Entri Populer

Sabtu, 29 September 2012

KANONISASI PERJANJIAN BARU

KANONISASI PERJANJIAN BARU

Oleh: Prof. Dr. Richard W. Haskin

Pengantar

Sekarang sudah diketahui (akibat penyelidikan dan penemuan yang terjadi terutama pada abad ini) bahwa, dalam kurun waktu dari pertengahan abad ke-1 M sampai akhir abad ke-2 M orang-orang yang memandang dirinya selaku orang Kristen (bagaimanapun penilaian terhadap mereka oleh gereja-gereja kemudian hari!) telah menghasilkan lebih dari seratus tulisan yang mengandung apa yang mereka mau tekankan sehubungan dengan iman dan cara hidup Kristiani. Namun, sejak abad ke-5 M hampir setiap orang Kristen, di mana saja di dunia ini, berpegang pada Perjanjian Baru sebagai suatu kumpulan tulisan yang terdiri dari dua puluh tujuh kitab. Apa yang terjadi dalam sejarah sehingga inilah kenyataan sekarang ini? Pertanyaan inilah yang mendasari pokok kanonisasi PB.

Arti Kanon

Istilah "kanon" berupa pengalihan secara hurufiah dari kata Yunani kanon yang berasal dari istilah bahasa-bahasa Semit yang berarti "buluh" (qaneh dalam bahasa Ibrani). Secara hurufiah, kata ini dipakai untuk mistar atau penggaris, seperti diperlukan tukang kayu atau jurutulis. Tetapi, kata ini juga dipakai dalam arti kiasan, antara lain, "patokan" dalam ajaran akhlak, filosofis, atau keagamaan dan "daftar" atau "katalogus". Di dalam 2Kor. 10:13, 15, 16, kata ini dipakai dengan artian "batas", dan di dalam Gal. 6:16, dalam arti "patokan" sehubungan dengan cara hidup. Dalam pemakaian kegerejaan, mula-mula kata ini digunakan untuk menunjuk akan patokan dalam ajaran atau doktrin Kristiani (terlihat misalnya di dalam I Klemens 7:2 atau di dalam tulisan-tulisan uskup Irenaeus; karena dalam bahasa Latin kata yang sepadan ialah regula, maka ungkapan regula fidel dipakai untuk menunjukkan patokan yang hendaknya dipegangi orang-orang Kristen dalam kepercayaan mereka). Eusebius (awal abad 4) memakai kata ini (dalam bentuk jamak) untuk daftar-daftar ayat-ayat yang sejajar di dalam kitab-kitab Injil. Juga dalam bentuk jamak, keputusan-keputusan dari Konsili Nikea dinamai kanon (jelas dengan artian yang lebih dekat pada "patokan"). Baru dengan uskup Athanasius, di dalam surat edaran untuk perayaan Paskah pada tahun 367, kata ini dipakai untuk kitab-kitab PB.

Pembagian Menurut Athanasius

Athanasius membedakan antara "buku-buku yang termasuk kanon dan yang telah diturunalihkan serta sebagai ilahi" dengan "buku-buku yang disebut apokryfa" yang katanya, para orang sesat mencampuradukkan dengan tulisan-tulisan suci yang berasal dari pengilhaman ilahi. Pemakaian kata kanon oleh Athanasius ini memperlihatkan pemakaian kegerejaan sejak abad keempat itu. Buku-buku digolongkan sebagai tulisan-tulisan suci apabila dinilai sebagai sesuai dengan patokan mengenai ajaran Kristiani yang benar sehubungan dengan kepercayaan dan cara hidup (akhlak) Kristiani. Tulisan-tulisan yang demikian dapat dicap "ilahi" atau disebut sebagai yang berasal dari pengilhaman ilahi, tetapi sebutan semacam ini julukan saja. Maksudnya: tiada pembuktian bahwa tulisan-tulisan berasal dari pengilhaman ilahi kecuali persetujuan bahwa tulisan-tulisan tersebut memang sesuai dengan patokan (kanon) mengenai kepercayaan dan cara hidup Kristiani. Tetapi, "persetujuan" pada siapakah? Menjawab pertanyaan ini tidak terlalu sulit jika diperhatikan pengacuan Athanasius kepada orang-orang sesat (bidat) dan jika diingat peranan Athanasius selaku pembesar dalam lembaga kegerejaan yang sedang bermunculan pada waktunya sebagai gereja Katolik purba, yang dimaksud dengan ungkapan "gereja Katolik purba" ialah bukan satu lembaga dengan satu pemimpin tertinggi (seperti, misalnya gereja Roma Katolik dengan Paus kemudian hari), melainkan gereja-gereja yang berada di sekitar Laut Tengah (terutama di dalam wilayah kekaisaran Roma) yang semakin seragam dalam kredo (pengakuan iman) moralitas (akhlak) dan sistim pemerintahan (keuskupan) dan yang mencakup dalam keanggotaannya sebagian besar (mayoritas) orang Kristen di wilayah tersebut. Oleh gereja-gereja ini, dengan pemimpin-pemimpinnya seperti uskup Athanasius, orang-orang Kristen yang berbeda dalam kredo, akhlak, dan sistim pemerintahan dicap dan ditentang selaku orang-orang sesat. Apalagi, demi kepentingan kesatuan kekaisaran Roma, sejak Kaisar Konstantinus (awal abad keempat), ada kecenderungan dari pemerintah kekaisaran untuk memihak pada gereja-gerja mayoritas ini serta mendukung kepemimpinannya, antara lain, dalam menindak gereja-gereja minoritas (yang dicap sesat atau bidat!).

Athanasius mencatat di dalam suratnya bahwa tulisan-tulisan suci Perjanjian Baru adalah: "empat kitab Injil menurut Matius, Markus, Lukas dan Yohanes, sesudah itu Kisah Para Rasul dan tujuh tulisan yang biasa disebut surat-surat Katolik dari rasul-rasul, yaitu, satu dari Yakobus, dua dari Petrus, lantas tiga dari Yohanes dan sesudah ini satu dari Yudas. Di samping ini ada empat belas surat dari rasul Paulus yang ditulis dalam urutan berikut: yang pertama kepada orang-orang
Roma, lantas dua kepada orang-orang Korintus dan yang sesudah ini satu kepada orang-orang Galatia, menyusul satu kepada orang-orang Efesus, kemudian yang satu kepada orang-orang Filipi dan satu kepada orang-orang Kolose dan dua kepada orang-orang Tesalonika dan surat kepada orang-orang Ibrani dan langsung dua kepada Timotius, satu kepada Titus dan terakhir kepada Filemon. Lantas lagi ada Wahyu dari Yohanes." Jumlah ini (dua puluh tujuh) dan sebutannya (nama-nama) sama dengan sekarang ini dalam kebanyakan gereja-gerja Kristen, walaupun urutannya sedikit berbeda. Jelaslah bahwa tulisan-tulisan Kristen, bagaimanapun dinilai mutunya, kalau tidak tercantum pada daftar ini (kanon), dianggap oleh athanasius sebagai yang tidak sesuai dengan patokan (kanon) kredo dan akhlak Kristiani, walaupun tidak ada catatan-catatan dari Athanasius mengenai yang mana, di luar dua puluh tujuh ini, mau digolongkannya sebagai sungguh-sunggu sesat dan yang mana hanya tidak jadi masuk daftar ini, kendatipun isinya tidak betul-betul sesat.

Tiga Kelompok Tulisan Kristen Kuno

Sebelum Athanasius, Eusebius sudah membagi tulisan-tulisan Kristen kuno ke dalam tiga kelompok: (1) yang diterima tanpa dipersoalkan oleh semua; (2) yang dipersoalkan atau diperdebatkan dan (3) yang jelas palsu (artinya, tidak sejati Kristiani, sesat). Sebetulnya, sejak awal abad ketiga, sudah ada kecenderungan untuk membuat pengelompokan semacam itu (misalnya, oleh Klemens dan Origenes dari Alexandria). Bagi gereja-gereja, yang diwakili macam Athanasius, kelompok (1) akhir-akhirnya terdiri dari dua puluh tujuh kitab yang seperti tercantum di dalam daftar Athanasius. Tetapi, sempai waktu Athanasius, bahkan lewatnya, ada kitab-kitab seperti Yakobus, Yudas, II Petrus, II dan III Yohanes, Ibrani, dan Wahyu yang dipersoalkan. Yang juga diperdebatkan ialah tulisan-tulisan seperti Didakhe (Ajaran keduabelas rasul), I Klemens, dan Gembala Hermas. Tiga tulisan ini, ditambah dengan II Klemens, surat-surat Ignatius, surat Policarpus, surat Barnabas, surat Diognetus, walaupun akhirnya tidak dimasukkan ke dalam kelompok (1), namun cukup tinggi dihargai oleh gereja-gereja mayoritas, dan, sejak abad ketujuhbelas dianggap sebagai satu kumpulan dan disebut "bapak-bapak rasuli". Semua tulisan lain, yang mungkin berjumlah sekitar tujuhpuluh buah (seperti telah disinggung di dalam alinea pertama makalah ini), oleh gereja-gereja mayoritas dimasukkan ke dalam kelompok (3). Tetapi, tulisan-tulisan tersebut bercorak pengungkapan iman dan akhlak Kristiani yang rupanya dipegangi dengan ikhlas oleh orang-orang yang mengaku diri orang Kristen, walaupun dengan perbedaan-perbedaan tertentu dibandingkan dengan orang-orang Kristen mayoritas. Jika diharapkan suatu pemahaman yang lebih lengkap tentang iman dan cara hidup Kristiani pada tahapan awal persekutuan Kristen, maka tulisan-tulisan perlu dipelajari juga tanpa prasangka bahwa isinya melulu ajaran sesat dari orang-orang penyesat!

Kitab Suci Umat Yahudi

Pada waktu persekutuan Kristen mulai ada, kanon, sebagai patokan iman dan akhlak serta daftar tulisan-tulisan yang sesuai dengan patokan itu, belum ada pada orang-orang Yahudi. Memang, kumpulan kitab-kitab hukum (Torah) sudah dianggap tertutup oleh mereka, dan demikian pula dengan kumpulan kitab-kitab para nabi. Di samping kedua kumpulan tertutup itu, ada cukup banyak tulisan yang dihargai oleh mereka sebagai yang bermutu sebagai keagamaan. Terutama di kalangan orang Yahudi di perantauan (Diaspora), yang bergantung pada bahasa Yunani, ada kitab-kitab yang dihargai yang kemudian hari tidak ada di dalam kitab suci Yahudi tetapi pada waktu dahulu ada di dalam Septuaginta, terjemahan Yunani dari Torah, nabi-nabi, dan sejumlah tulisan lain lagi, sebagian yang ditulis semula dalam bahasa Yunani. Orang-orang Kristen pertama pasti membaca dan menggemari juga tulisan-tulisan macam itu, seperti terlihat dalam acuan kepada Kenaikan Musa dalam Yudas 9 dan acuan kepada kitab I Henokh dalam Yudas 14-15. Jadi, persekutuan Kristen mewarisi tulisan-tulisan suci dari umat Yahudi, yaitu Torah dan nabi-nabi, tetapi tidak mewarisi sebuah kanon, ataupun dorongan untuk menetapkan sebuah kanon untuk persekutuan Kristen sendiri. Demikian pula tidak ada pemimpin ataupun sidang yang memerintahkan bahwa persekutuan Kristen harus memiliki suatu kanon kitab suci sendiri. Perkembangan ke arah penetapan kanon bermunculan dalam kehidupan persekutuan Kristen sepanjang lebih dari duaratus tahun sehubungan dengan keperluan-keperluan seperti keperluan akan bahan untuk ibadah, pewartaan dan katekisasi, dan sehubungan dengan perkembangan-perkembangan, antara lain kesadaran bahwa persekutuan Kristen berbeda dari persekutuan Yahudi, kesimpulan bahwa Kristus tidak akan segera kembali, penindasan dari pejabat-pejabat pemerintah, dan perpecahan serta pertentangan di antara orang Kristen sendiri.

Ucapan Yesus

Jadi, selama seratus tahun pertama, tidak ada dorongan yang berarti untuk menetapkan sebuah kanon dalam persekutuan Kristen. Tetapi, selama kurun waktu yang sama, tampaklah perkembangan yang memberikan kedudukan istimewa kepada bahan-bahan tertentu, entah bahan tersebut dalam bentuk lisan atau tertulis. Jelas yang pertama di sini ialah perkataan-perkataan Yesus (logika Yosua). Rasul Paulus, pada dasawarsa kelima abad pertama, beberapa kali mengacu kepada suatu logos Tuhan (= Yesus) untuk membenarkan atau mendukung sesuatu pendapat yang Paulus mau sampaikan kepada jemaat-jemaat asuhannya (mis. 1Tes. 4:15; 1Kor. 7:10; tetapi pengacuan macam ini tidak banyak, dan kenyataan ini tentu menimbulkan pertanyaan "mengapakah?". "Q", sumber perkataan-perkataan Yesus yang dipakai oleh Matius dan Lukas, tersusun pada dasawarsa keempat abad pertama, serta kumpulan logia Yesou yang sekarang dikenal sebagai "Injil Thomas" tersusun tidak lama sesudah "Q". Kedudukan istimewa mulai diberikan kepada surat-surat Paulus sendiri (entah berapa banyak!) dari akhir abad pertama, sebagaimana terdapat dalam acuan-acuan di dalam I Klemens dan di dalam surat-surat uskup Ignatius.

Tulisan Rasuli dan Non-Rasuli

Pada akhir abad pertama dan awal abad kedua, ada acuan-acuan kepada bahan yang mungkin sudah dikenal pada waktu tersebut sebagai bahan yang termuat di dalam tulisan-tulisan yang tidak lama kemudian biasa disebut kitab-kitab Injil (misalnya acuan-acuan yang terdapat di dalam Didakhe, Hermas, dan surat-surat Ignatius). Tetapi kepastian dalam hal ini cukup sulit, karena acuan-acuan ini bisa saja berkenaan dengan tradisi-tradisi lisan mengenai perkataan dan perbuatan Yesus, tradisi-tradisi yang masih dihargai paling sedikit sampai pertengahan abad kedua (misalnya Papuas, uskup kota Hierapolis di Asia Kecil, di sekitar tahun 130, menyatakan bahwa ia lebih suka "suara hidup itu", maksudnya tradisi lisan). Pada pihak lain, ada kemungkinan besar bahwa, pada parohan pertama abad kedua, sudah ada tulisan-tulisan yang berbentuk seperti kitab Injil, kitab kisah, atau kitab wahyu dan yang berasal dari kelompok-kelompok Kristen yang sedikit atau banyak berbeda dalam iman dan akhlak dengan mereka dari gereja-gereja mayoritas (maka, kelompok-kelompok ini suka dicap bidat atau sesat oleh mereka dari gereja-gereja mayoritas; sebutan yang jauh kemudian hari biasa dipakai untuk kelompok-kelompok yang berbeda ini ialah "gnostik", walaupun mereka cukup pelbagai). Tulisan-tulisan macam ini biasanya dikaitkan dengan nama seorang rasul; maka ada "Injil Thomas" dan "Kisah Thomas", ada "Apokryfon Yohanes" dan "kisah Yohanes", dan ada "Injil Petrus" serta "Wahyu (Apokalypse) Petrus". Perkembangan ini agaknya mempengaruhi pemimpin-pemimpin dari gereja-gereja mayoritas untuk mengaitkan dengan nama seorang rasul tulisan-tulisan yang mereka nilai lebih sesuai dengan iman dan akhlak yang Kristiani sejati. Ini tercermin dalam catatan uskup Papias yang menghubungkan Injil Markus (yang rupanya sudah mulai disebut "menurut Markus", walaupun tulisan itu sendiri tidak mengandung nama pengarang!) dengan rasul Petrus; dan Injil Matius, Papias tunjukan sebagai tulisan rasul Matius sendiri (kendatipun Papias tidak menulis "Kitab Injil" melainkan ia menulis bahwa Matius "mengumpulkan logia [Yesou] dalam bahasa Ibrani dan setiap orang mengartikannya semampu-mampunya). Pokoknya, pada kedua belah pihak, minoritas dan mayoritas, sudah mulai cara untuk menunjuk akan tulisan-tulisan yang dipegangi sebagai yang mengandung ajaran Kristiani yang benar, yaitu memakai wibawa dari nama seorang rasul, karena prapaham yang dianut semua pihak bahwa ajaran dari rasul-rasul pasti benar. Dengan demikian, sudah mulai kebiasaan untuk mempersoalkan apakah suatu tulisan rasuli (apostolic) atau tidak dan untuk menggunakan corak ini sebagai semacam tolok ukur juga.

