Entri Populer

Sabtu, 29 September 2012

KANONISASI PERJANJIAN BARU

KANONISASI PERJANJIAN BARU

Oleh: Prof. Dr. Richard W. Haskin

Pengantar

Sekarang sudah diketahui (akibat penyelidikan dan penemuan yang terjadi terutama pada abad ini) bahwa, dalam kurun waktu dari pertengahan abad ke-1 M sampai akhir abad ke-2 M orang-orang yang memandang dirinya selaku orang Kristen (bagaimanapun penilaian terhadap mereka oleh gereja-gereja kemudian hari!) telah menghasilkan lebih dari seratus tulisan yang mengandung apa yang mereka mau tekankan sehubungan dengan iman dan cara hidup Kristiani. Namun, sejak abad ke-5 M hampir setiap orang Kristen, di mana saja di dunia ini, berpegang pada Perjanjian Baru sebagai suatu kumpulan tulisan yang terdiri dari dua puluh tujuh kitab. Apa yang terjadi dalam sejarah sehingga inilah kenyataan sekarang ini? Pertanyaan inilah yang mendasari pokok kanonisasi PB.

Arti Kanon

Istilah "kanon" berupa pengalihan secara hurufiah dari kata Yunani kanon yang berasal dari istilah bahasa-bahasa Semit yang berarti "buluh" (qaneh dalam bahasa Ibrani). Secara hurufiah, kata ini dipakai untuk mistar atau penggaris, seperti diperlukan tukang kayu atau jurutulis. Tetapi, kata ini juga dipakai dalam arti kiasan, antara lain, "patokan" dalam ajaran akhlak, filosofis, atau keagamaan dan "daftar" atau "katalogus". Di dalam 2Kor. 10:13, 15, 16, kata ini dipakai dengan artian "batas", dan di dalam Gal. 6:16, dalam arti "patokan" sehubungan dengan cara hidup. Dalam pemakaian kegerejaan, mula-mula kata ini digunakan untuk menunjuk akan patokan dalam ajaran atau doktrin Kristiani (terlihat misalnya di dalam I Klemens 7:2 atau di dalam tulisan-tulisan uskup Irenaeus; karena dalam bahasa Latin kata yang sepadan ialah regula, maka ungkapan regula fidel dipakai untuk menunjukkan patokan yang hendaknya dipegangi orang-orang Kristen dalam kepercayaan mereka). Eusebius (awal abad 4) memakai kata ini (dalam bentuk jamak) untuk daftar-daftar ayat-ayat yang sejajar di dalam kitab-kitab Injil. Juga dalam bentuk jamak, keputusan-keputusan dari Konsili Nikea dinamai kanon (jelas dengan artian yang lebih dekat pada "patokan"). Baru dengan uskup Athanasius, di dalam surat edaran untuk perayaan Paskah pada tahun 367, kata ini dipakai untuk kitab-kitab PB.

Pembagian Menurut Athanasius

Athanasius membedakan antara "buku-buku yang termasuk kanon dan yang telah diturunalihkan serta sebagai ilahi" dengan "buku-buku yang disebut apokryfa" yang katanya, para orang sesat mencampuradukkan dengan tulisan-tulisan suci yang berasal dari pengilhaman ilahi. Pemakaian kata kanon oleh Athanasius ini memperlihatkan pemakaian kegerejaan sejak abad keempat itu. Buku-buku digolongkan sebagai tulisan-tulisan suci apabila dinilai sebagai sesuai dengan patokan mengenai ajaran Kristiani yang benar sehubungan dengan kepercayaan dan cara hidup (akhlak) Kristiani. Tulisan-tulisan yang demikian dapat dicap "ilahi" atau disebut sebagai yang berasal dari pengilhaman ilahi, tetapi sebutan semacam ini julukan saja. Maksudnya: tiada pembuktian bahwa tulisan-tulisan berasal dari pengilhaman ilahi kecuali persetujuan bahwa tulisan-tulisan tersebut memang sesuai dengan patokan (kanon) mengenai kepercayaan dan cara hidup Kristiani. Tetapi, "persetujuan" pada siapakah? Menjawab pertanyaan ini tidak terlalu sulit jika diperhatikan pengacuan Athanasius kepada orang-orang sesat (bidat) dan jika diingat peranan Athanasius selaku pembesar dalam lembaga kegerejaan yang sedang bermunculan pada waktunya sebagai gereja Katolik purba, yang dimaksud dengan ungkapan "gereja Katolik purba" ialah bukan satu lembaga dengan satu pemimpin tertinggi (seperti, misalnya gereja Roma Katolik dengan Paus kemudian hari), melainkan gereja-gereja yang berada di sekitar Laut Tengah (terutama di dalam wilayah kekaisaran Roma) yang semakin seragam dalam kredo (pengakuan iman) moralitas (akhlak) dan sistim pemerintahan (keuskupan) dan yang mencakup dalam keanggotaannya sebagian besar (mayoritas) orang Kristen di wilayah tersebut. Oleh gereja-gereja ini, dengan pemimpin-pemimpinnya seperti uskup Athanasius, orang-orang Kristen yang berbeda dalam kredo, akhlak, dan sistim pemerintahan dicap dan ditentang selaku orang-orang sesat. Apalagi, demi kepentingan kesatuan kekaisaran Roma, sejak Kaisar Konstantinus (awal abad keempat), ada kecenderungan dari pemerintah kekaisaran untuk memihak pada gereja-gerja mayoritas ini serta mendukung kepemimpinannya, antara lain, dalam menindak gereja-gereja minoritas (yang dicap sesat atau bidat!).

