas Sadrach dan Akar Kontekstualnya, Jakarta. BPK Gunung Mulia, 2001 dan C. Guillot, Kiai Sadrach Riwayat Kekristenan di Jawa, Jakarta. Gramedi, 1985.
3.      Steven H. Talumewo, Sejarah Gerakan Pantekosta, Yogyakarta. ANDI, 2008.
4.   Anton Wesseis, Arab dan Kekristenan. Gereja-gereja Kristen di Timur Tengah, Jakarta. BPK Gunung Mulia, 2001.
5.    Petrus Octavianus, Peran dan Pemikiran, Batu Malang. Dep. Literatur YPPII, 1998; Solusi Mengatasi Krisis Bangsa Indonesia, Batu Malang, Dep. Literatur YPPII, 2002; dan Mengapa Orang Kristen Menerima Pancasila Sebagai Satu-satunya Azas, Malang. Gandum Mas, 1985.
6.    DR. Jacob Tomatala, Kepemimpinan Kristen, Mencari Format Kepemimpinan Gereja yang Kontekstual di Indonesia, Jakarta, 2002; dan Pemimpin yang Handal, Pengembangan Sumber Daya Manusia Kristen Menjadi Pemimpin Kompeten, Jakarta, 2005.
7.        Hendrik Kraemer, From Missionfield to Independent Church; Report on Decisive Decade in The Growth of Indigenous Churches in Indonesia, The Hague: Boekencentrum, 1958.
8.  Douglas J. Elwood, Asian Christian Theology, Emerging Themes, Philadelphia: Westminster Press, 1980.
9.        David J. Bosch, Transforming Mission, New York. ORBIS Book, 1991.
10.   World Mission, A Compendium of The Asia Mission Congress, 1990.
11. Dewan Pertimbangan Presiden, Peranan Agama Dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara, Jakarta, 2008.



Orasi Ilmiah oleh:
 
DR. Saur Hasugian, M.Th., D.D.
Dalam Rangka Wisuda VI STT Tiberias Jakarta
Tanggal 27 Nopember 2012
 

Jumat, 05 Oktober 2012

Zaman Antar Perjanjian

ZAMAN "ANTAR-TESTAMEN"

P. Dr. C. Groenen, OFM.

1. Zaman Antar-Testamen, Artinya Apa?

Judul karangan tersebut sudah menjadi problema. Apa yang dimaksudkan dengan istilah "antar-testamen?" Di belakangnya kiranya tersembunyi ungkapan "Vetus Testamentum" (Perjanjian Lama) dan "Novum Testamentum" (Perjanjian Baru). Yaitu kedua bagian yang sekarang membentuk Kitab Suci umat Kristen. Alkitab Yahudi yang diambil alih, bahkan boleh dikatakan "dirampas" oleh umat Kristen dijadkan "Perjanjian Lama" Paulus (2Kor. 3:14) sudah mulai mengkualifikasikannya demikian dan dengan itu dinyatakan "ketinggalan zaman". Maka semakin mengherankan bahwa Alkitab Yahudi itu terus dipertahankan oleh umat Kristen sebagai Kitab Suci.

Hanya dengan menciptakan Kitab Sucinya sendiri - yang dikualifikasikan sebagai "Perjanjian Baru" - kekristenan memberi dirinya "kunci penafsiran", yang mesti membantu umat membaca dan memahami Alkitab Yahudi itu dengan cara baru, sesuai dengan ideologi umat Kristen sendiri Paulus (2Kor. 3:14) yakin bahwa orang Yahudi tidak mampu memahami Kitab Sucinya sendiri. Dan itulah keyakinan umat Kristen. Keyakinan itu umat Yahudi. Kecuali bila dua-duanya membaca kitab itu bukan sebagai Kitab Suci yang berwibawa dan normatif melainkan sebagai karya sastra belaka, produk sejarah bangsa Yahudi.

Masalahnya diperuncing oleh karena kekristenan sendiri belum juga sependapat dalam hal: Apa itu Perjanjian Lama? Kekristenan barat versi Roma Katolik, pada abad XVI (Konsil Trente tahun 1546) menentukan daftar kitab Perjanjian Lama, tetapi belum juga berkata bahwa hanya kitab-kitab itu termasuk ke dalam Kitab Sucinya. Pada prinsipnya masih dapat ditambah. Konsili ini hanya mengambil tolok ukur praktis saja: Apa yang oleh kekristenan barat sudah lama pada umumnya dibaca sebagai Kitab Suci dan yang tersedia dalam terjemahan Latin yang disebut "Vulgata", itulah Kitab Suci. Sebaliknya, kekristenan barat yang berpangkal pada reformasi Luther dan Kalvin menentukan daftar yang lain dianggap Alkitab (Yahudi). Tolok ukur sebenarnya yang dipakai Reformasi (disamping suatu kriterium teologis) sama dengan yang dipakai sementara pujangga gereja dahulu, khususnya Hieronymus yang bersumpah demi "Hebraica Veritas" dan tidak bersedia menerima sesuatu yang tidak ada dalam Alkitab Yahudi di zamannya. Kitab-kitab dan karangan-karangan lainnya (diistilahkan sebagai "apocrypha" atau "deuterocanionica") paling-paling dinilai oleh Reformasi sebagai berguna dan boleh dibaca sebagai bacaan rohani. Tetapi kekristenan timur sampai dengan hari ini belum juga secara tuntas menentukan karangan-karangan mana persis termasuk ke dalam "Perjanjian Lama" itu. Teks Yunani kuno yang diistilahkan "Septuaginta" diterima sebagai Kitab Suci. Hanya batas-batasnya tidak jelas.

Maka oleh karena tidak jelas apa itu "Perjanjian Lama", tidak jelas apa pula itu "zaman antar-testamen".

II. Hasil Proses Penyaringan

A. Prinsip Alkitabiah

Waktu sekitar tahun 30-40-an Masehi umat Kristen mulai muncul, bagi masyarakat Yahudi belum juga jelas karangan-karangan religio-nasional mana yang mempunyai wewenang normatif bagi umat. Yang sudah dinilai demikian dilegitimimasikan melalui suatu "theologoumenon", yaitu apa yang kemudian hari diistilahkan sebagai "insprasi". Namun demikian Gereja purba mengambil alih dan menyetujui prinsip bahwa memang ada kitab-kitab semacam itu (bdk. 2Tim. 3:16-17; 2Ptr. 1:19-21), yang merupakan "Firman Allah".

Memang sudah berabad-abad berlangsung suatu proses di antara umat Israel/Yahudi yang menghasilkan tulisan-tulisan sakral, suci, yang bagi golongan tertentu dinilai sebagai normatip. Terkenallah cerita yang tercantum dalam 2Raj. 22:8 dst. tentang sebuah gulungan kitab (Taurat) yang ditemukan di Bait Allah. Jelas ada Kitab Suci yang menjadi normatip. Hanya itu belum berarti bahwa kitab itu diterima secara umum untuk selama-lamanya. Kecuali itu kitab itu sebelum ditemukan sudah ada, tetapi tidak dianggap mengikat. Ada pun proses penyaringan yang menentukan mana karya-karya tulis yang harus diterima sebagai tolok ukur bagi iman, teori dan praxis religius masih berjalan waktu umat Kristen tampil di panggung sejarah. Proses ini dicetus dan dipercepat keberadaan dan indentitas Yahudi sendiri. Langkah-langkah paling penting boleh digariskan sedikit.