Kanon Marcion

Yang sungguh-sungguh menjadi dorongan kuat untuk menetapkan kanon (dalam artian yang sudah diterangkan di atas) ialah tindakan dari seorang penatua (Presbyteros) di gereja Roma pada pertengahan abad kedua. Orang yang bernama Marcion ini berasal dari daerah Asia Kecil, tetapi sudah pindah dan bergiat di Roma. Menjelang tahun 140, ia dikucilkan dari gereja di Roma, rupanya karena ia dinilai radikal dan sebagai orang yang menyimpang dari ajaran benar Kristiani menurut gereja Roma. Sayang, karangan-karangannya dibinasakan oleh gereja-gereja mayoritas, sehingga sulit mengetahui seluk-beluk teologinya. Rupa-rupanya, Marcion menolak tulisan-tulisan suci Yahudi sebagai tulisan suci untuk orang Kristen karena, menurut dia, ilah yang disaksikan di dalam tulisan-tulisan Yahudi adalah ilah yang memerintah dunia ini, tetapi ilah itu bukanlah bapak Yesus Kristus dan sumber keselamatan. Bapak Yesus Kristus adalah ilah yang "asing" bagi jagad raya ini. Secara sepintas, pikiran ini kelihatan berdekatan dengan pemikiran yang biasa dijuluki gnostik, akan tetapi tidak mungkin seorang gnostik bisa menerima tulisan-tulisan suci Yahudi karena mereka menafsirkan tulisan-tulisan tersebut secara alegoristis, padahal Marcion menolak cara penafsiran yang sedemikian. Bagaimanapun juga, yang pokok ialah bahwa, menurut Marcion, orang Kristen salah kalau lagi berpegang pada kitab suci Yahudi. Orang Kristen harus berpegang pada suatu kitab suci yang khas Kristiani. Mengingat bahwa kitab suci Yahudi berpusat pada Torah dan nabi-nabi, maka Marcion menganjurkan supaya orang Kristen berpegang pada Injil dan rasul, yaitu kitab Injil Lukas serta surat-surat rasul Paulus.

Tetapi, Marcion berkeyakinan bahwa tulisan-tulisan tersebut tidak disimpan dan diturunalihkan dengan isi yang asli. Oleh karena itu, Marcion membuat semacam edisi kritis atas Injil Lukas dan surat-surat Paulus (10 buah: Gal., 1 dan 2Kor., Rm., 1 dan 2Tes., Laodicea [rupanya Ef.), Kol., Flp., dan Flm.) untuk menghilangkan bagian-bagian yang menurut dia, berupa tambahan dan penyisipan yang tidak asli, yaitu semua bahan yang mencerminkan atau berdekatan dengan tulisan-tulisan suci Yahudi. Yang sungguh-sungguh baru dalam tindakan Marcion ini ialah: (1) tulisan-tulisan Kristen tertentu kepada kedudukan sebagai Kitab Suci Kristen, yaitu kanon, dan sekaligus (2) penolakan tulisan-tulisan suci Yahudi (kurang lebih apa yang kemudian hari biasa disebut Perjanjian Lama oleh orang Kristen) sebagai Kitab Suci Kristen Marcion sendiri berkeyakinan bahwa, dalam tindakan ini, ia taat pada asas pandangan teologis Paulus: pembenaran berdasarkan hanya iman serta berakhirnya hukum Taurat seharusnya membuat persekutuan Kristen, selaku ciptaan baru, meninggalkan tulisan-tulisan Yahudi yang lama (PL) dan berpegang pada suatu Kitab yang khas Kristiani.

Pertentangan Terhadap Marcion

Pihak yang berhasil mengucilkan Marcion, pihak yang berusaha dengan kuat untuk menegaskan perbatasan di antara orang Kristen mayoritas dengan macam-macam kelompok minoritas, dalam menanggapi karya Marcion, melakukan hal-hal yang cukup aneh. Yustinus Martyrus (mati syahid kira-kira 165) merupakan contoh utama di sini, mengingat ia yang menulis karangan yang pertama yang dimaksud untuk menentang Marcion (tetapi sayang, karangan tersebut tidak jadi disimpan kemudian hari). Yustinus memakai kitab Injil Matius dan Lukas (mungkin juga Markus) tetapi dalam bentuk suatu edisi yang dibuatnya sendiri, edisi yang bercorak harmonisasi (bahan dirangkaikan sehingga tampak sebagai satu saja) kitab-kitab Injil tersebut, dan rupanya Yustinus tidak memandang tindakan ini sebagai mirip dengan apa yang dilakukan Marcion terhadap Injil Lukas. Surat-surat Paulus - bagian paling penting dalam "kanon" Marcion - sama sekali tidak dikutip atau diacu oleh Yustinus. Apakah ini mungkin terjadi karena Yustinus tidak mengenal surat-surat itu? Sulit mengambil kesimpulan yang begitu, mengingat bahwa Yustinus hidup dan berkarya di Roma di sekitar pertengahan abad kedua. Ataukah Yustinus mau menghindari surat-surat Paulus justru karena tulisan-tulisan itu begitu penting bagi Marcion? Bahan di dalam karangan-karangan Yustinus yang terasa sejajar dengan bahan di dalam kitab Injil Yohanes ternyata tidak diambil dari kitab Yohanes sendiri melainkan dari tradisi-tradisi kuno yang melatarbelakangi kitab Yohanes dan masih beredar pada waktu Yustinus. Apakah Yustinus menghindari kitab Injil Yohanes karena itulah kitab Injil yang paling disukai para pemikir dan penulis Kristen-Gnostik? Pada pihak lain, julukan Yustinus untuk kitab-kitab Injil ("kenang-kenangan para rasul") serta cara Yustinus mendekatkan kitab-kitab Injil kepada kewibawaan tulisan-tulisan suci bisa saja terjadi karena dampak karya dan kegiatan Marcion atas Yustinus sendiri.

Tindakan-tindakan Yustinus membuktikan bahwa gereja-gereja mayoritas pada waktu itu, akibat karya dan kegiatan Marcion, mulai merasa perlu penetapan kanon kitab suci khas Kristen, tapi mereka tetap bingung bagaimana sebaiknya melakukan penetapan macam itu. Dengan penekanan atas kewibawaan tulisan-tulisan suci Yahudi, pemakaian Septuaginta, penyuntingan atas kitab-kitab Injil, serta pengelakan surat-surat Paulus, Yustinus kelihatannya hanya berupaya untuk mempertahankan dan memperkuat apa yang sudah biasa dalam lingkungan gereja-gereja mayoritas sebelum Marcion. Baru satu angkatan sesudah Yustinus, Irenaeus merintis jalan yang akan memungkinkan gereja-gereja mayoritas keluar dari kebingungan disebabkan Marcion.

Pengaruh Irenaeus

Irenaeus melayani selaku uskup kota Lyons di Gaulia (= Perancis sekarang), menjelang akhir abad kedua, tetapi, selaku pemikir teologi, ia berdiri pada garis tradisi jemaat-jemaat Asia Kecil, daerah ia lahir dan dibesarkan. Dari daerah itu juga berkenan dengan tulisan-tulisan yang sudah dihubungkan dengan nama rasul Yohanes (termasuk kitab Wahyu yang nama penulisnya Yohanes - waktu Irenaeus sudah disamakan dengan nama rasul Yohanes). Dan, waktu masih muda, Irenaeus sempat bergurau pada Polycarpus, uskup Smyrna di Asia Kecil. Jadi, kendatipun Irenaeus berperan selaku uskup di gereja barat, melalui tulisan-tulisannya dalam bahasa Yunani, ia lebih mewakili (lebih daripada, misalnya, pemimpin-pemimpin di Roma) dari tradisi kegerejaan, yang masih sangat menghargai surat-surat Paulus sebagai yang termasuk warisan rasuli, biarpun surat-surat Paulus itu amat disenangi orang-orang dalam lingkungan Marcion dan lingkungan gnostik (dan biarpun ada peringatan-peringatan mengenai surat-surat Paulus seperti yang terkandung di dalam II Petrus 3:15-16). Sekaligus, Irenaeus dapat mengacu kepada tulisan-tulisan yang telah dihubungkan (di Asia Kecil) dengan nama rasul Yohanes.

Apa yang dipegangi Irenaeus ini makin lama makin dimufakati gereja-gereja mayoritas sebagaii bagian terbesar di dalam kitab suci Kristen, bersama dengan tulisan-tulisan suci Yahudi yang Irenaeus pertahankan bagi umat Kristen dengan cara menfasirkan tulisan-tulisan suciYahudi secara typologis. Dasar untuk kitab suci yang sedemikian memang jauh lebih luas daripada pilihan Marcion. Unsur "rasul" dalam pilihan Irenaeus diperluas untuk mendekati "keduabelas rasul" sebagai ruang lingkupnya, karena di samping empat kitab Injil dan tigabelas surat Paulus, Irenaeus menerima dengan baik I Petrus, I dan II Yohanes, Wahyu (sebagai karangan rasul Yohanes), dan kitab Kisah, (menarik bahwa Irenaeus juga menerima Hermas!) Cukup berpengaruh kemudian hari bahwa Irenaeus tidak berusaha untuk menghasilkan satu kitab Injil, melalui cara harmonisasi, melainkan ia menerima empat kitab Injil yang sendiri-sendiri. Namun, Irenaeus mencerminkan adanya suatu keyakinan yang rupanya dianut luas pada waktu itu, yaitu keyakinan bahwa seharusnya ada hanya satu kitab Injil karena Injil Kristen sendiri memang satu, karena Irenaeus merasa perlu ia membenarkan adanya empat kitab Injil dengan menunjuk kepada kenyataan bahwa ada pula empat penjuru dunia! Luasnya (corak inklusif) pandangan Irenaeus mengenai kitab suci Kristen menjadi penting sekali selanjutnya. Sebetulnya, menurut pandangan ini, semua tulisan yang semula dipakai oleh jemaat-jemaat yang berdiri pada garis "pergantian rasuli", yaitu gereja-gereja mayoritas, sebaiknya diterima dalam kitab suci yang khas Kristen. Karena itu, tulisan-tulisan tertentu diterima, kendatipun diketahui bahwa penulisnya bukanlah seorang rasul (misalnya, kitab Markus dan kitab Lukas). Memang, kalau arti "rasul" dibatasi pada mereka yang pernah menjadi murid Yesus, maka Paulus sendiri tidak memenuhi syarat! Pada pihak lain, tulisan-tulisan tertentu tidak diterima juga diketahui bahwa tulisan-tulisan tersebut belum lama ditulis, kendatipun tulisan-tulisan tersebut sudah biasa dipakai dalam jemaat-jemaat tertentu. Dan hal pengilhaman (inspirasi) tidak diberi peranan sebagai tolok ukur karena adanya keyakinan bahwa semua orang Kristen diilhami Roh Kudus sejak baptisan mereka! Tulisan-tulisan yang diterima secara demikian dalam gereja-gereja mayoritas disebut "rasuli", dengan pengertian tulisan-tulisan ditulis oleh seorang rasul atau orang dekat pada rasul (dan Paulus tergolongkan selaku rasul). Tetapi, cap "rasuli" sebenarnya hanya merupakan pernyataan bahwa tulisan yang bersangkutan telah diterima oleh gereja-gereja mayoritas yang memandang dirinya selaku berdiri pada garis "pergantian rasuli". (Inilah sebabnya ada yang mengatakan bahwa kanon kitab suci Kristen berakar dalam "politik kegerejaan" pada waktu itu!)

Kanon Muratori

Mungkin daftar paling kuno yang menyebutkan tulisan-tulisan yang mulai disepakati sesuai dengan tolok ukur Irenaeus ialah daftar yang telah dinamai "kanon Muratori", karena naskah salinan dari abad 8 yang memuat daftar ini ditemukan oleh: L.S. Muratori, seorang juru perpustakaan di Italia pada abad 18. Dalam daftar ini ada empat kitab Injil dan kitab Kisah; tigabelas surat Paulus (tanpa Ibrani); Wahyu Yohanes dan Wahyu Petrus; Yudas; I dan II Yohanes; I Petrus; dan kebijaksanaan Salomo. Ada juga catatan mengenai tulisan-tulisan yang ditolak: surat-surat Paulus ke Laudicea dan Alexandria; tulisan-tulisan para penyesat seperti Valentinus, Marcion, dan lain-lain. Sebagian besar para pakar berkesimpulan bahwa daftar ini dibuat di sekitar tahun 200. Kalau tepat kesimpulan ini, berarti bahwa, pada waktu cukup awal dalam sejarah gereja-gereja mayoritas, semua tulisan utama sudah diterima ke dalam kanon kitab suci Kristen dan ada keterbukaan untuk menerima yang lain lagi, seperti "surat-surat Katolik" dan beberapa kitab Wahyu.

Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru

Pada waktu yang sama, kurang lebih tahun 200, Klemens Alexandrinus di wilayah gereja-gereja Timur dan Tertullianus di wilayah gereja-gereja Barat serentak mengembangkan pikiran bahwa tulisan-tulisan suci khas Kristen merupakan suatu "perjanjian baru", sedangkan tulisan-tulisan suci yang telah diwarisi dari Israel tepat dipegangi oleh masyarakat Kristen sebagai "perjanjian lama". Sejarah perkembangan perjanjian baru ini, sesudah tahun 200, ditandai dengan perdebatan mengenai beberapa kitab saja. Dari yang diperdebatkan tetapi akhirnya diterima dalam PB, kitab Injil Yohanes cukup lama dipersoalkan di gereja-gereja Barat karena perasaan bahwa isinya terlalu berwarna gnostik; sedangkan Wahyu Yohanes disangsikan di gereja-gereja Timur justru karena corak apokalyptik. Juga, banyak pemikir dan pemimpin kegerejaan tampak bingung mengenai kitab Ibrani; ada yang mau menolaknya karena ajaran di dalamnya bahwa tidak ada pengampunan untuk dosa yang dilakukan sesudah baptisan; ada, seperti Origenes, yang membela Ibrani, kendatipun Origenes mengaku bahwa "hanya Allah" yang tahu siapa yang menulis kitab itu; namun, akhirnya Ibrani diterima sebagai yang berasal dari Paulus, tetapi ditempatkan paling akhir di dalam kumpulan tulisan yang diasalkan kepada Paulus.