Athanasius mencatat di dalam suratnya bahwa tulisan-tulisan suci Perjanjian Baru adalah: "empat kitab Injil menurut Matius, Markus, Lukas dan Yohanes, sesudah itu Kisah Para Rasul dan tujuh tulisan yang biasa disebut surat-surat Katolik dari rasul-rasul, yaitu, satu dari Yakobus, dua dari Petrus, lantas tiga dari Yohanes dan sesudah ini satu dari Yudas. Di samping ini ada empat belas surat dari rasul Paulus yang ditulis dalam urutan berikut: yang pertama kepada orang-orang
Roma, lantas dua kepada orang-orang Korintus dan yang sesudah ini satu kepada orang-orang Galatia, menyusul satu kepada orang-orang Efesus, kemudian yang satu kepada orang-orang Filipi dan satu kepada orang-orang Kolose dan dua kepada orang-orang Tesalonika dan surat kepada orang-orang Ibrani dan langsung dua kepada Timotius, satu kepada Titus dan terakhir kepada Filemon. Lantas lagi ada Wahyu dari Yohanes." Jumlah ini (dua puluh tujuh) dan sebutannya (nama-nama) sama dengan sekarang ini dalam kebanyakan gereja-gerja Kristen, walaupun urutannya sedikit berbeda. Jelaslah bahwa tulisan-tulisan Kristen, bagaimanapun dinilai mutunya, kalau tidak tercantum pada daftar ini (kanon), dianggap oleh athanasius sebagai yang tidak sesuai dengan patokan (kanon) kredo dan akhlak Kristiani, walaupun tidak ada catatan-catatan dari Athanasius mengenai yang mana, di luar dua puluh tujuh ini, mau digolongkannya sebagai sungguh-sunggu sesat dan yang mana hanya tidak jadi masuk daftar ini, kendatipun isinya tidak betul-betul sesat.

Tiga Kelompok Tulisan Kristen Kuno

Sebelum Athanasius, Eusebius sudah membagi tulisan-tulisan Kristen kuno ke dalam tiga kelompok: (1) yang diterima tanpa dipersoalkan oleh semua; (2) yang dipersoalkan atau diperdebatkan dan (3) yang jelas palsu (artinya, tidak sejati Kristiani, sesat). Sebetulnya, sejak awal abad ketiga, sudah ada kecenderungan untuk membuat pengelompokan semacam itu (misalnya, oleh Klemens dan Origenes dari Alexandria). Bagi gereja-gereja, yang diwakili macam Athanasius, kelompok (1) akhir-akhirnya terdiri dari dua puluh tujuh kitab yang seperti tercantum di dalam daftar Athanasius. Tetapi, sempai waktu Athanasius, bahkan lewatnya, ada kitab-kitab seperti Yakobus, Yudas, II Petrus, II dan III Yohanes, Ibrani, dan Wahyu yang dipersoalkan. Yang juga diperdebatkan ialah tulisan-tulisan seperti Didakhe (Ajaran keduabelas rasul), I Klemens, dan Gembala Hermas. Tiga tulisan ini, ditambah dengan II Klemens, surat-surat Ignatius, surat Policarpus, surat Barnabas, surat Diognetus, walaupun akhirnya tidak dimasukkan ke dalam kelompok (1), namun cukup tinggi dihargai oleh gereja-gereja mayoritas, dan, sejak abad ketujuhbelas dianggap sebagai satu kumpulan dan disebut "bapak-bapak rasuli". Semua tulisan lain, yang mungkin berjumlah sekitar tujuhpuluh buah (seperti telah disinggung di dalam alinea pertama makalah ini), oleh gereja-gereja mayoritas dimasukkan ke dalam kelompok (3). Tetapi, tulisan-tulisan tersebut bercorak pengungkapan iman dan akhlak Kristiani yang rupanya dipegangi dengan ikhlas oleh orang-orang yang mengaku diri orang Kristen, walaupun dengan perbedaan-perbedaan tertentu dibandingkan dengan orang-orang Kristen mayoritas. Jika diharapkan suatu pemahaman yang lebih lengkap tentang iman dan cara hidup Kristiani pada tahapan awal persekutuan Kristen, maka tulisan-tulisan perlu dipelajari juga tanpa prasangka bahwa isinya melulu ajaran sesat dari orang-orang penyesat!

