ZAMAN "ANTAR-TESTAMEN"
P. Dr. C. Groenen, OFM.
1. Zaman Antar-Testamen, Artinya Apa?
Judul karangan tersebut sudah menjadi problema. Apa yang dimaksudkan dengan istilah "antar-testamen?" Di belakangnya kiranya tersembunyi ungkapan "Vetus Testamentum" (Perjanjian Lama) dan "Novum Testamentum" (Perjanjian Baru). Yaitu kedua bagian yang sekarang membentuk Kitab Suci umat Kristen. Alkitab Yahudi yang diambil alih, bahkan boleh dikatakan "dirampas" oleh umat Kristen dijadkan "Perjanjian Lama" Paulus (2Kor. 3:14) sudah mulai mengkualifikasikannya demikian dan dengan itu dinyatakan "ketinggalan zaman". Maka semakin mengherankan bahwa Alkitab Yahudi itu terus dipertahankan oleh umat Kristen sebagai Kitab Suci.
Hanya dengan menciptakan Kitab Sucinya sendiri - yang dikualifikasikan sebagai "Perjanjian Baru" - kekristenan memberi dirinya "kunci penafsiran", yang mesti membantu umat membaca dan memahami Alkitab Yahudi itu dengan cara baru, sesuai dengan ideologi umat Kristen sendiri Paulus (2Kor. 3:14) yakin bahwa orang Yahudi tidak mampu memahami Kitab Sucinya sendiri. Dan itulah keyakinan umat Kristen. Keyakinan itu umat Yahudi. Kecuali bila dua-duanya membaca kitab itu bukan sebagai Kitab Suci yang berwibawa dan normatif melainkan sebagai karya sastra belaka, produk sejarah bangsa Yahudi.
Masalahnya diperuncing oleh karena kekristenan sendiri belum juga sependapat dalam hal: Apa itu Perjanjian Lama? Kekristenan barat versi Roma Katolik, pada abad XVI (Konsil Trente tahun 1546) menentukan daftar kitab Perjanjian Lama, tetapi belum juga berkata bahwa hanya kitab-kitab itu termasuk ke dalam Kitab Sucinya. Pada prinsipnya masih dapat ditambah. Konsili ini hanya mengambil tolok ukur praktis saja: Apa yang oleh kekristenan barat sudah lama pada umumnya dibaca sebagai Kitab Suci dan yang tersedia dalam terjemahan Latin yang disebut "Vulgata", itulah Kitab Suci. Sebaliknya, kekristenan barat yang berpangkal pada reformasi Luther dan Kalvin menentukan daftar yang lain dianggap Alkitab (Yahudi). Tolok ukur sebenarnya yang dipakai Reformasi (disamping suatu kriterium teologis) sama dengan yang dipakai sementara pujangga gereja dahulu, khususnya Hieronymus yang bersumpah demi "Hebraica Veritas" dan tidak bersedia menerima sesuatu yang tidak ada dalam Alkitab Yahudi di zamannya. Kitab-kitab dan karangan-karangan lainnya (diistilahkan sebagai "apocrypha" atau "deuterocanionica") paling-paling dinilai oleh Reformasi sebagai berguna dan boleh dibaca sebagai bacaan rohani. Tetapi kekristenan timur sampai dengan hari ini belum juga secara tuntas menentukan karangan-karangan mana persis termasuk ke dalam "Perjanjian Lama" itu. Teks Yunani kuno yang diistilahkan "Septuaginta" diterima sebagai Kitab Suci. Hanya batas-batasnya tidak jelas.
Maka oleh karena tidak jelas apa itu "Perjanjian Lama", tidak jelas apa pula itu "zaman antar-testamen".
II. Hasil Proses Penyaringan
A. Prinsip Alkitabiah
Waktu sekitar tahun 30-40-an Masehi umat Kristen mulai muncul, bagi masyarakat Yahudi belum juga jelas karangan-karangan religio-nasional mana yang mempunyai wewenang normatif bagi umat. Yang sudah dinilai demikian dilegitimimasikan melalui suatu "theologoumenon", yaitu apa yang kemudian hari diistilahkan sebagai "insprasi". Namun demikian Gereja purba mengambil alih dan menyetujui prinsip bahwa memang ada kitab-kitab semacam itu (bdk. 2Tim. 3:16-17; 2Ptr. 1:19-21), yang merupakan "Firman Allah".