Tulisan-tulisan yang diperdebatkan tetapi akhirnya tidak diterima cukup banyak jumlahnya. Yang sering termuat di dalam daftar-daftar ialah macam Hermas, Barnabas, Didakhe, dan I dan II Klemens. Tetapi ada juga macam kisah Paulus, Wahyu Petrus dan Injil menurut orang-orang Ibrani. Bahkan, kebijaksanaan Salomo dan kebijaksanaan Bin Sirakh, dua tulisan dari kalangan Yahudi, kadang-kadang juga terdapat pada daftar-daftar Kristiani.

Namun demikian, gereja-gereja yang berbahasa Yunani dan Latin tampaknya, dalam abad keempat sesudah mencapai semacam mufakat mengenai dua puluh tujuh tulisan yang termuat di dalam surat edaran uskup Athanasius pada tahun 367 (yang sudah disinggung lebih dahulu dalam makalah ini). Gereja-gereja Siria, Mesir, dan Etiophia memang lama berbeda sedikit atau banyak, entah dengan jumlah 22 ataupun 35 tulisan! Tetapi, sekarang (akhir abad ke-20!), boleh dikatakan bahwa hampir setiap orang Kristen, di seluruh dunia, bagaimanapun hubungannya dengan lembaga kegerejaan, berpegang pada Perjanjian Baru yang terdiri dari 27 tulisan yang sama.

Kanon Perjanjian Baru Ditentukan Melalui Pemakaian

Meninjau sejarah perkembangan kanon Perjanjian Baru yang telah diringkaskan di atas, ada beberapa pikiran yang bermunculan. Penetapan kanon Perjanjian Baru merupakan suatu perkembangan yang berlangsung sehubungan dengan sejarah dunia ini dan teristimewa dengan sejarah persekutuan Kristen di dunia ini. Mula-mula, membuat tulisan saja (kecuali surat-surat) tidak terasa perlu karena keyakinan bahwa sejarah dunia ini akan segera berakhir. Dengan penantian eskhatologis itu berkurang menjelang akhir abad pertama, tulisan-tulisan Kristiani semakin banyak dihasilkan, antara lain karena semakin lebih banyak kelompok dan aliran Kristen dengan masing-masing pemahamannya mengenai iman serta moralitas Kristiani dan mengenai sistem organisasi dan pemerintahan yang sebaiknya untuk gereja-gereja. Sementara abad kedua, mayoritas orang Kristen semakin seragam mengenai pengakuan iman, cara hidup Kristiani, dan tata gereja yang mereka nilai benar atau baik untuk dipegangi dan dijalankan. Sekaligus semakin meningkat kepada mereka keyakinan bahwa tulisan-tulisan yang sesuai dengan iman, moral, dan tata arus/gereja tersebut dibedakan dan dipisahkan dari tulisan-tulisan yang menurut mereka, tidak sesuai. Tetapi, keputusan dalam hal ini tidak diambil dengan mengadakan sidang sinode ataupun menyerahkannya kepada kebijaksanaan pemimpin-pemimpin tertentu. Keputusan dalam hal ini terjadi melalui pemakaian dalam peribadahan, pengajaran, dan pewartaan, dari tulisan-tulisan yang terasa cocok oleh mayoritas Kristen itu, serta penolakan atau penghindaran tulisan-tulisan yang mereka rasakan sebagai tidak cocok. Bisa dikatakan, dengan kata lain, bahwa mayoritas Kristen lama-kelamaan mencapai mufakat dalam hal ini.

Kemudian hari, sampai masa kini, ada orang Kristen yang merasa alangkah lebih baik kalau, misalkan, Yudas dan II Petrus tidak diterima ke dalam kanon Perjanjian Baru, dan I Klemens dan surat-surat Ignatius diterima. Penilaian semacam ini tentu selalu bisa terjadi. Namun, kalau tulisan-tulisan utama yang diterima ke dalam Perjanjian Baru dibandingkan dengan puluhan-puluhan tulisan yang ada pada waktu itu dan tidak diterima, tampaknya kebanyakan orang (yang non-Kristen pun!) sependapat bahwa, dinilai dari berbagai pertimbangan, yang diterima mengungguli yang tidak diterima. Dan, melihat ini, tidak sedikit orang Kristen yang condong pada kesimpulan bahwa pemilihan yang terjadi pasti disebabkan bimbingan Roh Kudus!

Jadi, kanonisasi Perjanjian Baru termasuk fenomena sejarah; bisa dipahami mengapa terjadi dan bisa disyukuri bahwa hasilnya begitu baik, dibandingkan dengan alternatif-alternatif yang rupanya ada pada waktu itu, akan tetapi, dari sudut teologi Kristen, adanya kanon kitab suci menjadi masalah. Semua orang Kristen percaya bahwa Allah adalah Allah yang hidup, dan ini berarti, antara lain, bahwa Allah tetap menyatakan diri kepada manusia. Tetapi, kentara sekali kecenderungan pada orang Kristen untuk menilai sebagai hasil pewahyuan dari Allah - sebagai "firman Allah" - hanya tulisan-tulisan yang termuat di dalam kitab suci (PL dan PB). Memang, terhadap pertanyaan "tidakkah ada wahyu Allah sejak Perjanjian Baru?", orang Kristen menjawab ya", tetapi dalam pengertian entah (1) pendalaman atas "firman Allah" melalui penafsiran yang lebih tepat (pandangan Protestan) entah (2) bimbingan Roh Kudus kepada pimpinan gereja (pandangan Roma Katolik), ternyata masalah teologis yang dimunculkan oleh adanya kanon kitab suci belum terselesaikan.

Bagaimanapun juga, yang tak dapat disangkal ialah kenyataan bahwa Perjanjian Baru tidak mungkin digantikan dengan tulisan-tulisan lain. Pada tingkat empiris dan historis (dibandingkan dengan, katakanlah, tingkat rohani), hanya tulisan-tulisan Perjanjian Baru yang memungkinkan orang kemudian hari dapat berjalan surut (mundur) dalam sejarah sehingga menghampiri Yesus dan sejumlah orang Kristen pertama sebagaimana mereka ada secara nyata pada tempat dan waktu tertentu di dunia ini. Sampai sekarang, tidak ada kitab Injil yang menyediakan jumlah informasi tentang pewartaan dan perbuatan Yesus seperti yang disediakan sastra umum dari zaman Yesus atau tidak lama kemudian sedikit sekali jumlahnya serta remeh sifatnya. Demikian juga halnya mengenai rasul Paulus. Apalagi, apa yang tertera di dalam Perjanjian Baru mewakili pengalaman serta perenungan dari cukup banyak orang Kristen, pada angkatan-angkatan awal, yang maknanya tidak diketahui. Makanya, tepat dikatakan bahwa tiada sastra yang setara dengan Perjanjian Baru dan manusia umumnya, tidak hanya kaum Kristen, berterimakasih bahwa tulisan-tulisannya ditetapkan sebagai kanon Kristen, sehingga terpelihara sampai sekarang.



PUSTAKA ACUAN

1. Brown, /Raymond E. dan Collins, Raymond F. 1990. "Canonicity", di dalam The

New Jerome Biblical Commentary. Englewood cliffs. New Jersey: Prentice Hall,

hal. 1034-1054.

2. Koester, Helmut. History and Literature of Early Christianity. Volume Two. Introduction to the New Testament. (Philadelphia: Fortress Press, 1982), hal. 5-13.

3. Perrin, Norman dan Duling, Dennis C., The New Testament An Introduction. (New York: Harcourt Brace Jovanovich. Inc., 1982), hal. 435-446.

4. Sanders, J.N., "The Literature and Canon of the New Testament", di dalam Peake's Commentary of the Bible. (Sunbury-on-Thames, Middlesex: Thomas Nelson and Sons Ltd., 1976), hal. 676-682.

5. Sunberg, A.C., Jr., "Canon of the NT", di dalam The Interpreter's Dictionary of the Bible, Supplementary Volume. (Nashbille:Abingdon, 1976), hal. 136-140.


sumber:  http://www.alkitab.or.id/index.php?option=com_content&task=view&id=149&Itemid=131

Jumat, 28 September 2012

LATAR BELAKANG BUDAYA ALKITAB PERJANJIAN LAMA

LATAR BELAKANG BUDAYA ALKITAB PERJANJIAN LAMA

Oleh: Dr. Hermogenens Ugang

Pendahuluan

Yang dimaksudkan dengan budaya Alkitab Perjanjian Lama ialah budaya manusia yang hidup di zaman di mana peristiwa-peristiwa yang tertulis dalam Alkitab Perjanjian Lama terjadi. Secara khusus dapat dikatakan bahwa manusia yang dimaksud ialah bangsa Israel atau lebih khusus lagi, bapak-bapak leluhur bangsa Israel seperti Abraham, Ishak dan Yakub. Yang termasuk juga dalam bahasan ini ialah bangsa-bangsa di sekitar Israel seperti Mesir, Asyur, Babilonia, Elam, Goyim, dan lain-lainnya yang pernah ada kontak dengan bangsa Israel. Tentu saja peristiwa-peristiwa yang terjadi pada zaman itu kita coba untuk mengungkapkannya sebagai peristiwa sejarah walaupun penulis Alkitab sendiri melihatnya sebagai peristiwa dan moral mengandung nilai-nilai rohani yang memberikan nilai-nilai etis dan moral bagi kehidupan bangsa Israel.

Maksud dari tulisan ini ialah untuk menggambarkan peri kehidupan bangsa-bangsa tersebut di atas pada zaman Perjanjian Lama sejak zaman leluhur bangsa Israel (kira-kira 1900 tahun s.M) [1] sampai kedatangan Kristus di zaman Perjanjian Baru (awal abad pertama). Dengan memberikan gambaran seperti itu diharapkan para pembaca Alkitab dapat memahami ungkapan-ungkapan dalam Alkitab yang kedengarannya mungkin asing. Misalnya kalau kita baca ayat dari Yosua :6, 8 dalam Alkitab Terjemahan Baru (Alkitab TB) terdapat cerita tentang Rahab yang menyembunyikan dua orang intel Israel di atas "sotoh rumah"nya (atap rumahnya). Juga dalam Matius 10:27 dikatakan, "apa yang dibisikkan ke telingamu, beritakanlah itu dari atas atap rumah." Secara sepintas lalu kita akan merasa aneh dan pasti bertanya mengapa harus memberitakannya dari atas atap rumah? Kalau kitai ngat akan atap rumah kita, maka hal itu aneh untuk dilakukan. Tetapi menurut budaya rumah bangsa Israel, atau budaya bangsa-bangsa di sekitar bangsa Israel hal itu mungkin saja terjadi karena rumah orang di wilayah itu berbentuk kotak dan atapnya datar sehingga bisa dipakai untuk melakukan banyak macam kegiatan. Untuk mencapai maksud tersebut, mau tidak mau kita juga meneliti banyak hal yang dikatakan dalam studi tentang purbakala (arkeologi) Alkitab.

LELUHUR ISRAEL

1. Abraham dan Keluarganya

Kehidupan masyarakat di zaman ini ditandai dengan cara hidup berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain untuk mencari lahan tempat memelihara ternak ataupun bercocok tanam. Cara hdup berpindah-pindah ini mengingatkan kita kepada Abraham setelah ia dipanggil oleh Tuhan untuk meninggalkan sanak keluarganya di Haran dan pergi ke tempat lain yang akan ditunjukkan Tuhan kepadanya. Ternyata kemudian bahwa Abraham dengan keluarganya tiba di sebuah pohon kayu keramat di More dekat Sikhem di tanah Kanaan. Ini berarti bahwa Abraham telah menelusuri wilayah "bulan sabit" dari Timur ke arah Barat, suatu perjalanan panjang yang kemudian hari juga pernah dijelajah oleh Yakub cucu Abraham, dan oleh orang Cendikiawan dari Timur yang menjajagi kelahiran Tuhan Yesus.

Pohon kayu keramat tadi disebut demikian (terbantin: TB) karena dahulunya pohon kayu itu dipakai oleh orang Kanaan untuk menyembah dewa mereka.[2] Tetapi Abraham mendirikan mezbahnya di tempat itu untuk menyembah Tuhan. Di zaman itu mezbah dipakai orang untuk tempat memotong hewan yang dikurbankan bagi yang disembah sehingga cara-cara Abraham menyembah Tuhan tidak ubahnya dengan cara-cara orang Kanaan menyembah dewa mereka. Pandangan para leluhur Israel terhadap Tuhan pun sama saja dengan pandangan orang-orang Kanaan dengan dewa mereka. Tuhan adalah pelindung atau perisai (Kej. 15: 1) yang selalu menjaga para leluhur dari segala macam bahaya dan memberikan kepada mereka harta kekayaan yang mereka perlukan. Semakin kaya sang leluhur berarti semakin banyak pula berkat material yang diberikan kepada mereka (lih. Mzm. 128, 144). Walaupun kelihatannya ada kesamaan cara ibadat antara Abraham dengan bangsa-bangsa lain, namun ada perbedaan besar antara Allah Abraham dengan dewa bangsa-bangsa lain yaitu, bahwa dewa-dewa atau ilah-ilah bangsa-bangsa lain adalah ilah lokal yang hanya bisa disembah di tempat tertentu saja, sedangkan Allah Abraham adalah Allah yang tidak terikat dengan suatu tempat sehingga Ia bisa disembah di mana-mana tempat.

Abraham yang disuruh pergi oleh Tuhan dari rumah orang tuanya di Haran, tidak pergi sendirian tetapi pergi bersama-sama dengan kaum kerabatnya dan hamba-hambanya. Termasuk dalam kafilah Abraham itu ialah kemanakannya sendiri yang bernama Lot. Peranan Abraham dalam rombongan besar itu ialah sebagai seorang kepala suku dan juga kepala adat. Dan juga panglima perang yang mengatur sasat perang untuk mengalahkan musuh. Tentu saja cara hidup berpindah-pindah (nomadisme) ini memerlukan ketangguhan yang istimewa dan mental disiplin yang tnggi. Abraham dalam hal ini mengandalkan kekuatan dari Tuhan yang menjadi Pelindungnya. Dalam Alkitab dikatakan bahwa Allah itu adalah "Allah yang dipuja Abraham dan Ishak" (Kej. 28:13) . Kemudian hari, di kalangan orang Israel sendiri Allah itu juga yang dikenal sebagai Allah Abraham, Ishak dan Yakub.[3] Setelah Israel resmi menjadi satu bangsa sama seperti bangsa-bangsa lain di sekitar mereka, maka Allah ini juga yang menjadi Allah Israel (Yer. 31:33; Yeh. 37:27; Hos. 2:23).

2. Kontak Dengan Suku Bangsa Lain

Selama hidup mengembara di kawasan "bulan sabit" yang subur ini, Abraham dan keluarganya serta kaum kerabatnya telah mengalami kontak sosial dengan suku-suku bangsa lain entah dengan sengaja atau tidak sengaja, entah karena terpaksa atau secara sukarela. Diantara sekian banyak kontak yang terjadi, Kitab Kejadian mengisahkan antara lain tentang pertemuan Abraham dengan raja Mesir (Kej. 12:10-20). Menurut tradisi kuno bangsa Israel, ceritera ini seyogyanya mengenai Ishak, namun kemudian di wilayah selatan cerita ini dikembangkan sedemikan rupa lalu menyebut Abraham sebagai primadona cerita itu. Suatu kecenderungan untuk menempatkan Abraham pada titik pusat perhatian umat dan menempatkan martabat dan derajatnya setara dengan raja Mesir yang basa disebut Firaun.