Kitab Suci Umat Yahudi

Pada waktu persekutuan Kristen mulai ada, kanon, sebagai patokan iman dan akhlak serta daftar tulisan-tulisan yang sesuai dengan patokan itu, belum ada pada orang-orang Yahudi. Memang, kumpulan kitab-kitab hukum (Torah) sudah dianggap tertutup oleh mereka, dan demikian pula dengan kumpulan kitab-kitab para nabi. Di samping kedua kumpulan tertutup itu, ada cukup banyak tulisan yang dihargai oleh mereka sebagai yang bermutu sebagai keagamaan. Terutama di kalangan orang Yahudi di perantauan (Diaspora), yang bergantung pada bahasa Yunani, ada kitab-kitab yang dihargai yang kemudian hari tidak ada di dalam kitab suci Yahudi tetapi pada waktu dahulu ada di dalam Septuaginta, terjemahan Yunani dari Torah, nabi-nabi, dan sejumlah tulisan lain lagi, sebagian yang ditulis semula dalam bahasa Yunani. Orang-orang Kristen pertama pasti membaca dan menggemari juga tulisan-tulisan macam itu, seperti terlihat dalam acuan kepada Kenaikan Musa dalam Yudas 9 dan acuan kepada kitab I Henokh dalam Yudas 14-15. Jadi, persekutuan Kristen mewarisi tulisan-tulisan suci dari umat Yahudi, yaitu Torah dan nabi-nabi, tetapi tidak mewarisi sebuah kanon, ataupun dorongan untuk menetapkan sebuah kanon untuk persekutuan Kristen sendiri. Demikian pula tidak ada pemimpin ataupun sidang yang memerintahkan bahwa persekutuan Kristen harus memiliki suatu kanon kitab suci sendiri. Perkembangan ke arah penetapan kanon bermunculan dalam kehidupan persekutuan Kristen sepanjang lebih dari duaratus tahun sehubungan dengan keperluan-keperluan seperti keperluan akan bahan untuk ibadah, pewartaan dan katekisasi, dan sehubungan dengan perkembangan-perkembangan, antara lain kesadaran bahwa persekutuan Kristen berbeda dari persekutuan Yahudi, kesimpulan bahwa Kristus tidak akan segera kembali, penindasan dari pejabat-pejabat pemerintah, dan perpecahan serta pertentangan di antara orang Kristen sendiri.

Ucapan Yesus

Jadi, selama seratus tahun pertama, tidak ada dorongan yang berarti untuk menetapkan sebuah kanon dalam persekutuan Kristen. Tetapi, selama kurun waktu yang sama, tampaklah perkembangan yang memberikan kedudukan istimewa kepada bahan-bahan tertentu, entah bahan tersebut dalam bentuk lisan atau tertulis. Jelas yang pertama di sini ialah perkataan-perkataan Yesus (logika Yosua). Rasul Paulus, pada dasawarsa kelima abad pertama, beberapa kali mengacu kepada suatu logos Tuhan (= Yesus) untuk membenarkan atau mendukung sesuatu pendapat yang Paulus mau sampaikan kepada jemaat-jemaat asuhannya (mis. 1Tes. 4:15; 1Kor. 7:10; tetapi pengacuan macam ini tidak banyak, dan kenyataan ini tentu menimbulkan pertanyaan "mengapakah?". "Q", sumber perkataan-perkataan Yesus yang dipakai oleh Matius dan Lukas, tersusun pada dasawarsa keempat abad pertama, serta kumpulan logia Yesou yang sekarang dikenal sebagai "Injil Thomas" tersusun tidak lama sesudah "Q". Kedudukan istimewa mulai diberikan kepada surat-surat Paulus sendiri (entah berapa banyak!) dari akhir abad pertama, sebagaimana terdapat dalam acuan-acuan di dalam I Klemens dan di dalam surat-surat uskup Ignatius.