Memang sudah berabad-abad berlangsung suatu proses di antara umat Israel/Yahudi yang menghasilkan tulisan-tulisan sakral, suci, yang bagi golongan tertentu dinilai sebagai normatip. Terkenallah cerita yang tercantum dalam 2Raj. 22:8 dst. tentang sebuah gulungan kitab (Taurat) yang ditemukan di Bait Allah. Jelas ada Kitab Suci yang menjadi normatip. Hanya itu belum berarti bahwa kitab itu diterima secara umum untuk selama-lamanya. Kecuali itu kitab itu sebelum ditemukan sudah ada, tetapi tidak dianggap mengikat. Ada pun proses penyaringan yang menentukan mana karya-karya tulis yang harus diterima sebagai tolok ukur bagi iman, teori dan praxis religius masih berjalan waktu umat Kristen tampil di panggung sejarah. Proses ini dicetus dan dipercepat keberadaan dan indentitas Yahudi sendiri. Langkah-langkah paling penting boleh digariskan sedikit.
B. Di masa pembuangan dan zaman Persia
Di masa pembuangan (th. 587-539 s.M) dan abad-abad berikutnya (th. 538-333) bangsa Yahudi (Israel) mengalami krisis nasional-religius yang parah sekali. Kedaulatan sebagai bangsa (yang sudah lama agak formal saja) hilang. Dan bencana nasional itu tidak dapat tidak menyangkut kepercayaan agama. Sebab masyarakat, negara dan agama secara wajar melebur menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan. Pemula yang menyusul tidak hanya sangat mengecewakan mereka yang kembali ke tanah nenek moyang (relatif jumlahnya kecil), tetapi juga tidak utuh. Sisa bangsa Israel tetap tercakup oleh negara Persia sebagai salah satu propinsi kecil yang tidak penting di pinggir wilayah negara raksasa.
Di masa pembuangan dan sesudahnya terbentuklah sesuatu yang boleh dikatakan "Kitab Suci" yang umum diterima oleh sisa Israel lama. Terkumpullah, digubah, disadur dan digarap tradisi tertulis dan tidak tertulis, yang sudah berwibawa religius dan yang belum berwibawa.Tradisi itu sendiri dan dari masa sesudahnya. Dari semua bahan yang tersedia secara fragmentaris disusunlah apa yang dapat berperan sebagai pegangan dan pedoman bagi iman serta perilaku dan yang dapat mendukung pengharapan akan masa depan yang lebih baik.
Proses penyaringan dan penggubahan selama abad V-VI itu menghasilkan suatu Kitab Suci yang mencakup "Thorah" (Kitab Musa) dan kitab para nabi, baik nabi yang terdahulu (hannebi'im horosyim), artinya: kitab Yosua, Hakim-hakim, Samuel, Raja, maupun nabi-nabi yang kemudian (hannebi'im ha'akhirim) artinya: Yesaya, Yehezkiel, Yeremia dan sebagian nabi-nabi lainnya. Tinggal sejumlah karangan yang kedudukannya tidak jelas. Tetapi karangan-karangan yang sudah terkumpul dan dinilai berwibawa itu belum juga benda "kramat", yang tidak tersentuh lagi. Kumpulan itu pun tetap "terbuka", masih saja boleh digarap lebih lanjut, disadur dan ditambahi seperlunya.
Tetapi di zaman Persia (th. 539-333) tercipta pula karya baru yang sejak awal dimaksud sebagai "normatip" bagi umat. Memang di masa itu orang-orang Yahudi di Palestina menikmati otonomi yang relatif tetapi cukup luas. Mereka dapat mengurus segala apa yang menyangkut paguyuban itu di bawah paying kedaulatan negara Persia. Aspirasi nasional hampir padam dan tidak bangkit selama 100 tahun lebih. Sementara itu kebanyakan orang Yahudi tetap tinggal di luar Palestina, khususnya di daerah Mesopotamia dan di negeri Mesir. Mereka mengasimilasikan dirinya dengan lingkungannya. Kelompok kecil di Yehuda membentuk dirinya menjadi suatu paguyuban tertutup, sebuah "Ghetto" sukarela, suatu teokrasi di bawah bimbingan para rohaniawan (kaum Lewi dan imam-imam) yang turut kembali ke Palestina. Cita-cita komunitas religius yang berpusatkan ibadah di dalam Bait Allah yang baru (sederhana) terungkap dalam karya literer masa itu, yaitu kitab Tawarikh. Karya itu meninjau kembali seluruh sejarah sebelumnya, tetapi dipandang dari titik pandang kaum rohaniawan tersebut. Cita-cita itu dipertentangkan dengan kekacauan sosio-religius yang melatarbelakangi kitab Ezra/Nehemia, kitab Nabi Hagai, (sebagian) kitab Nabi Zakharia dan Maleakhi.
Demi ibadat dalam Bait Allah tersebut terkumpul dan terciptalah "lagu-lagu suci", dalam pelbagai koleksi yang dinilai "suci" oleh karena berkaitan dengan ibadat suci. Dari situ berkembanglah kitab Mazmur.