Istilah Firaun sendiri mempunyai arti yang khusus pula karena nama itu berasal dari bahasa Akadia pir'u yang berarti Balai Agung.[4] Karena pada zaman itu raja yang memerintah suatu negeri biasanya bersemayam di Bala Agung, maka istilah Balai Agung itu sendiri kemudian berkembang menjadi gelar sang raja. Jadi kalau kita membaca istilah Firaun dalam Alkitab terutama Alkitab Perjanjian Lama, maka kita membaca tentang seorang raja penguasa yang bersemayam di Balai Agung. Cara memberi gelar kepada raja seperti itu mirip-mirip dengan cara kita orang Indonesia dari Jawa memberikan gelar kepada para Sultan d Jawa Tengah sepert Sultan Paku Alam di Surakarta dan Sultan Hamengkubuwono di Yogya di mana nama gelar kemudian berkembang menjadi nama pribadi.

Pertemuan Abraham dengan Firaun ini sangat penting untuk memperlihatkan Abraham sebagai leluhur bangsa Israel yang mempunyai identitas tersendiri. Dari Abrahamlah kemudian hari muncul suatu bangsa yang besar yang tidak lebih rendah martabatnya dari bangsa Mesir. Sebaiknya kita ketahui juga bahwa pada zaman Abraham, justru Firaun raja Mesir itu dipandang sebagai lambang kejayaan dan keemasan bangsa Mesr di wilayah "bulan sabit" yang subur itu. Banyak raja-raja Mesir yang digelar Firaun itu menyandang nama-nama pribadi yang mentereng dan masing-masng mempunyai makna tersendiri. Misalnya Raja Firaun yang bernama Ramses artinya "yang dilahirkan oleh Dewa Ra" (Ra adalah dewa matahari). Atau Raja Firaun yang bernama Amenhotep artinya "Dewa Amon yang dipuaskan."

Raja-raja lainnya yang pernah kontak (secara militer) dengan Abraham ialah empat raja masing-masing dari Elam, Goyim, Babilonia dan dar Elasar (Kej. 14). Tadinya empat raja ini berperang melawan raja-raja Sodom, Gomora, Adma, Zeboim dan Bela dan kelima raja terakhir itu dapat dikalahkan. Harta benda dan penduduk Sodom dan Gomora dirampas dan dibawa sebagai tawanan termasuk didalamnya Lot kemanakan Abraham. Mendengar akan hal itu Abraham dengan anak buahnya sebanyak 318 orang maju dan mengejar empat raja yang menawan Lot dan berhasil merebut kemanakannya itu dari tangan mereka. Demikian juga barang-barang mereka dapat direbut kembali. Rupanya sejak itulah nama Abraham semakn dikenal dan disegani di wilayah bulan sabit itu.

PERKEBUNAN

Di zaman leluhur ini maupun di zaman berikutnya (di zaman raja-raja), ada tiga hasil perkebunan yang utama yaitu, anggur, pohon zaitun dan gandum. Sebagaimana tertulis dalam Alkitab, ketiga jens hasil perkebunan ini mempunyai peranan penting dalam kehidupan orang Israel baik secara sekuler maupun secara rohani (keagamaan).

Pada zaman Perjanjian Lama anggur diusahakan sebagai tanaman perkebunan yang menjadi salah satu sumber penghasilan yang sangat menguntungkan secara material (keuangan). Nuh adalah petani kebun anggur yang pertama (Kej. 9:20). Di zaman raja-raja kita mendengar cerita tentang Raja Ahab yang ingin membeli kebun anggur Nabot tetapi Nabot tidak mau menjualnya (1Raj. 21:1-4). Rupa-rupanya pengusahaan anggur adalah permulaan dari peradaban manusia[5] karena ada bukti-bukti bahwa anggur sudah diusahakan di Mesir sebelum zaman dinasti Mesir. Berhubung anggur adalah tanaman kesayangan di zaman purbakala, maka Israel diumpamakan sebagai kebun anggur pilihan Tuhan yang dibawa dari Mesir dan ditanam oleh Tuhan (Mzm. 80:8-13). Walaupun Israel adalah anggur pilihan, namun ia bisa juga berubah menjadi "anggur hutan" (Yer. 2:21; Yes. 5:1-7; Hos. 10:1). Sama halnya dengan batang dan dahan, anggur berguna sebagai kayu bakar bagi kaum ibu yang memasak di dapur, demikian pula Israel cocok untuk dibumihanguskan. Namun waktunya akan datang bilamana Israel diampuni maka keadaannya sama seperti Israel yang "dihadiahkan kebun anggur" yang berarti bahwa setiap situasi yang melimpah ruah material itulah pertanda bahwa Allah berkenan kepada umat-Nya.

Dalam Perjanjian Baru Yesus sering memakai kebun anggur sebagai perumpamaan. Ia membandingkan Kerajaan Allah dengan karyawan seharian, setengah harian dan bahkan satu jam saja; namun masing-masng menerima upah yang sama (Mat. 20:1-16). Orang Yahudi digambarkan sebagai para penggarap yang disuruh pemiliknya untuk menggarap kebun anggurnya. Namun para penggarap itu diumpamakan sebagai penjahat karena mereka memukul orang-orang yang dikirim pemilik kebun anggur (Allah) untuk mengumpulkan buah-buahnya. Malahan akhirnya para penggarap yang jahat itu membunuh anak pemilik kebun (Kristus) supaya mereka bisa menguasai kebun itu. Tentu saja para penggarap itu dihukum mati dan kebun anggur disewakan kepada orang-orang lain (orang Krsten; Mat. 21:33-43).

Kebun anggur menjadi terkenal sebagai sumber penghasilan yang laris karena air anggurnya dipakai untuk berbagai jenis keperluan. Selain keperluan hidup sehari-hari (minuman) air anggur dipakai juga dalam pesta (banquet) untuk minuman. Ada kalanya air anggur termasuk bahan yang disediakan untuk upeti kepada penguasa atau hadiah kepada atasan. Misalnya Abigail dan Ziba membawa kirbat air anggur kepada Daud (1Sam. 25:18; 2Sam. 16:1). Sehubungan dengan itu semua, anggur telah menjadi bahan komoditi yang laris dalam perniagaan.

Selain diminum, anggur juga dipakai sebagai bahan medis. Ia dapat membangkitkan kembali orang yang pingsan (2Sam. 16:2) dan biasanya dilukiskan sebagai penolong pencernaan "... minumlah sedikit anggur untuk menolong pencernaanmu..." (1Tim. 5:23). Dalam Luk. 10:34 diceritakan tentang orang Samaria yang baik hati yang membersihkan luka-luka orang yang diserang penyamun dengan air anggur.

Anggur juga dipergunakan dalam kurban dan persembahan. Walaupun anggur bisa dipersembahkan kepada dewa (Ul. 32:37-38; Yes. 57:6; 65: 11; Yer. 7:18; 19:13 dst.), namun hal itu tidak menjadi halangan untuk mempergunakan anggur dalam upacara agama ortodoks. Pada asalnya yang dipersembahkan kepada dewa bukanlah anggur melainkan darah. Namun kemungkinan untuk mengganti darah dengan anggur bisa terjadi karena para penyembah memperlakukan anggur sebagai darah. Dalam 1Sam. 1:24; 10:3, diberitahukan kebiasaan para penyembah membawa sekantong anggur bilamana mereka pergi berziarah ke bait Allah. Bagaimanapun juga, anggur tidak selalu dipersembahkan tersendiri tetapi selalu disertai dengan seekor anak domba, tepung, minyak atau gabungan dari semuanya itu (Kel. 29:40; Im. 23:13; Bil. 15:7, 10; 28:14).

Pohon zaitun juga merupakan sumber hasil pertanian yang sering berdampingan dengan anggur. Sama seperti anggur, buah zaitun bukan hanya dimakan atau untuk keperluan sehari-hari, tetapi juga untuk keperluan ritual keagamaan. Karena itu zaitun merupakan komoditi perdagangan yang sangat laris. Pohon zaitun bertumbuh sangat banyak di bagian-bagian pedalaman negeri Kanaan. Terutama pada waktu orang Israel tiba di sana, pohon zaitun telah menjadi salah satu daya tarik negeri itu sebagai negeri yang berlimpah ruah dengan kekayaan alam dan hasil pertaniannya.5a Dalam Kitab Hakim-hakim 9:8-9 pohon zaitun dpakai oleh Yotham sebaga perumpamaan untuk calon raja Israel yang akan memerintah Israel. Pohon zaitun menjawab, "Ah hasilkan minyak ..." Pada zaman Alkitab, minyak zaitun merupakan produksi industri yang sangat penting. Hal ini terbukti dengan adanya tempat-tempat pemerasan buah zaitun di berbagai tempat tertentu di Palestina walaupun di tempat-tempat itu tidak terdapat kebun zaitun.

Rupanya sejak dari zaman awal, pohon zaitun sudah dkenal dalam kehidupan umat manusia. Hal itu terbukti dalam cerita air bah di Kej. 8:11 di mana diceritakan tentang burung merpati yang membawa daun zaitun pada paruhnya. Sejak itu burung merpati yang digambarkan dengan daun zaitun pada paruhnya telah menjadi lambang perdamaian dan persaudaraan.[6]

Dari tengah-tengah tanah Palestina terus ke Selatan terdapat sebuah perbukitan yang bernama Bukit Zaitun, panjangnya kira-kira dua setengah mil atau empat km. Bukit itu dinamakan demikian karena di atasnya terdapat rumpunan pohon-pohon zaitun yang mahaluas. Melalui puncak bukit inilah Raja Daud pernah melarikan diri dari pemberontakan Absalom anaknya sendiri (2Raj. 15:30-37). Dalam nubuatnya mengenai Yerusalem dan bangsa-bangsa, Nabi Zakharia menyebut nama Bukit Zaitun sebagai tempat Allah berdiri untuk menghukum bangsa-bangsa dan menyelamatkan Yerusalem (Za. 14:1-21).

Bukit Zaitun semakin terkenal di Perjanjian Baru karena Tuhan Yesus melakukan banyak kegiatan di sana pada minggu terakhir masa hidupnya di dunia ini. Dalam serangkaian naskah Perjanjian Baru, nama Bukit Zaitun disebut-sebut sehubungan dengan masuknya Yesus dengan kemenangan ke kota Yerusalem hanya enam hari sebelum Paskah (kematian-Nya). Rupanya Yesus bersama para pengikut-Nya berangkat dari Betani, sebuah desa di sebelah timur Bukit Zatun, terletak di dekat el-Azarieh, boleh jadi di sebelah barat dari desa modern itu. Mereka berangkat dari sana melalu Betfage, suatu tempat pemukiman yang tidak lagi diketahui dengan pasti letaknya. Penuturan Injl Sinoptis memberi petunjuk yang bisa diambil sebagai perkiraan bahwa tempat itu bisa disamakan atau berlokasi di sekitar Kefr-el-tur (Mat. 21:1; Mrk. 11:1).

Yesus pernah menubuatkan keruntuhan kota Yerusalem dan tentang kematian-Nya sendiri, diucapkan-Nya di atas Bukit Zaitun (Mat. 24:3; Mrk. 13:3-4; Luk. 21:5 dst.). Itu adalah gema kata-kata yang pernah diucapkan oleh Nabi Zakhara dalam Za. 14:1-5 yang menunjuk kepada bukit tu sendiri. Cerita tentang seorang pelacur yang tertangkap basah dan dibebaskan oleh Yesus (Yoh. 8:1-11) adalah terjadi secara jelas di Bukit Zaitun.

Pada hari-hari pekan terakhir sebelum Ia ditangkap, Yesus mengunjungi Rumah Tuhan di Yerusalem dan setelah itu pada malam hari Ia kembali ke Bukit Zaitun. Perkiraan-perkiraan yang mungkin adalah di Betani, di rumah Simon yang berpenyakit lepra (Mat. 26:6; Mrk. 14:3), atau di lokas sebidang tanah (estate) di Getsemane yang bisa juga dikatakan sebagai Taman Getsemane (Yoh. 18:1)[7]

Menurut La Mar C. Barrett, salah satu dar puncak Bukit Zaitun ini adalah tempat di mana Yesus naik ke surga meninggalkan para pengikut-Nya.[8] (Lihat Luk. 24:50-53; Kis, 1:9-12). Salah satu tempat di mana biara Kristen yang paling suci telah didirikan di tempat ini adalah tempat yang diperkirakan terdapat bekas kaki Yesus yang ditinggalkan sebelum Ia naik ke surga.

Sama seperti zaitun, tanaman gandum, adalah tanaman sejak dari dahulu kala seperti yang ditunjuk dalam Kej. 30:14; Kel. 34:22; Hak. 15:21).[9] Tanaman ini terdapat di mana-mana di Palestina untuk menyediakan roti bagi penduduknya. Gandum tumbuh lebih baik di tanah rendah yang diairi dengan irigas ketimbang jewawut (jelai) yang (serumpun jenis dengan gandum) lebih suka tumbuh di tanah yang lebih kering. Baik jewawut maupun gandum tumbuh bersama secara bertetangga (berlainan lahan tetap saling berbatasan). Hal ini pernah terjadi pada zaman Ruth di mana kedua tanaman itu tumbuh dekat Betlehem (Rut 2:23).[10] Sama seperti musim panen hasil pertanian lainnya, bahkan orang miskin (para janda, anak yatim, orang asing, dsb. yang tidak mempunyai lahan untuk bertani) lebih diperhatikan kepentingannya untuk memungut gandum yang tersisa ataupun yang sengaja disisakan dalam lahan panen (Ul. 24:19-22).

Bertolak dari perumpamaan Yesus tentang penabur (Mat. 13:3-9), benih tanaman ditabur ke tanah tentu saja tidak semuanya jatuh ke tanah yang baik dan tertutup dengan tanah. Ada diantaranya yang jatuh sia-sia tanpa bisa diharapkan hasilnya karena tidak akan bertumbuh di antara tanah yang berbatu-batu atau di pinggir jalan. Yang jatuh di pinggir jalan nantinya akan dimakan burung dan yang jatuh di semak-semak duri pasti tak akan bisa bertumbuh. Tetapi bilamana yang jatuh ke tanah subur lalu bertumbuh dengan baik, maka anak-anak keluarga petani yang bersangkutan akan dipekerjakan untuk menjaga buah-buah gandum itu nanti dari serangan burung-burung pemakan buah gandum. Pekerjaan itu tentu saja sangat melelahkan karena sama seperti penjaga ladang yang harus bekerja seperti orang-orangan yang berjemur di tengah-tengah ladang.