B. Di masa pembuangan dan zaman Persia

Di masa pembuangan (th. 587-539 s.M) dan abad-abad berikutnya (th. 538-333) bangsa Yahudi (Israel) mengalami krisis nasional-religius yang parah sekali. Kedaulatan sebagai bangsa (yang sudah lama agak formal saja) hilang. Dan bencana nasional itu tidak dapat tidak menyangkut kepercayaan agama. Sebab masyarakat, negara dan agama secara wajar melebur menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan. Pemula yang menyusul tidak hanya sangat mengecewakan mereka yang kembali ke tanah nenek moyang (relatif jumlahnya kecil), tetapi juga tidak utuh. Sisa bangsa Israel tetap tercakup oleh negara Persia sebagai salah satu propinsi kecil yang tidak penting di pinggir wilayah negara raksasa.

Di masa pembuangan dan sesudahnya terbentuklah sesuatu yang boleh dikatakan "Kitab Suci" yang umum diterima oleh sisa Israel lama. Terkumpullah, digubah, disadur dan digarap tradisi tertulis dan tidak tertulis, yang sudah berwibawa religius dan yang belum berwibawa.Tradisi itu sendiri dan dari masa sesudahnya. Dari semua bahan yang tersedia secara fragmentaris disusunlah apa yang dapat berperan sebagai pegangan dan pedoman bagi iman serta perilaku dan yang dapat mendukung pengharapan akan masa depan yang lebih baik.

Proses penyaringan dan penggubahan selama abad V-VI itu menghasilkan suatu Kitab Suci yang mencakup "Thorah" (Kitab Musa) dan kitab para nabi, baik nabi yang terdahulu (hannebi'im horosyim), artinya: kitab Yosua, Hakim-hakim, Samuel, Raja, maupun nabi-nabi yang kemudian (hannebi'im ha'akhirim) artinya: Yesaya, Yehezkiel, Yeremia dan sebagian nabi-nabi lainnya. Tinggal sejumlah karangan yang kedudukannya tidak jelas. Tetapi karangan-karangan yang sudah terkumpul dan dinilai berwibawa itu belum juga benda "kramat", yang tidak tersentuh lagi. Kumpulan itu pun tetap "terbuka", masih saja boleh digarap lebih lanjut, disadur dan ditambahi seperlunya.

Tetapi di zaman Persia (th. 539-333) tercipta pula karya baru yang sejak awal dimaksud sebagai "normatip" bagi umat. Memang di masa itu orang-orang Yahudi di Palestina menikmati otonomi yang relatif tetapi cukup luas. Mereka dapat mengurus segala apa yang menyangkut paguyuban itu di bawah paying kedaulatan negara Persia. Aspirasi nasional hampir padam dan tidak bangkit selama 100 tahun lebih. Sementara itu kebanyakan orang Yahudi tetap tinggal di luar Palestina, khususnya di daerah Mesopotamia dan di negeri Mesir. Mereka mengasimilasikan dirinya dengan lingkungannya. Kelompok kecil di Yehuda membentuk dirinya menjadi suatu paguyuban tertutup, sebuah "Ghetto" sukarela, suatu teokrasi di bawah bimbingan para rohaniawan (kaum Lewi dan imam-imam) yang turut kembali ke Palestina. Cita-cita komunitas religius yang berpusatkan ibadah di dalam Bait Allah yang baru (sederhana) terungkap dalam karya literer masa itu, yaitu kitab Tawarikh. Karya itu meninjau kembali seluruh sejarah sebelumnya, tetapi dipandang dari titik pandang kaum rohaniawan tersebut. Cita-cita itu dipertentangkan dengan kekacauan sosio-religius yang melatarbelakangi kitab Ezra/Nehemia, kitab Nabi Hagai, (sebagian) kitab Nabi Zakharia dan Maleakhi.

Demi ibadat dalam Bait Allah tersebut terkumpul dan terciptalah "lagu-lagu suci", dalam pelbagai koleksi yang dinilai "suci" oleh karena berkaitan dengan ibadat suci. Dari situ berkembanglah kitab Mazmur.

C. Di zaman Yunani

Tetapi Alkitab seperti terbentuk di masa Persia tidak menandai ketika pada abad IV-III umat Yahudi di Palestina dan di perantauan mengalami suatu "culture shock". Benturan ini tercetus oleh ulah raja Yunani (Makedonia), Aleksander Agung (th. 323-323), dan pengganti-penggatinya. Dengan Aleksander mulailah proses helenisme atau yang lambat laun mencakup seluruh kawasan di sekeliling Laut Tengah. Setelah Aleksander meninggal, daerah Palestina secara politis dan militer menjadi terjepit antara negara Mesir. Yang diperintah warga Ptolomai (mencakup Palestina pada th. 323-200 s.M.) dan negara Siria-Babel (mencakup Palestina pada th. 200-142 s.M.).

Baik di Mesir maupun di Siria kebudayaan keyunanian di atas angin. Khususnya kebudayaan yang unggul itu menjadi ancaman paling hebat bagi indentitas religio-kebangsaan Yunani, baik di Palestina maupun di perantauan. Tidak sedkit orang Yahudi, khususnya dari kalangan atas, termasuk rohaniawan di Yerusalem, terhanyut. Paksaan dari luar tidak perlu dan nyatanya juga tidak terjadi sebelum tahun 167 s.M. waktu raja Siria/Babel, yaitu Antiokhos Epifanes mulai memaksakan kebudayaan Yunani (yang bersifat religius) kepada umat Yahudi di Palestina, di perbatasan dengan Mesir, saingan negara Siria. Kebudayaan itu dinilai sebagai sarana pemersatu antara lain terhadap kuasa Roma yang mulai tampil di ufuk.

Akhirnya umat Yahudi terbangun dari tidurnya dan bangkit untuk membela identitas. Pembelaan itu mengambil pendirian yang berbeda-beda dan menggunakan sarana yang berlainan, baik sarana politis militer maupun sarana kultural. Gejolak kultural itu sangat produktif di bidang literer.

Terpimpin oleh keluarga para "Makabe" orang-orang Yahudi di Palestina berhasil merebut kembali kemerdekaan religius dan politiknya (th. 175-138 s.M.). Tersedialah dua "laporan" tentang pemberontakan atau perang kemerdekaan itu, yaitu kitab 1 Makabe dan 2 Makabe. Namun di situ malah terasa betapa besar dampak dan daya tarik kebudayaan Yunani, sebab satu dari kedua karya itu, yaitu 2 Makabe, langsung ditulis dalam bahasa Yunani dengan meniru gaya sastra Yunani. Karya itu suatu ringkasan dari karya jauh lebih besar dalam bahasa Yunani mengenai seorang Yahudi yang mengyunanikan nama Ibraninya menjadi nama "Yason". Dan pengganti keluarga Makabe (wangsa Hasmonai, th. 135-63 s.M.) tidak tahan terhadap tekanan dari pihak kebudayaan Yunani, sehingga proses pengyunanian berjalan terus pada orang-orang Yahudi. Proses itu pun tidak dihentikan ketika pada th. 63 s.M. tentara Roma menduduki kota suci Yerusalem.