Tulisan Rasuli dan Non-Rasuli

Pada akhir abad pertama dan awal abad kedua, ada acuan-acuan kepada bahan yang mungkin sudah dikenal pada waktu tersebut sebagai bahan yang termuat di dalam tulisan-tulisan yang tidak lama kemudian biasa disebut kitab-kitab Injil (misalnya acuan-acuan yang terdapat di dalam Didakhe, Hermas, dan surat-surat Ignatius). Tetapi kepastian dalam hal ini cukup sulit, karena acuan-acuan ini bisa saja berkenaan dengan tradisi-tradisi lisan mengenai perkataan dan perbuatan Yesus, tradisi-tradisi yang masih dihargai paling sedikit sampai pertengahan abad kedua (misalnya Papuas, uskup kota Hierapolis di Asia Kecil, di sekitar tahun 130, menyatakan bahwa ia lebih suka "suara hidup itu", maksudnya tradisi lisan). Pada pihak lain, ada kemungkinan besar bahwa, pada parohan pertama abad kedua, sudah ada tulisan-tulisan yang berbentuk seperti kitab Injil, kitab kisah, atau kitab wahyu dan yang berasal dari kelompok-kelompok Kristen yang sedikit atau banyak berbeda dalam iman dan akhlak dengan mereka dari gereja-gereja mayoritas (maka, kelompok-kelompok ini suka dicap bidat atau sesat oleh mereka dari gereja-gereja mayoritas; sebutan yang jauh kemudian hari biasa dipakai untuk kelompok-kelompok yang berbeda ini ialah "gnostik", walaupun mereka cukup pelbagai). Tulisan-tulisan macam ini biasanya dikaitkan dengan nama seorang rasul; maka ada "Injil Thomas" dan "Kisah Thomas", ada "Apokryfon Yohanes" dan "kisah Yohanes", dan ada "Injil Petrus" serta "Wahyu (Apokalypse) Petrus". Perkembangan ini agaknya mempengaruhi pemimpin-pemimpin dari gereja-gereja mayoritas untuk mengaitkan dengan nama seorang rasul tulisan-tulisan yang mereka nilai lebih sesuai dengan iman dan akhlak yang Kristiani sejati. Ini tercermin dalam catatan uskup Papias yang menghubungkan Injil Markus (yang rupanya sudah mulai disebut "menurut Markus", walaupun tulisan itu sendiri tidak mengandung nama pengarang!) dengan rasul Petrus; dan Injil Matius, Papias tunjukan sebagai tulisan rasul Matius sendiri (kendatipun Papias tidak menulis "Kitab Injil" melainkan ia menulis bahwa Matius "mengumpulkan logia [Yesou] dalam bahasa Ibrani dan setiap orang mengartikannya semampu-mampunya). Pokoknya, pada kedua belah pihak, minoritas dan mayoritas, sudah mulai cara untuk menunjuk akan tulisan-tulisan yang dipegangi sebagai yang mengandung ajaran Kristiani yang benar, yaitu memakai wibawa dari nama seorang rasul, karena prapaham yang dianut semua pihak bahwa ajaran dari rasul-rasul pasti benar. Dengan demikian, sudah mulai kebiasaan untuk mempersoalkan apakah suatu tulisan rasuli (apostolic) atau tidak dan untuk menggunakan corak ini sebagai semacam tolok ukur juga.

Kanon Marcion

Yang sungguh-sungguh menjadi dorongan kuat untuk menetapkan kanon (dalam artian yang sudah diterangkan di atas) ialah tindakan dari seorang penatua (Presbyteros) di gereja Roma pada pertengahan abad kedua. Orang yang bernama Marcion ini berasal dari daerah Asia Kecil, tetapi sudah pindah dan bergiat di Roma. Menjelang tahun 140, ia dikucilkan dari gereja di Roma, rupanya karena ia dinilai radikal dan sebagai orang yang menyimpang dari ajaran benar Kristiani menurut gereja Roma. Sayang, karangan-karangannya dibinasakan oleh gereja-gereja mayoritas, sehingga sulit mengetahui seluk-beluk teologinya. Rupa-rupanya, Marcion menolak tulisan-tulisan suci Yahudi sebagai tulisan suci untuk orang Kristen karena, menurut dia, ilah yang disaksikan di dalam tulisan-tulisan Yahudi adalah ilah yang memerintah dunia ini, tetapi ilah itu bukanlah bapak Yesus Kristus dan sumber keselamatan. Bapak Yesus Kristus adalah ilah yang "asing" bagi jagad raya ini. Secara sepintas, pikiran ini kelihatan berdekatan dengan pemikiran yang biasa dijuluki gnostik, akan tetapi tidak mungkin seorang gnostik bisa menerima tulisan-tulisan suci Yahudi karena mereka menafsirkan tulisan-tulisan tersebut secara alegoristis, padahal Marcion menolak cara penafsiran yang sedemikian. Bagaimanapun juga, yang pokok ialah bahwa, menurut Marcion, orang Kristen salah kalau lagi berpegang pada kitab suci Yahudi. Orang Kristen harus berpegang pada suatu kitab suci yang khas Kristiani. Mengingat bahwa kitab suci Yahudi berpusat pada Torah dan nabi-nabi, maka Marcion menganjurkan supaya orang Kristen berpegang pada Injil dan rasul, yaitu kitab Injil Lukas serta surat-surat rasul Paulus.

Tetapi, Marcion berkeyakinan bahwa tulisan-tulisan tersebut tidak disimpan dan diturunalihkan dengan isi yang asli. Oleh karena itu, Marcion membuat semacam edisi kritis atas Injil Lukas dan surat-surat Paulus (10 buah: Gal., 1 dan 2Kor., Rm., 1 dan 2Tes., Laodicea [rupanya Ef.), Kol., Flp., dan Flm.) untuk menghilangkan bagian-bagian yang menurut dia, berupa tambahan dan penyisipan yang tidak asli, yaitu semua bahan yang mencerminkan atau berdekatan dengan tulisan-tulisan suci Yahudi. Yang sungguh-sungguh baru dalam tindakan Marcion ini ialah: (1) tulisan-tulisan Kristen tertentu kepada kedudukan sebagai Kitab Suci Kristen, yaitu kanon, dan sekaligus (2) penolakan tulisan-tulisan suci Yahudi (kurang lebih apa yang kemudian hari biasa disebut Perjanjian Lama oleh orang Kristen) sebagai Kitab Suci Kristen Marcion sendiri berkeyakinan bahwa, dalam tindakan ini, ia taat pada asas pandangan teologis Paulus: pembenaran berdasarkan hanya iman serta berakhirnya hukum Taurat seharusnya membuat persekutuan Kristen, selaku ciptaan baru, meninggalkan tulisan-tulisan Yahudi yang lama (PL) dan berpegang pada suatu Kitab yang khas Kristiani.