Bila musim panen tiba, maka gandum dituai dengan pemotong gandum dan biji-biji gandum yang dituai itu dijemur kemudian ditaruh di tempat pengirikan untuk memisahkan biji-biji gandum dari tangkainya dan dari gabahnya. Tempat pengirikan dipilih tempat yang rata dan bebas supaya angin bisa dengan bebas menghembus membersihkan biji-biji gandum dari gabahnya waktu petani menebarkan biji-biji itu ke udara. Dalam Alkitab, tempat pengirikan sepert itu sangat terkenal misalnya tempat pengirikan yang dibeli oleh Raja Daud dari Arauna (2Sam. 24:18-25). Waktu Raja Daud mendapat kembali peti perjanjian dari orang Filistin, lembu yang menarik kereta peti itu terjatuh di tempat pengirikan milik Nakhon. Waktu Uza mencoba mau menegakkan kereta itu maka ia langsung meninggal (2Sam. 6:6 dst.)

Bilamana jumlah gandum yang diirik tidak terlalu banyak, maka cukuplah ia diirik dengan sepotong tongkat dengan memukul-mukul tongkat itu pada berkas-berkas gandum. Tetapi kalau jumlahnya besar, maka ia harus diirik dengan membiarkan hewan menginjak-injaknya, dan orang tidak dibolehkan memberangus mulut lembu yang sedang mengirik gandum supaya ia dapat makan gandum itu sementara ia bekerja.[11] Lihat Ul. 25:4. Pengirikan itu melepaskan biji-bji gandum dengan tangkainya di lantai pengirikan. Pada waktu petang atau pagi, di mana terjadi angin bertiup, maka para petani mengambil garpu kayu yang besar untuk dipakai buat menebarkan tangkai-tangkai jerami dan biji-biji gandum ke udara, dan pekerjaan ini dinamakan menampi. Biji-biji gandum yang berat jatuh ke lantai dan tangkai serta gabah yang ringan akan ditiup ke bagan sebelah dari lantai pengirikan. Kemudian biji-biji gandum dikumpulkan dan disimpan, dan pada waktunya kemudian dibuatkan tepung untuk adonan yang akan dibakar.

Pada musim panen orang biasanya berpesta pora karena masyarakat bergembira di musim panen. Saat-saat itu sangat menentukan karena masyarakat sudah menyimpan panennya untuk masa berbulan-bulan berikutnya sementara masa membanting tulang sudah berakhir. Pekan-pekan pesta-pora (yang kemudian dikenal sebagai Pentakosta) dilaksanakan untuk merayakan panen gandum. Hari Raya Pentakosta dalam Gereja berasal dari peristiwa itu. Di Barat pesta panen seperti itu dirayakan oleh Gereja-gereja tetapi di Indonesia pesta panen memang dirayakan sejak zaman leluhur. Hal itu terutama terjadi di desa-desa sedangkan d kota-kota besar peristiwa seperti itu sudah tidak kelihatan lagi. Namun ide tentang musim panen dan pesta panen sudah menjadi tradisi bangsa Indonesia [12] sehingga bilamana Yesus dan para rasul berbicara tentang musim panen untuk menggambarkan saat akhir zaman atau akhir sejarah umat manusia, maka umat orang percaya di Indonesia langsung bisa memahaminya tanpa terlalu banyak menafsir. Dalam Markus 4:26-29 Yesus berbicara tentang Kerajaan Allah sama seperti orang yang menabur benih, menunggunya bertumbuh dan kemudian menyabitnya. Dalam kitab Wahyu 14:14-16 Yohanes melihat seseorang ‘ "seperti anak manusia" dengan mahkota emas di kepalanya dan sabit yang tajam di tangannya.' Lalu suatu suara berseru, "Ambillah sabitmu dan tuailah, karena masa untuk menuai sudah tiba, dan panen bum sudah masak."

PETERNAKAN: DOMBA

Sejak zaman purbakala ternak adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan para kepala suku. Bahkan sampai pada zaman modern ternak jenis domba sangat berlimpah di tanah suci Palestina.[13] Orang-orang Arab di tanah suci Alkitab ini dalam hdupnya sehari-hari sangat tergantung dari penghasilan ternak domba selama berabad-abad. Gambaran yang dapat diperoleh dari Alkitab tentang banyaknya ternak domba ini kita temui dalam Ayub 42:12 di mana dikatakan bahwa Ayub mempunyai 14.000 ekor domba sebagai tanda bahwa ia pernah menjadi seorang yang kaya raya. Kemudian pada waktu Raja Salomo meresmikan Rumah Tuhan di Yerusalem, ia mengorbankan 120.000 ekor domba (1Raj. 8:63). Ternak domba ini dijaga oleh gembala atau para gembala. Menurut kebiasaan orang Arab, anak lelaki yang termuda dalam keluarga adalah gembala domba, khususnya bilamana yang bersangkutan adalah seorang petani gandum dan seorang gembala. Bila ia sudah besar maka tugas gembalanya dilepaskannya kepada anak lelaki yang lebih muda karena ia harus memakai tenanganya untuk pekerjaan lain yaitu menolong orang tuanya menanam, membajak dan menuai hasil panen.[14] Rupanya hal seperti itu dianut juga oleh orang Israel dan terjadi pada diri Daud. Dalam Mazmur 23 digambarkan tentang Tuhan sebagai gembala bagi domba-domba-Nya (umat-Nya). Alat-alat gembala yang disebut di sana adalah gada dan tongkat (ayat 4b). Gada ini digunakan untuk melindungi domba-dombanya dari binatang buas (lih. 1Sam. 17:34-36) sedangkan tongkat digunakan untuk perlindungan.[15] Alat lain yang dimiliki oleh gembala ialah seruling. Alat ini merupakan sebuah alat musik bersuara merdu, cocok dibunyikan waktu santai di padang untuk melepas lelah sang gembala dan memberi rasa segar kembali kepada para domba. Bukannya tidak mungkin bahwa Daud sebagai seorang gembala pun mempunyai alat musik seperti ini.[16]

Antara gembala dan domba terjadi hubungan yang akrab dan mereka saling mengenal satu dengan yang lain. Khususnya gembala, bisa mengenal suara setiap dombanya, karena ia mempunyai perhatian yang sungguh-sungguh terhadap setiap anggota dombanya. Sering kali gembala ini memberikan nama bagi setiap domba sehingga masing-masng bisa dipanggil dengan namanya sendiri. Misalnya ada yang diberi nama "Si Putih" atau "Si Belang" atau kalau bulu dombanya hitam dipanggl "Blacky" atau lainnya lagi dipanggil "Broony" karena bulunya coklat (brown). Gembala-gembala Israel biasanya memimpin domba-dombanya dengan berjalan mendahului mereka. Terutama kawanan dombanya tidak terlalu besar, ia berjalan mendahului mereka di depan supaya melindungi mereka dari binatang-binatang buas yang ingin memangsai mereka. Tetapi hal itu tidak selalu demikian karena bilamana kawanan dombanya besar, maka ia akan berjalan di belakang kawanan dombanya. Bilamana kawanan dombanya terlalu besar, biasanya gembala mempunyai pembantu gembala yang disuruh berjalan di belakang kawanan domba sedangkan gembalanya sendiri akan berjalan di depan.[17]

Hubungan akrab antara gembala dengan domba-dombanya kelihatan sekali bila ia memimpin mereka berjalan melalui suatu jalan sempit. Mazmur 23:3 mengatakan "Ia menuntun aku di jalan yang benar" artinya Ia menuntuk supaya tidak menyimpang dari jalan yang seharusnya ditempuh. Jalan sempit seperti itu terutama terdapat di tengah-tengah ladang sehingga bilamana domba-domba itu menyimpang dari jalan, mereka akan memakan butir-butir gandum di sebelah kanan-kiri jalan dan merusak tanaman yang ada. Kerugian yang diakibatkan oleh domba-domba itu harus diganti oleh gembala yang bersangkutan.

Adalah penting juga diketahui bahwa gembala harus setap saat memperhatikan domba-dombanya supaya jangan sampai ada yang hilang tersesat karena terpisah dari kawanannya. Domba (domba-domba) yang terpisah dari kawanannya akan kebingungan dan tidak mempunyai perasaan sama sekali tentang tempat lokasi sehingga perlu dicari dan dibawa kembali ke kawanan domba. Domba yang sesat bisa diambil menjadi ibarat jiwa yang sesat seperti dalam Mazmur 199:176 "Aku sesat seperti domba yang hilang" (TB/BIS) atau seperti dalam Yesaya 53:6 dikatakan, "Kita sekalian sesat seperti domba" (TB) mengembik-embik ketakutan karena ia berkelana tanpa gembala. Tetapi bilamana ia dibawa kembali oleh gembalanya ke kawanan domba, maka ia akan meloncat-loncat kegirangan dan rasa girang seperti inilah yang digambarkan dalam Mazmur 23:3 "Ia menyegarkan jiwaku" (TB), "Ia memberi aku kekuatan baru" (BIS).[18]

Dalam pekerjaan penggembalaan ada dua petugas yang bisa dibedakan satu dari yang lain. Seorang adalah gembala itu sendiri dan seorang lagi adalah orang upahan. Mengenai orang upahan ini Yesus pernah mengatakan, "Orang upahan itu lari, sebab ia bekerja untuk upah" (Yoh. 10:13, BIS). Orang upahan ini tidak diperlukan kalau kawanan domba yang digembalakan itu kecil saja. Tetapi kalau kawanannya besar, maka ia memerlukan orang upahan untuk membantunya. Orang ini tidak tertarik pada domba-domba yang digembalakan sehingga ia tidak selalu bisa dipercayai sepenuhnya seperti halnya dengan gembala. "Orang upahan yang bukan gembala dan bukan juga pemilik domba-domba itu, akan lari meninggalkan domba-domba kalau ia melihat serigala datang. Maka domba-domba itu akan diterkam dan dicerai-beraikan serigala" (Yoh. 10:12, BIS).[19]

BANGUNAN RUMAH DAN KONSTRUKSINYA

Walaupun orang Israel tidak memiliki seni bangunan atau arsitektur yang mengagumkan seperti halnya bangsa-bangsa Romawi dan Yunani, namun kita perlu mempelajari sarana tempat tinggal atau kediaman mereka supaya bisa mengerti tata cara serta peri kehidupan mereka sehari-hari. Tempat kediaman mereka yang paling kuno adalah kemah. Ini sesuai dengan cara hidup mereka yang berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Abraham misalnya, pada waktu dikunjungi oleh tiga orang malaikat Tuhan, ia sedang duduk di pintu kemahnya (Kej. 18:1). Istri Abraham Sarah waktu itu berada di dalam kemah (Kej. 18:9).\f*

Lama kelamaan tatkala orang Israel sudah menetap di situ negeri yang mereka tuju, Palestina, mereka mulai tinggal di kota-kota di mana rumah-rumah dibangun. Kebiasaan mereka yang lama berdiam di kemah mereka tinggalkan sedangkan sebagai penggantinya mereka mendirikan rumah. Sebagian dari mereka tinggal di rumah-rumah yang ditinggalkan oleh orang-orang Kanaan.[20] Dengan melihat bangunan rumahnya, kita dapat membedakan antara pemilik yang kaya dan pemilik yang sederhana. Rumah-rumah yang dibangun hanya dengan satu kamar adalah milik orang-orang sederhana sedangkan yang dibangun dengan lebih dari satu kamar adalah milik orang kaya atau orang kaya raya. Bisa juga dikatakan bahwa rumah-rumah yang terdiri dari satu kamar banyak terdapat di desa-desa sedangkan yang lebih dari satu kamar kebanyakan terdapat di kota-kota besar.[21] Kebiasaan lama tinggal di dalam kemah membuat orang Israel terbiasa tinggal berkeliaran di luar rumah daripada di dalam rumah. Kemah (pada zaman leluhur) atau rumah (pada zaman bernegara) bagi mereka hanya merupakan tempat istirahat atau melepaskan lelah atau tempat perlindungan baik dari panas terik matahari maupun dari kedinginan atau hujan. Kegiatan hari-hari kebanyakan dilakukan di luar rumah. Karena begitu pentingnya rumah sebaga tempat berlindung, maka para penulis Kitab Suci menggambarkan Allah sebagai "Tempat Perlindungan" untuk "berteduh" (Mzm. 61:3; Yes. 4:6).

Pada umumnya atau kebanyakan rumah-rumah orang Israel kuno terdiri dari satu kamar saja. Rumah ini berbentuk kotak yang seolah-olah didudukkan saja di atas tanah. Tanah di mana rumah itu diletakkan terlebih dahulu diratakan dan kemudian dikeraskan dengan mencampurkan bahan perekat dengan Lumpur lalu dibiarkan mengeras sendiri atau menggilasnya dengan batu.

Dindingnya dibuat dari batu bata yang bahannya diambil dari Lumpur yang dikeringkan di bawah panas matahari. Dalam kitab Ayub rumah seperti ini disebut "makhluk dari tanah liat" (Ay. 4:19). Tetapi kadang-kadang dinding rumah ini bisa juga dibuat dari batu pasir yang terkenal dinegeri itu.[22] Atap rumah dibuat rata dan kukuh. Bahan-bahannya terdiri dari balok-balok guntung yang dipasang melintang dari atas dinding yang satu ke atas dinding yang di hadapannya. Balok-balok ini ditutupi dengan buluh anyaman kemudian dilapisi pula dengan tanah liat atau tanah saja; pasir dan batu kerikil ditaburkan di atasnya lalu batu penggiling digunakan untuk meratakannya supaya kedap air.

Ditutupnya atap rumah dengan tanah liat atau tanah atau mungkin juga Lumpur, dapat dipahami kalau atap rumah itu gampang dtumbuhi oleh rumput-rumputan. Hal seperti ni dapat kita baca dalam Mzm. 129:6 di mana dikatakan, "Biarlah mereka seperti rumput di atas atap yang menjadi kering sebelum dapat tumbuh" (lihat juga 2Raj. 19:26; Yes. 37:27). Kalau atap rumah hanya ditutup dengan lumpur, maka dapat dipahami juga bahwa bilamana turun hujan lebat, hujan itu bisa mengakbatkan atap itu miris atau bocor dan bisa menyebabkan kesulitan bagi penghuninya. Pengalaman akan air yang menetes dari atas atap rumah ini dibaratkan dengan seorang wanita yang menyusahkan suaminya (Ams. 19:13; 27:15).[23]

Berhubung atap rumah itu rata dan mudah dgunakan untuk berbagai kegatan hari-hari, maka ia sering digunakan untuk tempat merajut, membakar roti, menjemur buah ara atau untuk membersihkan biji-bijian gandum dsb. Dalam Kis. 10:27; Luk. 12:3). Kebiasaan-kebiasaan seperti ini sering dilakukan di rumah-rumah orang kebanyakan karena rumah mereka itu pada umumnya hanya bertingkat satu.