Sarana yang lebih berdaya-guna untuk mempertahankan identitas Yahudi daripada catur politik dan senjata militer ialah sarana kultural, tegasnya karya tulis. Tetapi sisa dari produksi literer zaman Yunani ini memperlihatkan betapa konfrontasi dengan kebudayaan Yunani membingungkan umat Yahudi. Kitab Suci sejauh terbentuk di zaman Persia tidak banyak menolong untuk menampung dan mencernakan pengalaman yang serba baru itu. Konfrontasi dengan kebudayaan Yunani memecah-belahkan umat Yahudi, sehingga dari masyarakat yang homogen menjadi sangat heterogen. Salah satu dari sebab musababnya justru perbedaan dalam sikap yang diambil terhadap kebudayaan Yunani. Apakah cukup untuk tetap setia saja pada tradisi seperti termaktub dalam Kitab Suci? Mestikah dan bolehkan orang menyesuaikan diri dan tetap mempertahankan identitas Yahudinya? Masih adakah masa depan bagi bangsa Yahudi atau sudah habiskah riwayatnya sehingga orang hanya bisa menunggu akhir segala sesuatunya?

Mereka yang yakin bahwa Alkitab menjadi sarana yang ampuh untuk membendung dampak kebudayaan Yunani dan bahkan bersaingan dengannya, berangsur-angsur menerjemahkan Kitab Suci ke dalam bahasa Yunani. Tetapi, agak berlawanan dengan maksudnya, penerjemahan itu paling memperlihatkan pengaruh kebudayaan itu di kalangan Yahudi, bahkan di Palestina sendiri. Hanya, tidak diketahui dengan tepat apa yang diterjemahkan. Cucu Yesus bin Sirakh (Prakata Sir.) berkata bahwa pada tahun 132 s.M. di Mesir sudah beredar Kitab Taurat dalam bahasa Yunani, juga kitab para nabi dan "kitab-kitab yang kemudian dari itu". Cakupan kitab Taurat dan kitab para nabi (baik yang terdahulu maupun yang kemudian) cukup jelas (bdk. Sir. 40-49). Tetapi apa yang dimaksud dengan "kitab-kitab yang kemudian dari itu?" Hanya dapat dipastikan bahwa ada sebuah koleksi Mazmur yang sudah diterjemahkan. Tetapi tidak dapat ditentukan apakah "kitab-kitab lain" itu sama dengan karangan-karangan yang kemudian tercakup dalam istilah Ibrani "hakketubim" (tulisan-tulisan) (Amsal, Ayub, Rut, Kidung, Ratapan, Pengkhotbah, Ester, Daniel, Tawarik, Ezra/Nehemia).

Tetapi ada yang kelompok orang Yahudi yang yakin bahwa Alkitab sebagaimana adanya, tidak memadai lagi. Ada yang menciptakan karya-karya baru, baik di Palestina maupun di perantauan. Karya-karya itu jelas dimaksudkan sebagai semacam pegangan dan pedoman dan karena itu diletakkan di mulut tokoh terkenal di masa lampau. Ada yang mencoba mendamaikan tradisi religius Yahudi dengan kebudayaan dan alam pikiran Yunani. Contoh yang jitu ialah karya (langsung ditulis dalam bahasa Yunani) yang beredar dengan judul "Kebijaksanaan Salomo". Karya itu sendiri memang menyarankan seakan-akan ciptaan itu dikarang oleh raja tersohor itu. Karya itu antara lain bermaksud memperlihatkan bahwa hikmat Yahudi unggul dari filsafat Yunani. Tendensi yang sama ditemukan dalam apa yang disebut (Surat) Aristeas kepada Philokrates dan dalam kitab II dan IV Makabe. Beredar pula sejumlah cerita tentang seorang Yahudi di istana raja-raja asing. Namanya Daniel, nama seorang tokoh di masa azali. Sebagian cerita-cerita itu akhirnya tercantum dalam Kitab Danel, khususnya menurut versi Yunani. Cerita-cerita itu memperlihatkan betapa hikmat Yahudi melebihi semua ilmu kafir (Yunani). Yesus bin Sirakh di Yerusalem menghidupkan kembali tradisi hikmat kebijaksanaan. Ia cukup terbuka bag kebudayaan Yunani, namum bermaksud meyakinkan kaum muda bahwa hikmat Israel tidak usah mengalah terhadap filsafat Yunani.

Bila karya-karya tersebut yang tidak secara total menolak pengaruh Yunani boleh dikatakan merupakan semacam apologia, maka ada karya-karya lain yang lebih polemik pedas yang seluruhnya negatip. Tersedia selembaran kritik pedas yang beredar dengan judul "Surat Nabi Yeremia". Tendensi polemis itu pun menonjol dalam karya besar dengan judul "Kitab Yabile-yubile" (Yobel). Manurut fiksinya kitab itu di dikte di Gunung Sinai, sehingga jelas mengklaim kewibawaan mutlak. Dengan pedas kitab itu mengecam orang-orang Yahudi yang menerima adat kebiasaan dan kebudayaan Yunani. Tidak mengherankan kitab itu sangat digemari oleh jemaat yang menetap di Qumran dan yang juga secara total menolak segala macam "pembaharuan" (meskipun nyatanya terpengaruh antara lain oleh tradisi religius Persia). Kitab Ester dan kitab Yudit juga mengilustrasikan resistensi mutlak terhadap pengaruh "asing", artinya Yunani. Kedua kitab Makabe yang disebut di atas memperlihatkan tendensi yang sama, meskipun khususnya dalam 2 Makabe pengaruh Yunani kentara sekali. Kitab-kitab itu yang antara lain bermaksud melegitimasikan kedudukan wangsa Hasmonai (raja dan imam, meskipun bukan keturunan Harun).

Tetapi ada juga orang dan golongan yang lebih mencari semacam modus vivendi dengan menerima saja keadaan nyata. Kitab Tobit misalnya seolah-olah menyajikan semacam model bagaimana orang Yahudi tetap bisa hidup secara Yahudi di lingkungan kafir tanpa kritik atau polemik. Khususnya aliran yang disebut "Farisi" menyalurkan tendensi itu. Mereka menyadari bahwa Alkitab sebagaimana adanya tidak memadai. Maka guna melegitimasikan penyesuaian dengan situasi nyata mereka mendasarkan diri pada "tradisi lisan" yang dikatakan bersalah dari Musa, sehingga kewibawaannya tidak kalah dengan kewibawaan Alkitab. Paling-paling golongan Farisi itu mengharapkan untuk masa depan suatu perubahan radikal. Mazmur-mazmur Salomo memberi kesaksian tentang harapan mereka akan seorang Mesias politik yang akan membebaskan Israel dan menguasai segala bangsa kafir.