Pertentangan Terhadap Marcion

Pihak yang berhasil mengucilkan Marcion, pihak yang berusaha dengan kuat untuk menegaskan perbatasan di antara orang Kristen mayoritas dengan macam-macam kelompok minoritas, dalam menanggapi karya Marcion, melakukan hal-hal yang cukup aneh. Yustinus Martyrus (mati syahid kira-kira 165) merupakan contoh utama di sini, mengingat ia yang menulis karangan yang pertama yang dimaksud untuk menentang Marcion (tetapi sayang, karangan tersebut tidak jadi disimpan kemudian hari). Yustinus memakai kitab Injil Matius dan Lukas (mungkin juga Markus) tetapi dalam bentuk suatu edisi yang dibuatnya sendiri, edisi yang bercorak harmonisasi (bahan dirangkaikan sehingga tampak sebagai satu saja) kitab-kitab Injil tersebut, dan rupanya Yustinus tidak memandang tindakan ini sebagai mirip dengan apa yang dilakukan Marcion terhadap Injil Lukas. Surat-surat Paulus - bagian paling penting dalam "kanon" Marcion - sama sekali tidak dikutip atau diacu oleh Yustinus. Apakah ini mungkin terjadi karena Yustinus tidak mengenal surat-surat itu? Sulit mengambil kesimpulan yang begitu, mengingat bahwa Yustinus hidup dan berkarya di Roma di sekitar pertengahan abad kedua. Ataukah Yustinus mau menghindari surat-surat Paulus justru karena tulisan-tulisan itu begitu penting bagi Marcion? Bahan di dalam karangan-karangan Yustinus yang terasa sejajar dengan bahan di dalam kitab Injil Yohanes ternyata tidak diambil dari kitab Yohanes sendiri melainkan dari tradisi-tradisi kuno yang melatarbelakangi kitab Yohanes dan masih beredar pada waktu Yustinus. Apakah Yustinus menghindari kitab Injil Yohanes karena itulah kitab Injil yang paling disukai para pemikir dan penulis Kristen-Gnostik? Pada pihak lain, julukan Yustinus untuk kitab-kitab Injil ("kenang-kenangan para rasul") serta cara Yustinus mendekatkan kitab-kitab Injil kepada kewibawaan tulisan-tulisan suci bisa saja terjadi karena dampak karya dan kegiatan Marcion atas Yustinus sendiri.

Tindakan-tindakan Yustinus membuktikan bahwa gereja-gereja mayoritas pada waktu itu, akibat karya dan kegiatan Marcion, mulai merasa perlu penetapan kanon kitab suci khas Kristen, tapi mereka tetap bingung bagaimana sebaiknya melakukan penetapan macam itu. Dengan penekanan atas kewibawaan tulisan-tulisan suci Yahudi, pemakaian Septuaginta, penyuntingan atas kitab-kitab Injil, serta pengelakan surat-surat Paulus, Yustinus kelihatannya hanya berupaya untuk mempertahankan dan memperkuat apa yang sudah biasa dalam lingkungan gereja-gereja mayoritas sebelum Marcion. Baru satu angkatan sesudah Yustinus, Irenaeus merintis jalan yang akan memungkinkan gereja-gereja mayoritas keluar dari kebingungan disebabkan Marcion.

Pengaruh Irenaeus

Irenaeus melayani selaku uskup kota Lyons di Gaulia (= Perancis sekarang), menjelang akhir abad kedua, tetapi, selaku pemikir teologi, ia berdiri pada garis tradisi jemaat-jemaat Asia Kecil, daerah ia lahir dan dibesarkan. Dari daerah itu juga berkenan dengan tulisan-tulisan yang sudah dihubungkan dengan nama rasul Yohanes (termasuk kitab Wahyu yang nama penulisnya Yohanes - waktu Irenaeus sudah disamakan dengan nama rasul Yohanes). Dan, waktu masih muda, Irenaeus sempat bergurau pada Polycarpus, uskup Smyrna di Asia Kecil. Jadi, kendatipun Irenaeus berperan selaku uskup di gereja barat, melalui tulisan-tulisannya dalam bahasa Yunani, ia lebih mewakili (lebih daripada, misalnya, pemimpin-pemimpin di Roma) dari tradisi kegerejaan, yang masih sangat menghargai surat-surat Paulus sebagai yang termasuk warisan rasuli, biarpun surat-surat Paulus itu amat disenangi orang-orang dalam lingkungan Marcion dan lingkungan gnostik (dan biarpun ada peringatan-peringatan mengenai surat-surat Paulus seperti yang terkandung di dalam II Petrus 3:15-16). Sekaligus, Irenaeus dapat mengacu kepada tulisan-tulisan yang telah dihubungkan (di Asia Kecil) dengan nama rasul Yohanes.