Rumah-rumah atau gedung yang bertingkat dua jarang terdapat kecuali di kota-kota besar seperti Yerusalem misalnya. Dalam rumah seperti itu terdapat kamar khusus untuk tamu yang bisa juga digunakan untuk tempat berdoa. Kamar seperti inilah yang dimaksudkan oleh Yesus dalam Mat. 6:6 di mana Ia menasihatkan para pengikut-Nya untuk tidak memperagakan kesalehan mereka di depan umum. Ada juga kamar doa di bilik atas seperti yang dipakai oleh Yesus dengan para pengikut-Nya untuk Santapan Paskah (Luk. 22:12). Rupa-rupanya bilik ini adalah milik salah seorang pengikut-Nya yang cukup berada karena ruangannya cukup luas. Dalam Kis. 1:13 dikatakan bahwa ruangan ini dipakai lagi oleh sejumlah 120 orang pengikut Yesus setelah Ia nak ke surga.[24]

ADAT ISTIADAT

Pergaulan

Salah satu ciri khas adat ketimuran orang Israel umumnya maupun Yahudi khususnya ialah keramahtamahan. Tamu mana pun yang masuk ke dalam rumah seorang Yahudi akan disambut dengan salam hangat. Adat ini dipakai turun-temurun malahan di kemudan hari dibawa alih ke dalam agama Kristen. Ini bukanlah berarti bahwa di Israel tidak ada orang yang brutal atau kasar, tetapi sikap dasar bangsa ini ialah keramahan. Seperti diceritakan di atas, Abraham pernah melayani tiga orang asing di kemahnya yang dilakukannya dengan penuh rasa ikhlas. Kemudian tindakan itu menjadi tolok ukur bagi kehidupan moral orang percaya (Ibr. 13:2; Mat. 25:35). Pada waktu Eliezer ditugaskan oleh Abraham meminang seorang gadis bagi Ishak, ia dilayani dengan sangat ramah oleh seorang gadis yang belum dikenalnya dan gadis itu sendiri menganggapnya sebagai seorang asing yang perlu pertolongan. Ternyata bahwa gadis itu adalah Ribka yang kemudian menjadi istri Ishak (Kej. 24:1-67).

Pada zaman Perjanjian Baru, Yesus mengajar para pengikut-Nya untuk membuka pintu rumah mereka bagi semua orang bahkan bagi fakir miskin dan orang-orang cacat (Luk. 14:13). Rumah orang Yahudi adalah rumah persahabatan dan tempat berbagi rasa. Walaupun ada orang yang menyalahgunakan sifat adat keterbukaan ini, keramahtamahan adalah bagina dari tenunan adat baik kepercayaan Yahudi maupun ajaran Yesus Kristus.[25]

Bila ada seseorang yang semata-mata asing berhenti di depan pintu, orang itu harus diperlakukan sebagai teman lalu diberi makan, penginapan, dilindungi dan kalau perlu diberi pakaian. Kata Yunani untuk keramahtamahan adalah "cinta akan orang asing" (Rm. 12:13; Tt. 1:8; 1Ptr. 4:9). Bila suasana keramahan menjadi cacat karena suatu sikap yang kasar atau tidak bersahabat, maka hal itu akan dianggap sebagai sikap kekafiran (Luk. 16:19-25). Dalam Perjanjian Baru sikap keramahan ini dipertahankan sekuat-kuatnya dan secara khusus surat-surat rasuli Filemon, 2 dan 3 Yohanes menekankan masalah ini.[26]

2. Perkawinan

a. Meminang

Sebagaimana cerita Eliezer di atas, perkawinan dalam Perjanjian Lama diatur oleh keluarga atau khususnya orang tua. Pihak lelaki datang ke pihak perempuan untuk meminang seorang gadis yang diinginkan oleh orang tua pihak lelaki. Hal ini terjadi misalnya pada Ismael (Kej. 21:21), Ishak (Kej. 24), dan Yakob (Kej. 28:1-3). Pengaturan perkawinan di kalangan orang Ibrani ini mirip-mirip dengan cara-cara yang berlaku di suku-suku bangsa di Indonesia seperti misalnya suku bangsa Batak, Dayak dan Toraja. Pengaturan perkawinan dimulai dengan jalan menghubungi pihak keluarga wanita terutama dengan orang tua yang bersangkutan kemudian dengan saudara-saudaranya. Kalau bukan orang tua langsung yang menghubungi, bisa juga dengan seorang atau beberapa orang perantara. Dalam kasus Ishak, maka Eliezerlah yang menjadi perantara. Seorang perantara oleh Yohanes Pembaptis disebut sebagai "sahabat pengantin" (Yoh. 3:29).[27] Sahabat pengantin ini dalam tugasnya sebagai perantara bertindak atas nama pengantin dan ia sudah diberitahukan terlebih dahulu tentang kesanggupan dan kemampuan pengantin sampai berapa banyak pemberian yang dapat pengantin lelaki berikan kepada pengantin perempuan. Dengan ditemani oleh orang tua pihak lelaki dan mungkin juga disertai oleh beberapa orang dari kaum kerabat pihak lelaki, perantara ini pergi ke rumah pihak perempuan. Setiba di rumah, ayah pihak lelaki memberitahukan bahwa yang akan menyampaikan maksud kedatangan rombongan mereka adalah si pengantara tadi.

Ayah dari keluarga pihak perempuan kemudian menimbal untuk menunjuk juga seorang juru bicara mereka. Sebelum kedua belah pihak bernegosiasi, maka minuman kopi disuguhkan kepada rombongan yang datang, namun mereka menolak untuk meminumnya sebelum misi mereka selesai (lhat Kej. 24:33 dalam kasus Eliezer). Setelah kedua juru bicara dari kedua belah pihak berhadapan, maka pembicaraan dilakukan dengan sungguh-sungguh. Pihak perempuan perlu mendapatkan bukti yang bisa dipegang mengenai bentuk pemberian yang akan diterimanya dari pihak lelaki. Bilamana suatu kesepakatan sudah diambil maka kedua juru bicara tadi bangkit berdiri saling menyalami satu dengan yang lain, dan kopi langsung dibawa dan mereka sama-sama minum sebagai tanda perjanjian yang telah dicapai.[28]

Untuk menyungguhkan maksudnya, pihak lelak menyerahkan berbagai hadiah kepada orang tua dan saudara-saudara pihak perempuan. Pemberian hadiah ini tidak selalu dalam bentuk material seperti yang dilakukan oleh Eliezer tetapi bisa juga dengan cara seperti yang dilakukan oleh Yakob misalnya: ia bekerja selama tujuh tahun untuk mendapatkan istrinya (Kej. 29:15-19). Maksud dari pemberian atau mas kawin ini adalah untuk memberikan jaminan hidup kepada si mempelai wanita seandainya perkawinan itu berakhir alias gagal di tengah perjalanan kehidupannya. Atas alasan itu maka mas kawin biasanya diberikan dalam bentuk uang logam atau permata. Karena itu cerita tentang perempuan yang kehilangan satu dari sepuluh uang peraknya (Luk. 15:8, 9) sangat menyesal dan berusaha untuk mencari dan mendapatkannya kembali.[29]

b. Bertunangan

Pertunangan dalam kalangan orang Yahudi merupakan suatu persiapan untuk perkawinan dan bukan hanya suatu perjanjian kawin tanpa ikatan. Pertunangan berarti suatu ikatan pasti untuk perkawinan sehingga tidak mungkin dibatalkan lagi. Sebelum pembuangan ke Babil, pertunangan merupakan perjanjian lisan oleh kedua belah pihak namun pertunangan ini hampir dapat disamakan dengan perkawinan seperti yang digambarkan dalam Yeh. 16:8, di mana dikatakan bahwa, "... kuikat janji perkawinan denganmu, dan engkau menjadi milikku." Janji perkawinan secara lisan seperti ini berlangsung sampai orang Israel kembali dari pembuangan waktu mana pertunangan dikukuhkan juga dengan penandatanganan perjanjian kawin.[30] Hari pertunangan dirayakan dengan suatu pesta dan saling memberi hadiah supaya perstiwa itu menjadi resmi. Masa pertunangan biasanya berlangsung selama satu tahun. Di zaman dahulu kala, orang lelaki Israel yang sedang menjalani masa pertunangan dilarang ikut dalam peperangan supaya ia tidak mati sebelum kawin (Ul. 20:7). Masa pertunangan itu dipandang sangat suci sehingga bilamana ada lelak lain yang bersetubuh dengan wanita yang sedang menjalankan pertunangan, maka si pelanggar akan dihukum dengan lemparan batu sampai mati (Ul. 22:23, 24). Tetapi bilamana si wanita yang digauli tidak bertunangan, maka lelaki itu tidak dilempar dengan batu tetapi harus membayar kepada ayah si wanita dan harus mengawininya.[31]

Pada waktu Yusuf dan Mara bertunangan secara sah, segala pengaturan pertunangan yang diperlukan menuju jenjang perkawinan sudah diselesaikan selengkapnya (Luk. 2:5). Namun sebagaimana kebiasaan masyarakat umum, mereka tidak pernah berhubungan kelamin sehingga kehamilan Maria merupakan sesuatu yang sangat memalukan bagi dua orang yang berpasangan maupun keluarga Maria sendiri. Dan lelaki yang menghamili dia harus dicari dan dilempar dengan batu sampai mati. Namun, Yusuf yang mengetahui akan seluk beluk adat istiadat itu, tidak menghendaki supaya Maria tersinggung dan menanggung aib, ia tidak mau memutuskan pertunangan mereka secara resmi melainkan secara diam-diam saja (Mat. 1:19).[32]

c. Perceraian

Perceraian perkawinan terjadi di kalangan orang Israel bilaman sang suami mendapatkan "ketidakbersihan" pada diri istrinya (Ul. 24: 1). Salah satu contoh mengenai "ketidakbersihan" ini ialah bahwa sang suami waktu menikahi istrinya ternyata bahwa istrinya itu bukan lagi gadis. Kalau ternyata bahwa gadis itu memang bersalah, maka ia harus dihukum mati dengan lemparan batu (Ul. 22:13-21).

Contoh lain ialah bilamana sang suami mencurigai istrinya melakukan perbuatan zinah. Untuk menjernihkan soal itu sang suami membawa istrinya kepada imam untuk diuji. Ujian ini disebut "ujian kecemburuan" atau bisa juga disebut "ujian berat". Cara menguji seperti ini sudah biasa dalam adat budaya manusia di Asia Barat.[33] Dalam ujian ini wanita itu disuruh minum air putih. Bilamana ia tidak bersalah, maka air itu tidak akan mendatangkan bahaya baginya. Tetap bilamana ia bersalah, maka air itu akan menyebabkannya sakit dan bila demikian halnya, maka ia dihukum dengan lemparan batu sampai mati karena dianggap sebagai seorang pelacur (Bil. 5:11-31).

Sejauh masalah perceraian, maka perceraian hanya boleh terjadi kalau sang suami menceraikan istrinya. Sang istri sama sekali tidak mempunyai hak untuk menceraikan suaminya walaupun dengan alasan apa pun. Karena itu bilamana seorang wanita sudah tidak merasa betah lagi dengan suaminya, maka ia bisa saja pergi meninggalkan suaminya tanpa surat cerai (Hak. 19-21). Secara resmi sang istri terikat kepada suaminya selama mereka masih hidup atau sampai pada waktu suaminya menceraikannya. Seandainya sang istri diberikan surat keterangan cerai suaminya, maka ia boleh saja kawin dengan lelaki lain mana pun asal saja lelaki yang bukan imam (Im. 21:7, 14; Yeh. 44:22). Tetapi sayang bagi sang istri yang sudah diceraikan oleh suaminya; ia tidak mungkin rujuk kembali dengan suaminya karena wanita yang demikian sudah dianggap pelacur, hal mana merupakan sikap melawan terhadap suami (Mat. 2:16).[34]

KOTA DAN DESA

Berdasarkan hasil penggalian yang dilakukan di zaman modern ini, kota purbakala Israel dapat dibuat diskripsinya sebagai berikut. Kota-kota Israel, sama seperti kota-kota bangsa lainnya di zaman Alkitab Perjanjian Lama, terutama zaman Raja-raja dst., mempunyai dinding tembok yang kukuh sebagai kubu pertahanan. Tinggi tembok ini tidak tanggung-tanggung sehingga dilukiskan dalam Ul. 1:28 "... kota-kota di sana besar dan kubu-kubunya sampai ke langit."[35] Setiap kota mempunyai pintu gerbang sebagai jalan keluar masuk sehari-hari bagi penghuni kota.

Setiap kota berdinding tembok mempunyai pintu gerbang. Kota yang kecil mempunyai hanya satu pintu gerbang sedangkan kota yang lebih besar mempunyai lebih dari satu pintu gerbang. Di sebelah kiri dan kanan pintu gerbang dibangunkan menara-menara yang tinggi dan di atas pintu gerbang dibuatkan tempat penjaga (2Sam. 18-24). Daun pintu gerbang itu dilapisi dengan besi (Yes. 45:2). Ada juga kota yang dibuat dengan tembok rangkap, tembok luar dan tembok dalam. Kota Yerikho misalnya mempunyai tembok luar setebal 1,5 - 1,8 meter dan tembok dalamnya setebal 3,3 - 3,7 meter. [36] Dalam Yes. 26:1 dikatakan bahwa tembok luar itu adalah benteng.

Pintu gerbang bisa juga dipakai sebagai tempat pertahanan kota atau pusat keramaian untuk umum. Ke pintu gerbang seperti inilah Raja Daud telah turun untuk menentramkan pasukannya yang kecut hati karena Raja telah menderita kesedihan yang hebat atas kematian anaknya Absalom yang memberontak terhadapnya (2Sam. 18:4, 24, 33; 19:8). Dalam pada itu pintu gerbang juga bisa berfungsi sebagai tempat berjual-beli atau pasar (2Raj. 7:1, 18). Tetapi bisa juga sebagai tempat bersidang untuk memutuskan karena di sinilah orang tua-tua, para hakim dan raja bisa duduk secara resmi (Ul. 21:19; 22:15; Rut 4:1, 11; 2Sam. 18:24; Yes. 29:21).[37]

Tidak sulit untuk membedakan desa dan kota di Israel karena perbedaan itu sangat jelas. Bila kota mempunyai dinding tembok atau benteng, maka desa adalah suatu lokasi terbuka di mana terdapat kumpulan beberapa rumah, tanpa dinding tembok (Im. 25:29, 31; Ul, 3:5; 1Sam. 6:18; 1Taw. 27:25).Organisasi dan administrasi desa sangat sederhana dibandingkan dengan kota. Seperti dikatakan di atas, di desa rumah biasanya hanya mempunyai bilik satu saja. Desa tidak mempunyai parit dalam yang mengelilinginya, maupun benteng atau pertahanan lainnya (Yeh. 38:11). Ia adalah kota yang terbuka (Est. 9:19).[38]

\fig Ilustrasi (Rumah sederhana berbilik satu*

Wight, Fred H., Manners and Customs of Bible Lands. Chichago: Moody Press, 1987, p. 21.\fig*

Pada zaman Talmud desa bisa dengan mudah dibedakan dari kota karena desa tidak mempunyai rumah ibadat (sinagog). Hal itu tidak diungkapkan dalam Perjanjian Baru, meskipun sebutan tentang kota dan desa tetap diperlihatkan dalam kitab-kitab Injil Sinoptis. (Lih. Mat. 9:35; 10:11; Mrk. 6:56; Luk. 8:1; 13:22).

Sebuah desa bisa bertumbuh menjadi sebuah kota kecil dalam tempo beberapa tahun saja. Jadi desa seperti itu dibuat dinding temboknya sehingga menjadi kota kecil (1Sam. 23:7). Tembok ini dibuat untuk menahan serangan musuh pada masa perang. Tetapi pada masa damai orang tidak usah ragu-ragu tinggal di luar kota yang berdinding tembok. Nama KAPERNAUM ada kemungkinan menggambarkan pertumbuhan sebuah desa menjadi kota karena nama itu berarti "desa Nahum". Betlehem kadang-kadang disebut kota (plis) dalam Lukas 2:4 tetapi kadang-kadang desa (koome) dalam Yoh. 7:42. Sebaliknya suatu kota yang runtuh bisa berubah menjadi desa (Za. 2:4).[39]

Sering kali suatu desa bergantung kepada kota tertentu untuk perlindungan dan untuk hal-hal ekonomi dan politik tertentu. Dalam hal yang demikian maka desa itu di bawah pemerntahan kota yang bersangkutan. Di zaman purbakala, di Eropa desa-desa seperti itu dibangun di sekitar kota bahkan menempel pada tembok kota. Ketergantungan desa-desa pada kota seperti itu terbukti dalam pembagian tanah di bawah kewenangan Yosua. Misalnya dikatakan bahwa 114 kota terdaftar sebagai bagian yang diberikan kepada Yehuda "termasuk desa-desa di sekitarnya" (BIS) (Yos. 15:32-62; 18:24, 28; 1Taw. 6:54 dst. dll.)