Tetapi sebagian bangsa Yahudi kalah terhadap "terror" sejarah. Biasanya tendensi itu disebut "apokaliptik", yang ada pelbagai variannya. Golongan itu tidak percaya lagi bahwa dunia dan sejarah sebagaimana adanya pernah dapat berhasil baik. Hanya campur tangan Allah dapat dan akan menyelamatkan mereka yang setia padaNya. Ia pun akan membinasakan semua mereka yang memusuhi umat yang suci. Tendensi kaliptis itu misalnya ditemukan dalam sebagian Kitab Henok (Acthiopia, 1Hen.) (bdk. Yud. 14), pengangkatan Musa (bdk. Yud. 9) dan kitab Daniel. Ternyata bahwa karangan apokaliptis di zaman itu amat laku dan terus digarap, tidak hanya oleh orang Yahudi tetapi juga oleh orang-orang Kristen. Karangan itu semua mengklaim suatu wibawa ilahi oleh karena diwahyukan oleh Allah/Malaikat Allah kepada tokoh besar di masa yang lampau.

III. Umat Kristen Yang Mula-mula dan Kitab Suci Yahudi

A. Penyaringan belum rampung

Umat Kristen purba muncul dalam masyarakat Yahudi di Palestina yang tetap bingung dan tertekan oleh kebudayaan Yunani, yang didukung oleh kuasa politik dan militer Roma, dibantu antek-anteknya di kalangan Yahudi sendiri, golongan atas, baik awam maupun rohaniawan. Masyarakat Yahudi itu terpecah-pecah menjadi pelbagai aliran dan golongan serta kelompok yang berlawanan satu sama lain. Dan tidak ada pedoman jelas.

Situasi perkitabsucian Yahudi jauh lebih jelas. Memang sebagian Alkitab sudah umum diterima sebagai normatip. Hanya kaum Saduki (aristokrasi para imam) hanya mau menerima kitab Taurat sebagai berwibawa, sedangkan kaum Farisi disamping Alkitab menerima juga tradisi lisan sebagai berwibawa. Lukas 22:24 berkata tentang "Hukum Taurat (kitab Musa), (kitab) para nabi dan (kitab) Mazmur", sedangkan Lukas 24:27 berkata tentang "(kitab) Musa, segala nabi dan segala tulisan suci", entah tulisan-tulisan mana (kecuali kitab Mazmur). Tetapi tetap ada ketidakpastian besar sekitar "tulisan-tulisan suci" itu. Dan belum pasti juga bahwa apa yang diterima di Palestina diterima sebagai Kitab Suci sama dengan yang diterima oleh jemaat-jemaat Yahudi di perantauan. Di luar Palestina Kitab Suci beredar dalam bentuk terjemahan-terjemahan Yunani. Bila terjemahan-terjemahan itu (sejauh masih dapat diketahui) dibandingkan dengan teks Ibrani (seperti dikemudian hari ditetapkan), maka ternyata bahwa beberapa dari kitab yang umum diterima sebagai Kitab Suci oleh umat Yahudi baik di Palestina maupun di perantauan, tersedia dalam versi-versi yang berbeda. Misalnya kitab Nabi Yeremia, kitab Ayub, kitab Ezra, kitab Daniel dll.

Umat Kristen perdana bersama dengan Alkitab juga mengambil alih ketidakpastian tersebut. Kecuali itu kekristenan segera berkembang di luar Palestina, di antara orang-orang Yahudi di perantauan dan di antara orang bukan Yahudi. Di sana - seperti terbukti oleh karangan-karangan yang tercantum dalam Perjanjian Baru, khususnya surat-surat Paulus yang pasti ditulis sebelum th. 70 M. - umat Kristen justru memakai terjemahan-terjemahan ke dalam bahasa Yunani, yang tersedia dalam beberapa versi juga.

B. Pembentukan Alkitab Yahudi secara definitif

Krisis gawat yang melanda umat Yahudi selama abad pertama Masehi mencetuskan pembentukan Alkitab Yahudi secara definitif. Ketegangan dan tekanan yang sudah lama berlangsung dalam masyarakat Yahudi, seperti yang digariskan sebelumnya, akhirnya meledak menjadi pemberontakan terbuka terhadap kuasa Roma dan kebudayaan Yunani, yang sejak th. 63 s.M. mendominasi Palestina. Pada th. 70 M. kota suci, jantung bangsa Yahudi, direbut tentara Roma dan Bait Allah terbakar. Hilanglah sisa otonomi sosio-politis dan itu diperteguh kembali pada th. 135 M. akibat pemberontakan baru dan terakhir.

Maka sesudah bencana itu para pimpinan religius Yahudi terpaksa mencari suatu pegangan kuat dan mantap untuk mempertahankan identitas Yahudi dalam situasi yang serba baru itu. Sampai masa itu faktor pemersatu bangsa dan agama Yahudi adalah kota Yerusalem serta Bait Allah dan ibadat yang diselenggarakan di sana. Para rohaniawan dan imam secara formal tetap pimpinan tertinggi bagi bangsa Yahudi, oleh karena menguasai Bait Allah dan berwenang atas ibadatnya. Memang benar juga bahwa kedudukan dan peranan Bait Allah dan para imam sudah lama menciut, khususnya di kalangan orang Yahudi di perantauan, yang sebenarnya menjadi mayoritas orang-orang Yahudi. Sejak pembuangan di Babel terbentuklah suatu lembaga sampingan, yaitu sinagoga, sebagai pusat jemaat-jemaat Yahudi di perantauan bahkan di Palestina dan Yerusalem sendiri. Di sana Alkitab, sejauh sudah tersedia dan sedang dibentuk, dalam rangka ibadat memegang peranan utama. Dan kepemimpinan sinagoga itu bukanlah para imam atau kaum Lewi qua talis, melainkan para ahli Kitab dan ahli Taurat yang banyak dari kalangan kaum awam.

Justru lembaga sinagoga serta pemimpinnya itulah yang berhasil menyelamatkan identitas atnis-religius bangsa Yahudi untuk masa depan. Para imam praktis hilang dari panggung dan kaum awam, para ahli Kitab, mengambil alih peranan mereka.

Dalam keadaan seperti itu sangat penting bahwa Kitab Suci menjadi jelas dan pasti sebagai pegangan dan pedoman dasar. Maka para rabi dengan melanjutkan apa yang sudah lama berlangsung, menyaring kitab-kitab dan karangan yang beredar, dan mempertahankan apa yang dinlai berbobot dan dapat menjamin identitas etnis-religius Yahudi. Penyaringan itu terutama menyangkut kitab dan karangan yang tidak termasuk kitab Taurat, kitab para Nabi dan kitab Mazmur (Ayb, Ams, Pengk, Kid, Taw, Ezra/Neh, Rat, Dan, Est). Oleh karena ada Alkitab yang beredar dalam versi-versi yang berbeda (Yer, Ayb, Dan, Est, Ezra), maka para rabi yang menentukan juga versi mana selanjutnya menjadi normatif. Kecuali itu para rabi selama abad 1 M. Menentukan dan membekukan teks Ibrani yang mesti dinilai otentik.