Apa yang dipegangi Irenaeus ini makin lama makin dimufakati gereja-gereja mayoritas sebagaii bagian terbesar di dalam kitab suci Kristen, bersama dengan tulisan-tulisan suci Yahudi yang Irenaeus pertahankan bagi umat Kristen dengan cara menfasirkan tulisan-tulisan suciYahudi secara typologis. Dasar untuk kitab suci yang sedemikian memang jauh lebih luas daripada pilihan Marcion. Unsur "rasul" dalam pilihan Irenaeus diperluas untuk mendekati "keduabelas rasul" sebagai ruang lingkupnya, karena di samping empat kitab Injil dan tigabelas surat Paulus, Irenaeus menerima dengan baik I Petrus, I dan II Yohanes, Wahyu (sebagai karangan rasul Yohanes), dan kitab Kisah, (menarik bahwa Irenaeus juga menerima Hermas!) Cukup berpengaruh kemudian hari bahwa Irenaeus tidak berusaha untuk menghasilkan satu kitab Injil, melalui cara harmonisasi, melainkan ia menerima empat kitab Injil yang sendiri-sendiri. Namun, Irenaeus mencerminkan adanya suatu keyakinan yang rupanya dianut luas pada waktu itu, yaitu keyakinan bahwa seharusnya ada hanya satu kitab Injil karena Injil Kristen sendiri memang satu, karena Irenaeus merasa perlu ia membenarkan adanya empat kitab Injil dengan menunjuk kepada kenyataan bahwa ada pula empat penjuru dunia! Luasnya (corak inklusif) pandangan Irenaeus mengenai kitab suci Kristen menjadi penting sekali selanjutnya. Sebetulnya, menurut pandangan ini, semua tulisan yang semula dipakai oleh jemaat-jemaat yang berdiri pada garis "pergantian rasuli", yaitu gereja-gereja mayoritas, sebaiknya diterima dalam kitab suci yang khas Kristen. Karena itu, tulisan-tulisan tertentu diterima, kendatipun diketahui bahwa penulisnya bukanlah seorang rasul (misalnya, kitab Markus dan kitab Lukas). Memang, kalau arti "rasul" dibatasi pada mereka yang pernah menjadi murid Yesus, maka Paulus sendiri tidak memenuhi syarat! Pada pihak lain, tulisan-tulisan tertentu tidak diterima juga diketahui bahwa tulisan-tulisan tersebut belum lama ditulis, kendatipun tulisan-tulisan tersebut sudah biasa dipakai dalam jemaat-jemaat tertentu. Dan hal pengilhaman (inspirasi) tidak diberi peranan sebagai tolok ukur karena adanya keyakinan bahwa semua orang Kristen diilhami Roh Kudus sejak baptisan mereka! Tulisan-tulisan yang diterima secara demikian dalam gereja-gereja mayoritas disebut "rasuli", dengan pengertian tulisan-tulisan ditulis oleh seorang rasul atau orang dekat pada rasul (dan Paulus tergolongkan selaku rasul). Tetapi, cap "rasuli" sebenarnya hanya merupakan pernyataan bahwa tulisan yang bersangkutan telah diterima oleh gereja-gereja mayoritas yang memandang dirinya selaku berdiri pada garis "pergantian rasuli". (Inilah sebabnya ada yang mengatakan bahwa kanon kitab suci Kristen berakar dalam "politik kegerejaan" pada waktu itu!)

Kanon Muratori

Mungkin daftar paling kuno yang menyebutkan tulisan-tulisan yang mulai disepakati sesuai dengan tolok ukur Irenaeus ialah daftar yang telah dinamai "kanon Muratori", karena naskah salinan dari abad 8 yang memuat daftar ini ditemukan oleh: L.S. Muratori, seorang juru perpustakaan di Italia pada abad 18. Dalam daftar ini ada empat kitab Injil dan kitab Kisah; tigabelas surat Paulus (tanpa Ibrani); Wahyu Yohanes dan Wahyu Petrus; Yudas; I dan II Yohanes; I Petrus; dan kebijaksanaan Salomo. Ada juga catatan mengenai tulisan-tulisan yang ditolak: surat-surat Paulus ke Laudicea dan Alexandria; tulisan-tulisan para penyesat seperti Valentinus, Marcion, dan lain-lain. Sebagian besar para pakar berkesimpulan bahwa daftar ini dibuat di sekitar tahun 200. Kalau tepat kesimpulan ini, berarti bahwa, pada waktu cukup awal dalam sejarah gereja-gereja mayoritas, semua tulisan utama sudah diterima ke dalam kanon kitab suci Kristen dan ada keterbukaan untuk menerima yang lain lagi, seperti "surat-surat Katolik" dan beberapa kitab Wahyu.

Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru

Pada waktu yang sama, kurang lebih tahun 200, Klemens Alexandrinus di wilayah gereja-gereja Timur dan Tertullianus di wilayah gereja-gereja Barat serentak mengembangkan pikiran bahwa tulisan-tulisan suci khas Kristen merupakan suatu "perjanjian baru", sedangkan tulisan-tulisan suci yang telah diwarisi dari Israel tepat dipegangi oleh masyarakat Kristen sebagai "perjanjian lama". Sejarah perkembangan perjanjian baru ini, sesudah tahun 200, ditandai dengan perdebatan mengenai beberapa kitab saja. Dari yang diperdebatkan tetapi akhirnya diterima dalam PB, kitab Injil Yohanes cukup lama dipersoalkan di gereja-gereja Barat karena perasaan bahwa isinya terlalu berwarna gnostik; sedangkan Wahyu Yohanes disangsikan di gereja-gereja Timur justru karena corak apokalyptik. Juga, banyak pemikir dan pemimpin kegerejaan tampak bingung mengenai kitab Ibrani; ada yang mau menolaknya karena ajaran di dalamnya bahwa tidak ada pengampunan untuk dosa yang dilakukan sesudah baptisan; ada, seperti Origenes, yang membela Ibrani, kendatipun Origenes mengaku bahwa "hanya Allah" yang tahu siapa yang menulis kitab itu; namun, akhirnya Ibrani diterima sebagai yang berasal dari Paulus, tetapi ditempatkan paling akhir di dalam kumpulan tulisan yang diasalkan kepada Paulus.

Tulisan-tulisan yang diperdebatkan tetapi akhirnya tidak diterima cukup banyak jumlahnya. Yang sering termuat di dalam daftar-daftar ialah macam Hermas, Barnabas, Didakhe, dan I dan II Klemens. Tetapi ada juga macam kisah Paulus, Wahyu Petrus dan Injil menurut orang-orang Ibrani. Bahkan, kebijaksanaan Salomo dan kebijaksanaan Bin Sirakh, dua tulisan dari kalangan Yahudi, kadang-kadang juga terdapat pada daftar-daftar Kristiani.

Namun demikian, gereja-gereja yang berbahasa Yunani dan Latin tampaknya, dalam abad keempat sesudah mencapai semacam mufakat mengenai dua puluh tujuh tulisan yang termuat di dalam surat edaran uskup Athanasius pada tahun 367 (yang sudah disinggung lebih dahulu dalam makalah ini). Gereja-gereja Siria, Mesir, dan Etiophia memang lama berbeda sedikit atau banyak, entah dengan jumlah 22 ataupun 35 tulisan! Tetapi, sekarang (akhir abad ke-20!), boleh dikatakan bahwa hampir setiap orang Kristen, di seluruh dunia, bagaimanapun hubungannya dengan lembaga kegerejaan, berpegang pada Perjanjian Baru yang terdiri dari 27 tulisan yang sama.

Kanon Perjanjian Baru Ditentukan Melalui Pemakaian

Meninjau sejarah perkembangan kanon Perjanjian Baru yang telah diringkaskan di atas, ada beberapa pikiran yang bermunculan. Penetapan kanon Perjanjian Baru merupakan suatu perkembangan yang berlangsung sehubungan dengan sejarah dunia ini dan teristimewa dengan sejarah persekutuan Kristen di dunia ini. Mula-mula, membuat tulisan saja (kecuali surat-surat) tidak terasa perlu karena keyakinan bahwa sejarah dunia ini akan segera berakhir. Dengan penantian eskhatologis itu berkurang menjelang akhir abad pertama, tulisan-tulisan Kristiani semakin banyak dihasilkan, antara lain karena semakin lebih banyak kelompok dan aliran Kristen dengan masing-masing pemahamannya mengenai iman serta moralitas Kristiani dan mengenai sistem organisasi dan pemerintahan yang sebaiknya untuk gereja-gereja. Sementara abad kedua, mayoritas orang Kristen semakin seragam mengenai pengakuan iman, cara hidup Kristiani, dan tata gereja yang mereka nilai benar atau baik untuk dipegangi dan dijalankan. Sekaligus semakin meningkat kepada mereka keyakinan bahwa tulisan-tulisan yang sesuai dengan iman, moral, dan tata arus/gereja tersebut dibedakan dan dipisahkan dari tulisan-tulisan yang menurut mereka, tidak sesuai. Tetapi, keputusan dalam hal ini tidak diambil dengan mengadakan sidang sinode ataupun menyerahkannya kepada kebijaksanaan pemimpin-pemimpin tertentu. Keputusan dalam hal ini terjadi melalui pemakaian dalam peribadahan, pengajaran, dan pewartaan, dari tulisan-tulisan yang terasa cocok oleh mayoritas Kristen itu, serta penolakan atau penghindaran tulisan-tulisan yang mereka rasakan sebagai tidak cocok. Bisa dikatakan, dengan kata lain, bahwa mayoritas Kristen lama-kelamaan mencapai mufakat dalam hal ini.