Desa-desa itu terlibat dalam pengolahan tanah, pertanian dan peternakan Tanah di sekitar tempat itu secara bersama-sama dikerjakan oleh para penduduk desa di situ. Pada musim dingin, di situlah para gembala berkumpul untuk menjaga domba-dombanya. Pada musim semi atau musim panas sering kali para gembala itu keluar dari desa-desa itu. Perlu diketahui bahwa padang-padang rumput di sekitarnya adalah bagian milik dari desa bersangkutan (1Taw. 6:54 dst.).

Ada kalanya perkemahan juga disebut desa. Perkemahan orang-orang Ismael (Kej. 25:16; dari Kedar dalam Yes. 42:11) merupakan suatu desa. Itulah yang disinggung dalam syair paralelisme dalam Mazmur 69:25. Dari dalam kehidupan pedesaan inilah muncul orang-orang terkenal seperti Saul dan Daud. Jadi para petani di Israel bukanlah orang-orang yang terkecil (Hak. 5:11).


PENUTUP

Tulisan ini tidak bermaksud untuk mengungkapkan seluruh rincian latar belakang budaya Alkitab Perjanjian Lama karena hal itu tidak mungkin dilakukan dalam jumlah halaman yang telah ditentukan untuk itu. Cukilan-cukilan di atas adalah upaya minimal untuk menampung secara maksimal deskripsi budaya tersebut sehingga dapat memberikan contoh-contoh masukkan untuk melihat hubungan antara ungkapan-ungkapan Alkitabiah dan latar belakang budaya di balik ungkapan-ungkapan itu. Lukisan-lukisan secara visual juga diberikan secara terbatas hanya sekedar memberikan ilustrasi untuk memudahkan pembaca membayangkan apa yang melatarbelakangi pemikiran Alkitab pada umumnya dan Alkitab Perjanjian Lama pada khususnya.


Daftar Rujukan Pustaka:

Berrett, La Mar C., Discovering the World of the Bible. (Nashville, Tenessee: Thomas Nelson Publishers), 1979.
Buttrick, George Arthur. The Interpreter's Dictionary of the Bible (Vol. 1 & 2) New York: Abingdon Press, 1962.

Coleman, William L., Today's Handbook of Bible Times and Customs. (Minneapolis, Minnesota: Bethany House Publishers), 1984.

Packer, James L., (ed.), Daily Life in Bible Times.

(New York: Thomas Nelson Publishers). 1982.

Thomson, J.A. Handbook of Life in Bible Times.

Leicester: Inter Varsity Press, 1986.

van Deursen, A. Purbakala Alkitab Dalam Kata dan Gambar

(Jakarta: BPK Gunung Mulia), 1991, Judul asli: "Bijbels Beeldwoordenboek" diterjemahkan oleh E.I. Soekarso.

Wight, Fred H., Manners and Customs of Bible Lands.

Chicago: Moody Press, 1987.

[1] Thomson, J.A. Handbook of Life in Bible Times. Leicester: In-ter-Varsity Press, 1986 p. 11.

[2] Buttrick, George Arthur. The Interpreter's Dctionary of the Bible (Vol. ) New York: Abingdon Press, 1962, p. 438.

[3] Ibid., 418.

[4] Ibid. Vol. 4, p. 773.

[5] Ibid., vol. 3 , p. 596.

5a Ibid., vol. 3, p. 596.

[6] Ibid.

[7] Ibd., vol. , p. 597-599.

[8] Berrett, La Mar C., Discovering the World of the Bible (Nashville, Tenessee: Thomas Nelson Publishers), 1979, p. 237.

[9] Buttrick, op.ct, vol. 4, p. 840, cf, GEZER CALENDAR.

[10] Thomson, J.A., op. cit., p. 129.

[11] Ibid., p. 130.

[12] Mungkin juga bangsa-bangsa Asia pada umumnya.

[13] Wight, Fred H., Manners and Customs of Bible Lands. Chicago: Moody Press, 1987, p. 147.

[14] Ibid., p. 148.

[15] Edwn W. Rice, Orientalism in Bible Lands, p. 241-242 as quotes by Wight, op. cit., p. 150.

[16] Wight, Ibid., p. 151.

[17] Ibid., p. 157.

[18] Ibid., p. 158.

[19] Ibid., p. 159.

[20] James 1, Packer (ed.), Daily Life in Bble Times. (New York: Thomas Nelson Publshers), 1982, p. 149.

[21] Wight, op. cit., p. 35, quoted from George M. Mackie, Bible Manners and Customs, p. 90.

[22] Wight., Ibid., p. 22.

[23] Ibid., p. 25.

[24] Coleman, William L. Today's Handbook of Bible Times and Customs. (Minneapolis Minnesota: Bethany House Publishers), 1984, p. 13.

[25] Ibid., p. 19.

[26] Wight, op. cit., p. 127.

[27] Wight, op. cit., p. 127.

[28] Ibid., p. 127, quoted from H. Clay, Studies in Oriental Social Life, Philadelphia: The Sunday School Times Co., 1984, pp. 17-20.

[29] ft Ibid., p. 128.

[30] Ibid., p. 129.

[31] Coleman, op. cit., p. 88.

[32] Ibid.

[33] James I. Packer, op. cit., 54.

[34] Ibid.

[35] Mungkin tingginya antara 16 dan 18 meter. Lih. A van Deursen, Purbakala Alkitab dalam Kata dan Gambar (Jakarta: BPK Gunung Mulia), 1991, hal. - Judul asli: "Bijbels Beeldwoordenboek" diterjemahkan oleh E. I. Soekarso.

[36] Ibid.

[37] Buttrick, George Arthur, op. cit., vol. 2, p. 355.

[38] Ibid., vol. 4 , p. 784.

[39] Ibid.


Sumber: http://www.alkitab.or.id/index.php?option=com_content&task=view&id=144&Itemid=131

Senin, 24 September 2012

Mengapa Kata “Allah” dan “TUHAN” dipakai dalam Alkitab Kita?

Mengapa Kata “Allah” dan “TUHAN” dipakai dalam Alkitab Kita?

Pengantar

Kata “Allah” masih dipersoalkan oleh sebagian pengguna Alkitab terbitan Lembaga Alkitab Indonesia (LAI). Persoalan ini mencuat ke permukaan, karena ada beberapa kelompok yang menolak penggunaan kata “Allah” dan ingin menghidupkan kembali penggunaan nama Yahweh atau Yahwe. Dalam teks Ibrani sebenarnya nama Yahweh atau Yahwe ditulis hanya dengan empat huruf konsonan (YOD-HE-WAW-HE, “YHWH”) tanpa huruf vokal. Tetapi, ada yang bersikeras, keempat huruf ini harus diucapkan. Terjemahan LAI dianggap telah menyimpang, bahkan menyesatkan umat kristiani di tanah air. Apakah LAI yang dipercaya gereja-gereja untuk menerjemahkan Alkitab telah melakukan kesalahan yang begitu mendasar? Di mana sebenarnya letak persoalannya? Penjelasan berikut bertujuan untuk memaparkan secara singkat pertimbangan-pertimbangan yang melandasi kebijakan LAI dalam persoalan ini.

Mengapa LAI menggunakan kata “Allah”?

Dalam Alkitab Terjemahan Baru (1974) yang digunakan secara luas di tanah air, baik oleh umat Katolik maupun Protestan, kata “Allah” merupakan padanan ’ELOHIM, ’ELOAH dan ’EL dalam Alkitab Ibrani:
Kej 1:1 “Pada mulanya Allah (’ELOHIM) menciptakan langit dan bumi”.
Ul 32:17 “Mereka mempersembahkan kurban kepada roh-roh jahat yang bukan Allah (’ELOAH).
Mzm 22:2 “Allahku (EL), Allahku, mengapa Engkau meninggalkan aku?”

Dari segi bahasa, tidak dapat dipungkiri, kata ’ELOHIM, ’ELOAH dan ’EL berkaitan dengan akar kata ’L, dewa yang disembah dalam dunia Semit kuno. EL, ILU atau ILAH adalah bentuk-bentuk serumpun yang umum digunakan untuk dewa tertinggi. Umat Israel kuno ternyata memakai istilah yang digunakan oleh bangsa-bangsa sekitarnya. Apakah hal itu berarti bahwa mereka penganut politeisme? Tentu saja, tidak! Umat Israel kuno memahami kata-kata itu secara baru. Yang mereka sembah adalah satu-satunya Pencipta langit dan bumi. Proses seperti inilah yang masih terus bergulir ketika firman Tuhan mencapai berbagai bangsa dan budaya di seluruh dunia.

Beberapa kelompok yang menolak kata “Allah” memang berpendapat, kata itu tidak boleh hadir dalam Alkitab umat kristiani. Ada yang memberi alasan bahwa “Allah” adalah nama Tuhan yang disembah umat Muslim. Ada pula yang mengaitkannya dengan dewa-dewi bangsa Arab. Seandainya pendirian ini benar, tentu ’EL, ’ELOAH dan ’ELOHIM pun harus dicoret dari Alkitab Ibrani! Lagi pula, beberapa inskripsi yang ditemukan pada abad keenam menunjukkan bahwa kata “Allah” telah digunakan umat kristiani Ortodoks sebelum lahirnya Islam. Hingga kini, umat kristiani di negeri seperti Mesir, Irak, Aljazair, Yordania dan Libanon tetap memakai “Allah” dalam Alkitab mereka. Jadi, kata “Allah” tidak dapat diklaim sebagai milik satu agama saja.

Kebijakan LAI dalam menerjemahkan ’ELOHIM, ’ELOAH dan ’EL sama sekali bukan hal baru. Terjemahan Alkitab yang pertama ke dalam bahasa Yunani sekitar abad ketiga SM. merupakan contoh tertua yang kita miliki. Terjemahan yang dikenal dengan nama “Septuaginta” dikerjakan di Aleksandria, Mesir, dan ditujukan bagi umat Yahudi berbahasa Yunani. Dalam Kejadian 1:1, misalnya, Septuaginta menggunakan istilah THEOS yang biasa dipakai untuk dewa-dewa Yunani. Nyatanya, Perjanjian Baru pun memakai kata yang sama, seperti contoh berikut: ”Terpujilah Allah (THEOS), Bapa Tuhan kita Yesus Kristus” (2 Kor 1:3). Tentu, THEOS dalam kutipan ini tidak dipahami sebagai sembahan politeis.
Kata “Allah” dalam sejarah penerjemahan Alkitab di nusantara

Sebelum Alkitab TB-LAI diterbitkan pada tahun 1974, telah ada beberapa Alkitab dalam bahasa Melayu yang merupakan cikal bakal bahasa Indonesia. Injil Matius terjemahan A. C. Ruyl (1629) adalah upaya pertama dalam penerjemahan Alkitab di nusantara. Menariknya, dalam terjemahan perdana ini, kata “Allah” telah digunakan, seperti contoh berikut: “maka angkou memerin’ja nama Emanuel artin’ja Allahu (THEOS) ſerta ſegala kita” (Mat 1:23). Terjemahan selanjutnya juga mempertahankan kata “Allah”, antara lain:
Terjemahan Kitab Kejadian oleh D. Brouwerius (1662): “Lagi trang itou Alla ſouda bernamma ſeang” (Kej 1:5).
Terjemahan M. Leijdecker (1733): “Pada mulanja dedjadikanlah Allah akan ſwarga dan dunja” (Kej 1:1).
Terjemahan H.C. Klinkert (1879): “Bahwa-sanja Allah djoega salamatkoe” (Yes 12:2).
Terjemahan W.A. Bode (1938): “Maka pada awal pertama adalah Firman, dan Firman itu bersama-sama dengan Allah”.

Seperti tampak pada contoh-contoh di atas, kata “Allah” yang baru belakangan ini dipersoalkan oleh sebagian umat kristiani telah digunakan selama ratusan tahun dalam terjemahan-terjemahan Alkitab yang beredar di nusantara. Singkatnya, ketika meneruskan penggunaan kata “Allah”, tim penerjemah LAI mempertimbangkan bobot sejarah maupun proses penerjemahan lintas-budaya yang sudah terlihat dalam Alkitab sendiri.

Apa dasar kebijakan LAI dalam soal “YHWH”?

Harus diakui, asal-usul nama YHWH tidak mudah ditelusuri. Dari segi bahasa, YHWH sering dikaitkan dengan kata HAYAH ‘ada, menjadi’, seperti yang terungkap dalam Keluaran 3:14: “Firman Allah (’ELOHIM) kepada Musa: ‘AKU ADALAH AKU.’ (’EHYEH ’ASHER ’EHYEH). Lagi firman-Nya: ‘Beginilah kaukatakan kepada orang Israel itu: AKULAH AKU (’EHYEH) telah mengutus aku kepadamu.’” Maknanya yang persis tidak diketahui lagi, namun ada yang menafsirkannya sebagai kehadiran Tuhan yang senantiasa ‘ADA’ menyertai sejarah umat-Nya.

Apa dasar LAI menggunakan kata “TUHAN” (seluruhnya huruf besar) sebagai padanan untuk YHWH? Untuk menjawab ini, kita perlu memperhatikan sejarah. Umat Yahudi sesudah masa pembuangan amat segan menyebut nama sakral YHWH secara langsung oleh karena rasa hormat yang mendalam. Lagi pula, pengucapan YHWH yang persis tidak diketahui lagi. Setiap kali bertemu kata YHWH dalam Alkitab Ibrani, mereka menyebut ’ADONAY yang berarti ‘Tuhan’. Tradisi pengucapan ini juga terlihat jelas dalam Septuaginta yang menggunakan kata KYRIOS (‘Tuhan’) untuk YHWH, seperti contoh berikut: ”KYRIOS menggembala­kan aku, dan aku tidak kekurangan apa pun” (Mzm 23:1).

Ternyata, Yesus dan para rasul mengikuti tradisi yang sama! Sebagai contoh, dalam pencobaan di gurun, Yesus menjawab godaan Iblis dengan kutipan dari Ulangan 6:16: “Ada pula tertulis: Janganlah engkau mencobai Tuhan (KYRIOS), Allahmu” (Mat 4:7). Dalam kutipan ini tidak ditemukan nama YHWH melainkan KYRIOS. Jika nama YHWH harus ditulis seperti dalam teks Ibrani, mengapa penulis Injil Matius tidak mempertahankannya? Begitu pula, dalam surat-surat rasul Paulus tidak pernah digunakan nama YHWH. Dalam Roma 10:13, misalnya, Paulus mengutip Yoel 2:32: “Barangsiapa yang berseru kepada nama Tuhan (KYRIOS) akan diselamatkan”. Terbukti, kata yang digunakan adalah KYRIOS, bukan YHWH.