Jadi menjelang akhir abad 1 M. umat Yahudi mempunyai Alkitab definitif, mantap dan keramat, tidak tersentuh lagi. Daftar (kanon) ditutup dan teksnya tidak dapat digarap lagi. Sukar dipastikan kapan persis terjadi. Apa yang kadang kala dalam tradisi dikatakan mengenai suatu "sinode", sidang para rabi pada th. 90 M. di Yamnia, sangat diragukan dasar historisnya.

Tidak amat jelas tolok ukur mana yang dipakai para pemimpin Yahudi dalam menentukan dan menyusun Alkitab definitif itu. Apa yang sudah lama diterima sebagai normatif (Torah, nabi-nabi, Mazmur) tidak menjadi problema dan sebenarnya sudah membeku. Persoalannya terletak pada karangan-karangan yang dikumpulkan dalam bagian ketiga kanon (Hekketubim). Kalau kadang kala dikatakan bahwa bahasa Ibrani menjadi salah satu tolok ukur, maka halnya tidak terlalu meyakinkan. Yesus bin Sirakh menulis karyanya dalam bahasa Ibrani (meskipun tidak lagi dipahami rakyat), namun karyanya tidak berhasil masuk ke dalam Alkitab Yahudi. Kaitan (fiktip) dengan tokoh-tokoh besar di masa lampau (seperti Pkh, Kid, Ams), juga tidak meyakinkan. Kitab Ayub tidak dihubungkan dengan tokokh tradisional, namun masuk ke dalam Kitab Suci. Ciri religius dan pemakaian dalam ibadat pun tidak menjelaskan duduk perkaranya. Bagaimana suatu kitab "profan" seperti Ester yang dipakai dalam pesta yang amat sekuler dapat dinilai sebagai suatu Kitab Suci? Pendeknya, orang hanya dapat melontarkan hipotesa melulu dan setiap hipotesa akhirnya menempuh jalan buntu. Kita harus mengakui saja: tidak tahu.

Alkitab Yahudi seperti yang ditentukan para pemimpin di Palestina lambat laun diterima oleh seluruh umat Yahudi, baik di Palestina maupun di perantauan. Terjemahan-terjemahan ke dalam bahasa Yunani (katakan saja sebagai cap umum yang tidak menutupi suatu kesatuan homogen Septuaginta) kehilangan kedudukannya sebagai Kitab Suci orang Yahudi yang berbangsa Yunani.

C. Umat Kristen membentuk Perjanjian Lamanya sendiri

Penyaringan dan penyusunan Alkitab oleh para pemimpin Yahudi di Palestina tidak lagi mempengaruhi umat Kristen. Sebab Kekristenan selama abad I M. khususnya sesudah th. 70 dan 135, berkembang di luar Palestina dan semakin memisahkan diri dari pangkalannya, umat Yahudi. Pengaruh jemaat-jemaat keturunan Yahudi cepat menciut, lalu merosot sama sekali. Dan, menurut kesaksian Perjanjian Baru, umat Kristen banyak berpolemik justru dengan pimpinan baru umat Yahudi, ahli kitab dan ahli Taurat, bukan dengan pimpinan lama, para imam. Maka jelaslah umat Kristen yang berbahasa Yunani bersedia menerima apa yang ditentukan oleh para pemimpin baru yang pada umumnya menganut aliran Farisi yang sesudah th. 70 M. di atas angin.

Maka kekristenan Yunani menghadapi masalah yang sama dengan yang dihadapi orang-orang Yahudi. Dari sekian banyak kitab dan karangan yang beredar dalam Bahasa Yunani (entah berupa terjemahan entah tidak) dan yang menuntut suatu kewibawaan religius bahkan Ilahi, yang manakah mesti diterima sebagai normatif bagi umat Kristen yang sejak awal mengambil alih prinsip Alkitabiah dan Kitab-kitab Suci Yahudi yang belum juga dipastikan? Rasa-rasanya Yesus tidak mewariskan suatu pendirian tegas dalam soal perkitabsucian. Tentu saja menurut kisah Injil Yesus tegas menolak pendirian kaum Farisi yang membanggakan tradisi lisan sebagai berwibawa (Mrk. 7:1 dst.) dan juga mengecam pendirian minimalis kaum Saduki (Mrk. 12:18 dst.). Tetapi cerita-cerita itu kiranya lebih berlatar belakan polemik orang Kristen dengan orang Yahudi daripada mencerminkan pendirian Yesus (bandingkan Mat. 23:2-3).

Oleh karena itu umat Kristen sendiri mesti menyaring dari sekian banyak karangan yang beredar sejumlah yang dinilai normative bagi umat Kristen (yang belum juga mempunyai suatu Kitab Suci sendiri). Semua dikumpulkan dan digabungkan dalam apa yang dicap sebagai "Septuaginta". Naskah-naskah tertua Kitab Suci Yunani itu memang memuat "kanon Kitab Suci Kristen", bukan Alkitab Yahudi di perantauan (Aleksandria). Hanya proses penyaringan tersebut tidak pernah secara tuntas diselesaikan dan selalu, sampai dengan hari ini, ada perbedaan pendapat (kekristenan Timur yang tetap memakai Septuaginta sebagai Kitab Suci yang diinspirasikan).

Nyatanya cukup banyak karangan yang ditolak oleh para pemimpin Yahudi sebagai Kitab Suci, diterima umat Kristen sebagai normatif. Dan sehubungan dengan beberapa kitab/karangan yang diterima oleh keduanya, umat Kristen memilih versi yang lain (misalnya: Dan, Est, Yer), yang tersedia dalam terjemahan Yunani yang berbeda dengan teks Ibrani yang ditentukan para ahli Yahudi.

Cukup menarik bahwa umat Kristen memilih sejumlah besar karangan yang menyalurkan "hikmat-kebijaksanaan". Aliran hikmat itu hanya mendapat proporsi kecil dalam Alkitab Yahudi yang definitif (Ayub, Amsal, Pengkhotbah, Kidung). Disebutkan saja: karya besar hikmat kebijaksanaan Yesus bin Sirakh, Hikmat-kebijaksanaan Salomo; kitab Barukh (sebagian), kitab Tobit, cerita-cerita sekitar si bijak Daniel, kitab Ester yang lebih tebal daripada dalam Alkitab Yahudi . Kebanyakan kitab yang tercantum dalam Alkitab Yahudi berasal dari kalangan para rohaniwan yang menyerap juga aliran kenabian (Thorah, para nabi, Taw, Ezr/Neh), pada hal hikmat kebijaksanaan berasal dari dan disalurkan oleh kaum awam yang di masa belakangan menjadi ahli Kitab juga. Produksi kaum awam itu biasanya tidak merepotkan diri dengan lembaga-lembaga religius atau dengan cita-cita muluk kolektivitas umat, melainkan dengan masalah "duniawi" dan soal-soal perilaku hidup sehari-hari, dengan problema fundamental manusia sebagai manusia. Pokoknya karya-karya hikmat-kebijaksanaan itu menggumuli masalah-masalah aktual, konkret yang tercetus oleh pengalaman dengan dunia dan manusia sebagaimana adanya. Problema-problema yang menyangkut manusia dan pribadi-pribadi semacam itu menjadi penting setelah bangsa Yahudi kehilangan keberadaan nasionalnya, eksistensi sosio-religiusnya. Dan umat Kristen awal memang belum mempunyai keberadaan semacam itu, sehingga hikmat-kebijaksanaan tradisional bagi mereka pun relevan oleh karena praktis, eksistensial dan personal. Banyak dari hikmat kebijaksanaan tradisional diwariskan kepada umat Kristen melalui karangan-karangan khusus yang terkumpul dalam Kitab Suci Yunani, ciptaan umat Kristen sendiri.