Kemudian hari, sampai masa kini, ada orang Kristen yang merasa alangkah lebih baik kalau, misalkan, Yudas dan II Petrus tidak diterima ke dalam kanon Perjanjian Baru, dan I Klemens dan surat-surat Ignatius diterima. Penilaian semacam ini tentu selalu bisa terjadi. Namun, kalau tulisan-tulisan utama yang diterima ke dalam Perjanjian Baru dibandingkan dengan puluhan-puluhan tulisan yang ada pada waktu itu dan tidak diterima, tampaknya kebanyakan orang (yang non-Kristen pun!) sependapat bahwa, dinilai dari berbagai pertimbangan, yang diterima mengungguli yang tidak diterima. Dan, melihat ini, tidak sedikit orang Kristen yang condong pada kesimpulan bahwa pemilihan yang terjadi pasti disebabkan bimbingan Roh Kudus!

Jadi, kanonisasi Perjanjian Baru termasuk fenomena sejarah; bisa dipahami mengapa terjadi dan bisa disyukuri bahwa hasilnya begitu baik, dibandingkan dengan alternatif-alternatif yang rupanya ada pada waktu itu, akan tetapi, dari sudut teologi Kristen, adanya kanon kitab suci menjadi masalah. Semua orang Kristen percaya bahwa Allah adalah Allah yang hidup, dan ini berarti, antara lain, bahwa Allah tetap menyatakan diri kepada manusia. Tetapi, kentara sekali kecenderungan pada orang Kristen untuk menilai sebagai hasil pewahyuan dari Allah - sebagai "firman Allah" - hanya tulisan-tulisan yang termuat di dalam kitab suci (PL dan PB). Memang, terhadap pertanyaan "tidakkah ada wahyu Allah sejak Perjanjian Baru?", orang Kristen menjawab ya", tetapi dalam pengertian entah (1) pendalaman atas "firman Allah" melalui penafsiran yang lebih tepat (pandangan Protestan) entah (2) bimbingan Roh Kudus kepada pimpinan gereja (pandangan Roma Katolik), ternyata masalah teologis yang dimunculkan oleh adanya kanon kitab suci belum terselesaikan.

Bagaimanapun juga, yang tak dapat disangkal ialah kenyataan bahwa Perjanjian Baru tidak mungkin digantikan dengan tulisan-tulisan lain. Pada tingkat empiris dan historis (dibandingkan dengan, katakanlah, tingkat rohani), hanya tulisan-tulisan Perjanjian Baru yang memungkinkan orang kemudian hari dapat berjalan surut (mundur) dalam sejarah sehingga menghampiri Yesus dan sejumlah orang Kristen pertama sebagaimana mereka ada secara nyata pada tempat dan waktu tertentu di dunia ini. Sampai sekarang, tidak ada kitab Injil yang menyediakan jumlah informasi tentang pewartaan dan perbuatan Yesus seperti yang disediakan sastra umum dari zaman Yesus atau tidak lama kemudian sedikit sekali jumlahnya serta remeh sifatnya. Demikian juga halnya mengenai rasul Paulus. Apalagi, apa yang tertera di dalam Perjanjian Baru mewakili pengalaman serta perenungan dari cukup banyak orang Kristen, pada angkatan-angkatan awal, yang maknanya tidak diketahui. Makanya, tepat dikatakan bahwa tiada sastra yang setara dengan Perjanjian Baru dan manusia umumnya, tidak hanya kaum Kristen, berterimakasih bahwa tulisan-tulisannya ditetapkan sebagai kanon Kristen, sehingga terpelihara sampai sekarang.



PUSTAKA ACUAN

1. Brown, /Raymond E. dan Collins, Raymond F. 1990. "Canonicity", di dalam The

New Jerome Biblical Commentary. Englewood cliffs. New Jersey: Prentice Hall,

hal. 1034-1054.

2. Koester, Helmut. History and Literature of Early Christianity. Volume Two. Introduction to the New Testament. (Philadelphia: Fortress Press, 1982), hal. 5-13.

3. Perrin, Norman dan Duling, Dennis C., The New Testament An Introduction. (New York: Harcourt Brace Jovanovich. Inc., 1982), hal. 435-446.

4. Sanders, J.N., "The Literature and Canon of the New Testament", di dalam Peake's Commentary of the Bible. (Sunbury-on-Thames, Middlesex: Thomas Nelson and Sons Ltd., 1976), hal. 676-682.

5. Sunberg, A.C., Jr., "Canon of the NT", di dalam The Interpreter's Dictionary of the Bible, Supplementary Volume. (Nashbille:Abingdon, 1976), hal. 136-140.


sumber:  http://www.alkitab.or.id/index.php?option=com_content&task=view&id=149&Itemid=131