Mungkinkah Yesus dan para rasul telah mengikuti suatu tradisi yang “keliru”? Tentu saja, tidak! Para penulis Perjanjian Baru justru mengikuti tradisi umat Yahudi yang menyebut ’ADONAY (‘TUHAN’) setiap kali bertemu nama YHWH. Karena Perjanjian Baru ditulis dalam bahasa Yunani, kata KYRIOS dipakai sebagai padanan untuk ’ADONAY yang mencerminkan tradisi pengucapan YHWH.

Singkatnya, LAI mengikuti teladan Yesus dan umat kristiani perdana menyangkut pengucapan YHWH. Dalam Alkitab TB-LAI, kata “TUHAN” ditulis dengan huruf besar semua sebagai padanan untuk ’ADONAY yang mengingatkan tradisi pengucapan itu. Penulisan ini memang sengaja dibedakan dengan “Tuhan” (hanya huruf pertama besar), padanan untuk ’ADONAY yang tidak merepresentasi YHWH. Perhatikan contoh berikut: “Sion berkata: ‘TUHAN (YHWH) telah meninggalkan aku dan Tuhanku (’ADONAY) telah melupakan aku.’” (Yes 49:14). Pembedaan ini tentu tidak relevan untuk Perjanjian Baru yang tidak memper­tahankan penulisan YHWH.

Berbagai terjemahan modern juga mengikuti tradisi yang sama, misalnya, dalam bahasa Inggris: “the LORD” (New Jewish Publication Society Version; New Revised Standard Version, New International Version, New King James Version, Today’s English Version); Jerman: “der HERR” (Einheitsübersetzung; die Bibel nach der Übersetzung Martin Luthers); Belanda: “de HEER” (Nieuwe Bijbelvertaling); Perancis”: “le SEIGNEUR” (Traduction Oecuménique de la Bible).
Penutup

Kebijakan LAI mengenai padanan untuk nama-nama ilahi tidak diambil secara simplistis. Berbagai aspek harus dipertimbangkan dengan matang, antara lain:
Teks sumber (Ibrani dan Aram untuk Perjanjian Lama; Yunani untuk Perjanjian Baru) dan tafsirannya.
Tradisi umat Tuhan dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru.
Sejarah pemakaian nama-nama ilahi dalam penerjemahan Alkitab ke dalam berbagai bahasa dan budaya dari zaman ke zaman.
Kebijakan yang diikuti tim-tim penerjemahan Alkitab di seluruh dunia, khususnya yang bergabung dalam Perserikatan Lembaga-lembaga Alkitab se-Dunia (United Bible Societies).

Kesepakatan yang diambil bersama dengan gereja-gereja, baik Katolik maupun Protestan, yang menggunakan Alkitab terbitan LAI hingga saat ini. Menjelang penyelesaian Alkitab TB-LAI, misalnya, pada tahun 1968 diadakan konsultasi di Cipayung dengan para pimpinan dan wakil gereja-gereja dari berbagai denominasi. Dalam konsultasi ini, antara lain, disepakati agar kata “Allah” tetap digunakan seperti dalam terjemahan-terjemahan sebelumnya.

LAI tidak pernah berpretensi seolah-olah terjemahannya sudah sempurna dan tidak perlu diperbaiki lagi. Akan tetapi, mengingat proses panjang dan berhati-hati yang ditempuh dalam menerbitkan Alkitab, tuntutan beberapa kelompok yang ingin menyingkirkan atau memulihkan nama tertentu, tidak dapat dituruti begitu saja. Dalam semua proses pengambilan keputusan menyangkut terjemahan Alkitab, berbagai faktor harus dipertimbangkan dengan saksama menyangkut teks-teks sumber, tafsirannya, tradisi penerjemahan sampai dampaknya bagi persekutuan dan kesaksian umat Tuhan bersama-sama, khususnya di tanah air kita.
Akhirnya, dengan penuh kesadaran akan terbatasnya kemampuan manusia di hadapan Allah, kita patut mempersembahkan puji syukur kepada Dia yang telah menyatakan firman yang diilhamkan-Nya untuk mendidik orang dalam kebenaran dan memperlengkapi umat-Nya untuk setiap perbuatan baik (2 Tim 3:16-17). Dialah yang telah mempersiapkan orang-orang untuk menjelmakan firman kebenaran-Nya dalam aneka bahasa dan budaya dari masa ke masa. Segala sesuatu adalah dari Dia dan oleh Dia dan kepada Dia. Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya. [bfk]

Sumber: http://www.alkitab.or.id/index.php?option=com_content&task=view&id=69&Itemid=2

Sejarah Terjemahan Alkitab

Sejarah Terjemahan Alkitab
First Translation ( Sejarah Terjemahan Alkitab Yang Pertama )







NB : Sebelumnya baca Keaslian Alkitab

Terjemahan Alkitab yang pertama merupakan versi oral dari Old Testaments ( Alkitab bagian Perjanjian Lama ) dalam bahasa Aramaic. Terjemahan bahasa Aramaic disebut Targum, yang datang dari bahasa Ibrani yang berarti terjemahan.

Targum biasa dibuat untuk komunitas Yahudi kuno yang saat itu lebih banyak berbahasa Aramaic daripada Ibrani. Orang Yahudi yang hanya berbicara Aramaic tidak dapat mengerti Old Testaments ketika dibacakan dengan bahasa Ibrani. Seorang penerjemah akan berdiri di samping pembaca di sinagoge dan menterjemahkannya untuk mereka.

Sekitar tahun 100 SM ( Sebelum Masehi ) , orang Yahudi menetapkan terjemahan Old Testaments ( Alkitab bagian Perjanjian Lama ) standar, yang merupakan Targum tertulis..

Orang Yahudi yang tinggal di Yunani juga membutuhkan terjemahan dari Old Testaments ( Alkitab bagian Perjanjian Lama )


Para kaum terpelajar pertama-tama menerjemahkan Hukum Taurat sekitar tahun 250 SM ( Sebelum Masehi ) . Menurut tradisi, 70 (atau 72) kaum terpelajar Yahudi yang bekerja di Alexandria, Mesir menerjemahkan seluruh Perjanjian Lama ( Old Testaments ) ke dalam bahasa Yunani sekitar pertengahan tahun 200 SM. Terjemahan ini dikenal dengan Septuaginta, yang diambil dari bahasa Latin berarti tujuh puluh.

Sebagian besar dari orang Kristen mula-mula berbicara bahasa Yunani, dan karena itu gereja mula-mula menggunakan septuaginta yang merupakan terjemahan Alkitab bagian Perjanjian Lama ( Old Testaments ).

Namun kebutuhan untuk terjemahan Alkitab lainnya meningkat saat pemeluk agama Nasrani menyebar ke Syria dan ke negara berbahasa Latin. Alkitab ( Perjanjian Lama dan Baru ) diterjemahkan dalam bahasa Syria dan Latin sekitar tahun 100 M ( Sesudah Masehi ).



Sekitar tahun 383 M, St Jerome memulai terjemahan revisi Alkitab Latin atas permintaan Pope St Damasus I.

Untuk sumber Perjanjian Lama, Jerome menggunakan teks Ibrani dan teks Yunani dan terjemahan Latin untuk diterjemahkan .

Untuk sumber Perjanjian Baru, dia menggunakan teks Yunani dan terjemahan Latin untuk diterjemahkan. Dia menyelesaikannya sekitar tahun 405 M.

Terjemahannya menjadi dasar dari sebuah versi yang dikenal sebagai Vulgate, kata dari bahasa latin yang berarti populer.






Sejarah Terjemahan Alkitab ke bahasa Inggris

Sejarah Terjemahan Alkitab yang terjadi di Inggris merupakan gerakan dari kepemilikan dan penggunaan oleh tubuh Kristus kepada yang bukan menjadi bagian dari mereka.

Sejarah Terjemahan Alkitab juga merupakan saksi pembentukan bahasa Inggris dari campuran bahasa Perancis, Angloe-Norman dan Anglo Saxon.

Walaupun agama Kristen mencapai Inggris pada abad ke-3, Alkitab masih dalam bahasa latin dan hampir hanya berada dalam kalangan kristiani sendiri selama ratusan tahun.

Antara abad 7 dan abad 14, Alkitab sudah mulai diterjemahkan dalam bahasa Inggris. Minat untuk menerjemahkan ke dalam bahasa Inggris berkembang pesat pada abad ke-14, dan tahun 1382 Alkitab bahasa Inggris pertama tampil dalam sebuah manuskrip. Alkitab ini merupakan hasil kerja Tokoh Gerakan Reformasi Inggris john Wycliffe, dimana tujuannya adalah memberikan Alkitab kepada setiap orang ( agar setiap orang dapat membaca dan mengerti sendiri ).














A. Terjemahan Alkitab Pada Era Reformasi

Pada tahun 1525 Tokoh Reformasi Inggris William Tyndale menerjemahkan Perjanjian baru dari terjemahan Yunani, dan salinannya dicetak di Jerman dan diedarkan di Inggris disebut Tyndale’s Bible. Terjemahan Tyndale untuk Perjanjian Lama dari tulisan Ibrani hanya sebagian yang telah diselesaikan. Gaya terjemahannya juga berlanjut pada tahun 1611 (King James Version) dan juga dalam Revised Standard Version tahun 1946-1952.

Pada tahun 1535 Tokoh Reformasi Inggris Miles Converdale menerbitkan sebuah Alkitab dalam bahasa Inggris yang diterjemahkan dari versi Latin dan versi Jerman untuk menambahkan versi Tyndale. Alkitab ini bukanlah Alkitab berbahasa Inggris pertama terlengkap yang pernah dicetak, namun tidak seperti pendahulunya alkitab ini merupakan hasil terjemahan yang diminta oleh Canterbury Convocation.

Tak lama sesudah itu seorang tokoh reformasi Inggris bernama John Rogers membuat sebuah edisi terjemahan revisi dari Tyndale’s Bible, muncul pada tahun1537 yang disebut Matthew’s Bible.

Tahun 1538 seorang berkebangsaan Inggris Richard Taverner mengusulkan adanya revisi terjemahan yang lain. Pada saat yang sama, Thomas Cromwell memerintahkan Converdale untuk membuat alkitab versi baru dimana tampil dalam enam edisi antara tahun1539 dan 1568. Alkitab ini disebut “The Great Bible”.

Revisi terjemahan akhirnya pada tahun1568 dikerjakan oleh para bishop dari Gereja Anglikan yang dikenal sebagai “The Bishop Bible”

The Bishop Bible tidak hanya dirancang untuk menggantikan the Great Bible tapi juga merupakan suatu terjemahan untuk orang-orang non Kristen. Alkitab ini diproduksi di Jenewa yang disebut dengan “The Geneva Bible”. The Bishop Bible adalah Alkitab resmi yang kedua.

B. Terjemahan Alkitab The Douay dan Versi Katolik Roma lainnya

The Douay atau Douay Rheims Bible, diselesaikan pada 1582-1609, digunakan secara umum oleh Gereja Katolik Roma dalam negara yang menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar sampai sekitar tahun 1900, ketika saat itu terjemahan Bible ( Alkitab) tersebut dipertimbangkan direvisi oleh Bishop Inggris Richard Challoner.

The Douay Bible diterjemahkan dari bahasa Latin., terutama oleh dua orang pengasingan Inggris di Perancis, William Allen dan Gregory Martin. Selama abad 19 dan 20, The Douay dan Challoner Bible ditempatkan dengan Alkitab terjemahan lain oleh gereja Katolik Roma.

Di Amerika Serikat, satu yang paling banyak digunakan adalah New American Bible (1970), Alkitab bahasa Inggris terlengkap pertama yang diterjemahkan dari bahasa Ibrani dan Yunani oleh Gereja Katolik Roma di Amerika Serikat.

C. Terjemahan Alkitab The King James Version dan Revisinya

Tahun 1604 Raja James I menugaskan sebuah revisi terjemahan yang baru untuk English Bible; yang diselesaikan tahun 1611. Mengikuti Tyndale’s Bible, versi resmi ini diakui dengan keindahan dan kesederhanaan dalam gaya bahasanya.

Beberapa tahun berikutnya, terjemahan versi resmi ini mengalami beberapa revisi, yang terkenal di antaranya adalah the English Revised Version (1881-1885), The American Standard Version (1901), dan revisi dari American Standard Version ditangani oleh International Council of Religious Education, mewakili 40 denomasi Prostestan di AS dan Kanada.

Versi terjemahan ini dikenal dengan Revised Standard Version hadir tahun 1946-1952. Diterima dengan luas di kalangan Gereja Orthodox, Protestan, dan Gereja Katolik Roma.

Selanjutnya the New Revised Standard Version (NRSV, 1989).

The New King James Bible, dengan tata bahasa yang kontemporer dipublikasikan tahun 1982.












D. Terjemahan Alkitab Modern lainnya

Pada paruh pertama abad ke-20, terdapat banyak terjemahan Alkitab, kebanyakan dilakukan per individu seperti: Weymouth (1903); Goodspeed dan Smith (1923-1927); Moffat (1924-1926); Phillips (1947)); dan lainnya.

Kegiatan menerjemahkan ini bukanlah merupakan revisi dari versi Tyndale-King James-RSV.

Yang penting diketahui diantaranya : The Jerusalem Bible, sebuah terjemahan Inggris dari hasil kerja France Dominicans;

Today’s English Version (1966-1976); The New English Bible (1946); The New International Bible (1973-1979); dan The Living Bible.

Sebuah terjemahan baru, disponsori oleh Jewish Publication Society of America, dipublikasikan dalam tiga bagian tahun 1962, 1974 dan 1983, disebut dengan The New Jewish Version.

Bertambahnya terjemahan-terjemahan baru merupakan saksi dari perubahan bahasa, penemuan-penemuan baru, dan terutama keinginan untuk membaca dan mengerti isi Alkitab ( Bible ).

———————————————————————–

Sejarah Terjemahan ALKITAB di Indonesia

Alkitab ( Bible ) jaman dahulu sudah mulai ada yang di terjemahkan kedalam bahasa penduduk Asia Tenggara khususnya bahasa melayu, karena merupakan bahasa pesisir , yang umum dipakai para pedagang.

Saat itu tentu saja belum ada bahasa Indonesia, bahkan bahasa melayu tersebut masih kuno dan berbeda dialek antara satu daerah dengan daerah lainnya.

Sejarah perubahan bahasa tersebut justru dapat kita lihat dari sejarah terjemahan Alkitab.

Sesuai perkembangannya, kemudian bahasa melayu dapat dibagi menjadi bahasa melayu rendah, bahasa melayu tinggi , dll.

Kalau kita baca contoh-contoh bahasa jaman baheula tersebut, tentulah kita merasa bahasa tersebut lucu-lucu alias janggal kedengaran di kuping bangsa Indonesia masa kini.

Jangankan jaman baheula, masa kinipun bangsa Indonesia akan sering merasa lucu alias janggal bila mendengar orang Malaysia berbicara.

Kita tahu bahwa bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu, namun telah beberapa kali mengalami penyempurnaan.

Bukan hanya bahasa, hurufpun ( tulisan ) sudah beberapa kali mengalami penyempurnaan, misal oe menjadi u, dj menjadi j, tj menjadi c , dll.



Sumber: http://murid1jesus.wordpress.com/2008/09/05/sejarah-terjemahan-alkitab/