IV. Lanjutan Alkitab Yahudi Dan Perjanjian Lama Kristen

Alkitab seperti ditetapkan oleh para pemimpin Yahudi selama abad I-II M. dan Kitab Suci Yunani yang beredar pada kekristenan nyatanya tidak dapat menampung pengalaman barau perkembangan historis selanjutnya. Dan Kitab Suci Yahudi-Yunani yang diambil alih oleh umat Kristen kurang mampu menampung pengalaman khusus Kristen, meskipun mula-mula melalui tafsiran khusus dipakai sebagai kunci penafsiran fenomen Kristen.

Alkitab Yahudi menjadi kitab keramat, tidak tersentuh lagi. Maka situasi dan pengalaman baru oleh pimpinan Yahudi digarap melalui apa yang di kemudian hari dibukukan dalam Misyna dan Talmud (versi timur, Babel/Mesopotamia dan versi barat, Yerusalem) (Halaka, perilaku) dan pelbagai Midrasyim (Haggada, terlebih ideologis). Meskipun usaha-usaha itu berlagak tafsiran Alkitab, namun nyatanya jauh juga melampaui batas Alkitab. Misyna dan Talmud akhirnya umum diterima sebagai pedoman dan pegangan dan berhasil menyingkirkan misalnya cara jemaat-jemaat Yahudi di Mesir menggarap situasi baru dan kebutuhan nyata. Suaranya masih terdengar dalam karya-karya Filo dan Aleksandria (+ 50?), tetapi dampaknya tidak berlanjut pada orang-orang Yahudi.

Umat Kristen menempuh jalan lain. Di satu pihak umat itu menilai dirinya sebagai lanjutan sejati bangsa Israel sebagai umat Allah sehingga boleh saja mengambil alih Kitab-kitab Suci umat Yahudi, di lain pihak umat Kristen menilai dirinya sebagai sesuatu yang benar-benar baru dan yang melampaui yang lama. Maka Kitab-kitab Suci yang diwariskan itu dinilai "Perjanjian Lama" (Paulus), ketinggalan zaman.

Pewartaan Yesus serta lanjutannya dinilai tidak kurang berwibawa daripada Kitab-kitab Suci itu. Waktu semuanya itu dikumpulkan dalam Kitab-kitab (Yunani) Kristen, kitab itu tidak dianggap "tertutup", sehingga tidak dapat lagi berkembang.

Waktu kekristenan pada abad II-III dilanda suatu krisis identitas yang parah sekali, umat Kristen guna mempertahankan identitasnya mamakai sarana yang sama dengan yang dipakai umat Yahudi ketika mengalami krisis identitas, yaitu: menciptakan suatu Kitab Suci yang otoritatif dan normatif.

Maka pada abad II-III umat Kristen dari sekian banyak kitab dan karangan yang beredar dan yang mengklaim suatu wibawa Ilahi menyaring sejumlah yang dinilai normatif bagi umat Kristen selanjutnya. Dengan demikian terciptalah bagian kedua Kitab Suci Kristen, yang disebut "Perjanjian Baru". Proses penyaringan itu baru selesai menjelang tahun 400 M. Dan seperti Kitab Suci Yahudi-Kristen bertahap-tahap terbentuk (Torah, Nabi-nabi, tulisan-tulisan), demikian pun Kitab Suci khusus Kristen (Perjanjian Baru) langkah demi langkah terbentuk (empat Injil, surat-surat Paulus, Kis, tulisan-tulisan lain). Dan sama seperti tolok ukur yang dipakai untuk menyaring Perjanjian Lama kurang jelas, demikian pun kriterium yang dipakai umat Kristen untuk menyusun Perjanjian Baru cukup kabur.

V. Penutup

Kembali kepada awal karangan ini: Problema "Zaman Antar-Testamen" tidak mudah dijawab. Hanya jelas bahwa kekristenan dan Kitab Sucinya tidak dapat dipahami kalau orang tidak mempelajari sekian banyak karya dan tulisan yang diproduksi oleh umat Yahudi menjelang, bahkan sesudah tampilnya umat Kristen di panggung sejarah. Antara Alkitab yang pada abad II M. dibakukan oleh pimpinan Yahudi dan Kitab Suci yang khusus Kristen (Perjanjian Baru) ada jembatan yang mesti dilalui untuk menemukan titik sambung umat Kristen dengan umat Yahudi. Umat Kristen berpangkal pada Alkitab Yahudi tersebut, melainkan pada umat Yahudi seperti hidup pada awal tarikh Masehi dan yang suaranya terdenganr dari sekian banyak karangan, entah (sebagian) dinilai sebagai normatif (kekristenan Roma Katolik dan Yunani-Bizantin) atau tidak dinilai demikian.

sumber: http://www.alkitab.or.id/index.php?option=com_content&task=view&id=145&Itemid=131

Kekristenan Dalam Sejarah Indonesia

Ada suatu peristiwa sejarah yang perlu diketahui oleh gereja yang bisa kami tuliskan. Seperti kita ketahui, Islam dan Kristen sudah berebut pengaruh di Nusantara ini dimulai sejak abad ke-16 sampai dengan sekarang. Hal ini memang tidaklah mengherankan karena kedua agama ini sama-sama bersifat agama dakwah (misi), sehingga di lapangan terkesan saling bersaing dalam penyebaran agama.

Baiklah, sebelum jauh, kita sebentar ‘bernostalgia’ ke masa lampau dulu.

Gubernur Jendral VOC/Belanda (VOC=Vereenigde Oost-Indische Compagnie atau Kompeni India Timur), yang bernama Jan Pieterzoon Coen (berkuasa tahun 1619-1629) pernah mengenalkan suatu sistem ‘pembagian beras untuk iman’ yang dikenal dengan sebutan Kristen beras (rice Christians), dimana setiap anak yang mau belajar di sekolah Kristen akan diberi 1 pon beras. Jadi orang memeluk agama untuk mencari keuntungan materi semata-mata, kira-kira begitu maksudnya.

Trus, hubungannya apa? Konteksnya sekarang, bahwa apa yang populer dilakukan gereja dengan bagi-bagi sembako sebenarnya sudah dilakukan Belanda/VOC tahun 1600an lalu. Jangan heran jika sebagian saudara kita yang Islam curiga dengan kegiatan bagi sembako (atau bakti sosial) yang diadakan oleh kelompok orang Kristen sebagai cara-cara kristenisasi (padahal sebenarnya tidaklah seperti yang mereka maksudkan).

Belum lagi dengan semboyan Belanda pada waktu itu yang tidak menjadi berkat. Mereka mempunyai motto 3G. Lho, kok kayak istilah teknologi handphone saja? Hus, bukan. Ini maksudnya, Gold, Glory, Gospel. Dengan kata lain, mereka datang ke Nusantara dengan tujuan untuk cari emas, untuk mendapatkan kemuliaan atau kehormatan dan menyampaikan Injil. Jadi misi untuk menjajah dan misi untuk penginjilan menjadi satu. Kita tahu, penjajahan itu mengutamakan kekerasan, penindasan bahkan pertumpahan darah. Sementara inti pe nginjilan adalah menyampaikan Kabar Baik, mengajarkan kasih, kasih kepada Bapa dan kasih kepada sesama. Jadi, dua hal yang sangat bertolak-belakang ini dilakoni oleh Belanda/VOC kepada rakyat Indonesia pada waktu itu.

Dalam kehidupan sehari-hari pun, orang Belanda/VOC tidak menjadi berkat. Mereka memeras orang-orang pribumi, mereka menipu pemerintahnya sendiri (korupsi), mereka tidak menghormati perkawinan.

Mereka mengganggu wanita-wanita pribumi, mereka suka mabuk-mabukan, membuat keonaran. Dan pemerintah Belanda/VOC sendiri sampai harus membuat ancaman hukuman agar mereka mau datang kebaktian ke gereja karena sangat malas beribadah.

Tambahan lagi, baik orang Portugis maupun Belanda sama-sama memiliki dan memperjualbelikan budak-budak. Terutama pulau Bali yang merupakan daerah asal budak-budak. Padahal di Eropa pada waktu itu perbudakan sudah ditiadakan (tidak diperbolehkan). Karenanya gereja induk di Belanda sudah melarang, namun gereja di Indonesia tidak menghiraukannya. Hal ini disebabkan para pendeta sendiri biasanya mempunyai budak-budak (walau memang gereja di Indonesia menganjurkan agar budak-budak tersebut diperlakukan dengan sewajarnya).

Jadi keadaan-keadaan seperti yang disebutkan diatas sedikit banyak menjadi penghalang (batu sandungan) bagi pekabaran Injil di bumi Nusantara ini. Tidaklah mengherankan jika usaha-usaha penginjilan selama kurun waktu lebih 250 tahun (1522 s/d 1799) sangat mengecewakan. Dilihat dari segi jumlah, orang yang menjadi Kristen pada waktu itu hanya kira-kira seratus ribu orang, atau 400 orang saja dalam satu tahun. Dibandingkan dengan apa yang dicapai oleh penyebaran agama Islam pada periode yang sama.

Pada tahun 1500an agama Islam sudah dianut oleh penduduk Aceh, Sumatera bagian timur, Ternate dan pantai utara pulau Jawa. Kerajaan-kerajaan Islam pada waktu itu adalah : Samudra Pasai (sejak 1297 M) di Aceh, Demak (sejak 1515 M) di Jawa Tengah, Banten (sejak 1524 M) di Banten, Mataram (sejak 1591 M) di Jawa Tengah, Ternate-Tidore (sejak 1460 M) di Maluku, Gowa-Tallo (sejak 1605 M) di Sulawesi.

Dan tahun 1800, penyebaran agama Islam secara garis besar sudah menduduki daerah-daerah seperti yang kita kenal sekarang ini.

Baik, kita kembali ke cerita Belanda lagi. Pada bulan September 1901, di Staten Generaal, Ratu Wihelmina dalam pidato kenegaraannya, antara lain mengatakan:

“ Sebagai kekuatan Kristen maka Belanda berkewajiban untuk mengatur posisi hukum yang lebih baik bagi orang-orang Kristen pribumi di Hindia Belanda, untuk memberi dukungan lebih kuat terhadap penyebaran agama Kristen….”

Beberapa tahun kemudian, Gubernur Jendral Belanda, BC de Jonge tahun 1936, di harian Deli Courant mengatakan:

” Kami sudah berkuasa disini selama tiga ratus tahun dengan cambuk dan cemeti dan kami akan berbuat begitu tiga ratus tahun lagi.”

Pernyataan Ratu Belanda dan Gubernur Jendral Belanda ini menunjukkan arogansi penguasa dan ini tentu semakin menambah antipati rakyat Indonesia terhadap agama Kristen. Akibatnya, misionaris Kristen disamakan dengan penjajah yang harus dilawan. Harus diusir mati-matian. Agama Kristen dicap sebagai agama kaum penjajah. Dan, sadar atau tidak, sampai sekarangpun sikap penolakan/resistensi terhadap kekristenan masih kuat terasa.

Salah satu penyebabnya, karena adanya luka sejarah yang ’berdarah-darah’ yang dialami oleh rakyat Indonesia selama 350 tahun penjajahan Belanda. Bagi mereka, Kristen seperti momok yang menakutkan. Ingat Kristen langsung memory-nya ingat akan kekejaman dan pahit getirnya dijajah oleh Belanda, seperti yang sudah diuraikan tadi, ditambah lagi dengan isu tentang Perang Salib (tahun 1095-1291) antara kelompok Kristen dengan Islam.

Hal ini jauh berbeda dengan awal-awal masuknya agama Islam ke Nusantara yang dilakukan kaum saudagar dari Arab, Persia dan India (Gujarat). Mereka masuk dengan cara-cara yang simpatik seperti membina hubungan dagang, tinggal menetap di suatu daerah, melakukan kawin campur dan mengikuti gaya hidup masyarakat setempat sehingga mereka diterima dan menjadi anggota salah satu suku di daerah tersebut.

Singkatnya, dengan mengetahui sejarah kekristenan ini maka gereja bisa lebih luwes dan bijaksana dalam berinteraksi dengan saudara kita yang beragama Islam. Gereja jangan memandang mereka seperti seteru yang harus dijauhi. Ingatlah bahwa mereka juga keturunan Abraham dari Ismael, sama seperti kita adalah keturunan Abraham dari Ishak. Oleh karena itu, gereja harus bisa menunjukkan kasih yang nyata kepada mereka agar ‘sikap manis’ gereja tersebut tidak dicurigai sebagai ada udang di balik kwetiau dan mereka dapat ‘sembuh’ dari trauma masa lalu. Biarkan mereka melihat dan menilai sendiri bahwa orang Kristen sekarang, memang berbeda. Karena apa? Karena ada karakter sejati Yesus dalam pribadi setiap umat Tuhan.

Matius 5: 9, “ Berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah”.

Kata kuncinya, membawa damai. Atau dalam versi New King James dikatakan peace-maker. Pembuat damai. Bukan menjadi trouble-maker, pembuat masalah. Jika kita pembawa damai atau pembuat damai maka kita akan disebut anak-anak Allah. Pertanyaannya, anak Allahkah kita? Kita jawab masing-masinglah dengan jujur.

Dalam Matius 5:13 dikatakankan agar kita menjadi garam dan terang dunia. Bukan menjadi gincu dunia! Garam bersifat memberi rasa tetapi tidak kelihatan. Sedangkan gincu bersifat kelihatan (memberi warna) tetapi tidak memberi rasa. Gereja dewasa ini cenderung lebih suka menjadi gincu dari pada garam. Suka pamer. Eksklusif. Tidak berbaur. Tidak manunggal dengan masyarakat sekitar. Padahal tujuan menggarami bukan dimaksudkan di tempat yang sudah ada garamnya karena hakekat garam diperlukan untuk memberi rasa, memberi dampak, memberi manfaat.

Istilah dalam bahasa Arab dikatakan, “khoirunas ‘anfa’uhum lil an-nas” artinya sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat bagi sesama.

Markus 9:50, “ …hendaklah kamu selalu mempunyai garam dalam dirimu dan selalu hidup berdamai yang seorang dengan yang lain.”

Sementara, menerangi bukan dimaksudkan di tempat yang sudah ada terangnya karena hakekat terang dibutuhkan di tempat yang gelap. Kalau terang di tempat terang, hanya membuat silau mata saja, alias orang Kristen lagi-lagi jadi eksklusif dan jadi eksklusif orang Kristen lagi-lagi.

Matius 5:16, “ Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya di depan orang supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di sorga.”

Benarlah petuah orang Jawa yang mengatakan, urip iku urup. Hidup itu nyala! Maksudnya, hidup itu kudu membawa manfaat. Bermanfaat bagi sesama, baik itu manfaat secara materi, jasmani juga rohani.

Saudaraku, bagaimana gereja bisa memenangkan banyak jiwa bagi Kristus, jika gereja sendiri belum menjadi pembawa damai, pembuat damai? Jika kita belum menjadi garam dan terang dunia? Bukankah nanti kita malah menjadi batu sandungan? Itulah sebabnya, sebelum Yesus memerintahkan murid-murid, seperti tertulis dalam Matius 28: 19-20, “Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa, dan Anak dan Roh Kudus, dan…”, secara tidak langsung Yesus terlebih dahulu melakukan ‘pembekalan’.

Sekali lagi, pembekalan, dengan menyampaikan kotbah di bukit, Matius 5, yang salah satunya disebut dalam ayat 9 dan ayat 13-16, seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya. Dan contoh lain juga sebagaimana tertulis dalam Matius 10 ayat 16 dan seterusnya, tentang domba di tengah-tengah serigala (akan dijelaskan di bab selanjutnya). Atau dengan kata lain, sebelum diterjunkan ke ’hutan belantara’ untuk memenangkan jiwa. Yesus terlebih dahulu mempersiapkan mental, karakter dan spiritual para murid.

Baiklah, berapa banyak hamba Tuhan yang ‘jagoan’ berkotbah di mimbar-mimbar gereja atau KKR disana-sini, namun watak atau karakternya masih jeblok? Saudara mungkin bertanya, memangnya ada yang begitu? Ya adalah pak, bu, om, tante, sis, brur. Jika tidak begitu, mana mungkin Tuhan mengatakannya dalam Matius 7:22-23 ?

“ Pada hari terakhir banyak orang yang akan berseru kepada-Ku : Tuhan, Tuhan, bukankah kami bernubuat demi nama-Mu dan mengusir setan demi nama-Mu dan mengadakan banyak mujizat demi nama-Mu juga? Pada waktu itulah Aku akan berterus terang kepada mereka dan berkata: Aku tidak pernah mengenal kamu! Enyahlah dari pada-Ku, kamu sekalian pembuat kejahatan!”

Jika diperhatikan dengan seksama, firman Tuhan ini sebenarnya bicara blak-blakan tentang dikotomi antara buah Roh (Gal 5:22-23) dengan karunia Roh (1 Kor 12+14). Bukankah buah Roh menunjuk kepada karakter/sifat manusia, sedangkan karunia Roh, sesuai namanya adalah pemberian kasih atau anugerah dari Roh Kudus?

John Maxwell, seorang pendeta sekaligus penulis tentang kepemimpinan yang terkenal, mengatakan, “Talenta adalah karunia, namun karakter adalah pilihan.” Artinya, karunia-karunia Roh berasal dari Tuhan (faktor luar), jadi mau dberikan kepada siapa atau mau diambil kembali atau tidak, itu haknya Tuhan. Tapi, karakter adalah faktor internal manusia. Apakah mau berubah atau tidak, pilihannya ada di tangan kita (free-will). Jadi, sekali-kali jangan pernah bangga de ngan karunia-karunia Roh yang ada pada kita, tapi lebih dari itu, banggalah dengan buah Roh yang kita hidupi dalam kehidupan kita sehari-hari, agar kelak di penghakiman-Nya, kita tidak ditolak-Nya.

Oke, kita kembali ke topik semula.

Sebenarnya kegagalan penginjilan di zaman VOC / Belanda dulu, adalah karena tidak sinkronnya (sesuai) antara perkataan (ajaran) dengan perbuatan. Buah Roh (kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemah-lembutan, penguasaan diri) tentu tidak ada pada orang yang menjajah! Apalagi dengan semua yang dilakukan Belanda sebagai penjajah. Wah, parah! Betul-betul rakyat diperas-ras-ras sampai habis-bis-bis. Jadi bagaimana Belanda mau menjadi garam dan terang dunia? Tidak heran kalau waktu itu ajaran Kristen sama-sekali kehilangan daya tariknya dibandingkan agama lain.

(Kata orang, masih mending dijajah Inggris. Lihat saja negara bekas jajahan Inggris, semuanya oke-oke alias makmur, dibandingkan negara bekas jajahan Belanda. Makanya perkumpulannya saja disebut ‘Negara Persemakmuran’).

Tapi bagi saya, yang namanya penjajah adalah penjajah. Tetap tidak Alkitabiah titik. Mau Belanda kek. Inggris kek. Perancis kek. Sama sajalah. Paling hanya beda kemasannya saja. Iya kan?

Oleh karena itu, belajar dari sejarah, maka gereja bisa mengambil hikmahnya. Kesalahan atau kelemahan komunitas Kristen waktu itu agar tidak terkondisikan lagi sekarang ini.

“Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah, apa yang baik, yang berekenan kepada Allah dan yang sempurna.” Roma 12:2.

Biarlah orang-orang dunia melihat dan merasakan sendiri bahwa orang Kristen sesungguhnya adalah pembuat damai, pembawa damai yang penuh kasih agape kepada sesama, yang bisa menggarami dan menerangi sehingga Injil dengan sendirinya akan jauh lebih mudah diterima. Atau dengan kata lain, gereja bisa menjadi Injil yang terbuka. Tentu ini bukan perkara gampang. Namun dengan pertolo ngan Roh Yesus, kita pasti bisa dimampukan untuk itu.



Ev. Markus HLS
http://elrasa.wordpress.com/sejarah/bab-5-sejarah-kristen/