C. Di zaman Yunani
Tetapi Alkitab seperti terbentuk di masa Persia tidak menandai ketika pada abad IV-III umat Yahudi di Palestina dan di perantauan mengalami suatu "culture shock". Benturan ini tercetus oleh ulah raja Yunani (Makedonia), Aleksander Agung (th. 323-323), dan pengganti-penggatinya. Dengan Aleksander mulailah proses helenisme atau yang lambat laun mencakup seluruh kawasan di sekeliling Laut Tengah. Setelah Aleksander meninggal, daerah Palestina secara politis dan militer menjadi terjepit antara negara Mesir. Yang diperintah warga Ptolomai (mencakup Palestina pada th. 323-200 s.M.) dan negara Siria-Babel (mencakup Palestina pada th. 200-142 s.M.).
Baik di Mesir maupun di Siria kebudayaan keyunanian di atas angin. Khususnya kebudayaan yang unggul itu menjadi ancaman paling hebat bagi indentitas religio-kebangsaan Yunani, baik di Palestina maupun di perantauan. Tidak sedkit orang Yahudi, khususnya dari kalangan atas, termasuk rohaniawan di Yerusalem, terhanyut. Paksaan dari luar tidak perlu dan nyatanya juga tidak terjadi sebelum tahun 167 s.M. waktu raja Siria/Babel, yaitu Antiokhos Epifanes mulai memaksakan kebudayaan Yunani (yang bersifat religius) kepada umat Yahudi di Palestina, di perbatasan dengan Mesir, saingan negara Siria. Kebudayaan itu dinilai sebagai sarana pemersatu antara lain terhadap kuasa Roma yang mulai tampil di ufuk.
Akhirnya umat Yahudi terbangun dari tidurnya dan bangkit untuk membela identitas. Pembelaan itu mengambil pendirian yang berbeda-beda dan menggunakan sarana yang berlainan, baik sarana politis militer maupun sarana kultural. Gejolak kultural itu sangat produktif di bidang literer.
Terpimpin oleh keluarga para "Makabe" orang-orang Yahudi di Palestina berhasil merebut kembali kemerdekaan religius dan politiknya (th. 175-138 s.M.). Tersedialah dua "laporan" tentang pemberontakan atau perang kemerdekaan itu, yaitu kitab 1 Makabe dan 2 Makabe. Namun di situ malah terasa betapa besar dampak dan daya tarik kebudayaan Yunani, sebab satu dari kedua karya itu, yaitu 2 Makabe, langsung ditulis dalam bahasa Yunani dengan meniru gaya sastra Yunani. Karya itu suatu ringkasan dari karya jauh lebih besar dalam bahasa Yunani mengenai seorang Yahudi yang mengyunanikan nama Ibraninya menjadi nama "Yason". Dan pengganti keluarga Makabe (wangsa Hasmonai, th. 135-63 s.M.) tidak tahan terhadap tekanan dari pihak kebudayaan Yunani, sehingga proses pengyunanian berjalan terus pada orang-orang Yahudi. Proses itu pun tidak dihentikan ketika pada th. 63 s.M. tentara Roma menduduki kota suci Yerusalem.
Sarana yang lebih berdaya-guna untuk mempertahankan identitas Yahudi daripada catur politik dan senjata militer ialah sarana kultural, tegasnya karya tulis. Tetapi sisa dari produksi literer zaman Yunani ini memperlihatkan betapa konfrontasi dengan kebudayaan Yunani membingungkan umat Yahudi. Kitab Suci sejauh terbentuk di zaman Persia tidak banyak menolong untuk menampung dan mencernakan pengalaman yang serba baru itu. Konfrontasi dengan kebudayaan Yunani memecah-belahkan umat Yahudi, sehingga dari masyarakat yang homogen menjadi sangat heterogen. Salah satu dari sebab musababnya justru perbedaan dalam sikap yang diambil terhadap kebudayaan Yunani. Apakah cukup untuk tetap setia saja pada tradisi seperti termaktub dalam Kitab Suci? Mestikah dan bolehkan orang menyesuaikan diri dan tetap mempertahankan identitas Yahudinya? Masih adakah masa depan bagi bangsa Yahudi atau sudah habiskah riwayatnya sehingga orang hanya bisa menunggu akhir segala sesuatunya?
Mereka yang yakin bahwa Alkitab menjadi sarana yang ampuh untuk membendung dampak kebudayaan Yunani dan bahkan bersaingan dengannya, berangsur-angsur menerjemahkan Kitab Suci ke dalam bahasa Yunani. Tetapi, agak berlawanan dengan maksudnya, penerjemahan itu paling memperlihatkan pengaruh kebudayaan itu di kalangan Yahudi, bahkan di Palestina sendiri. Hanya, tidak diketahui dengan tepat apa yang diterjemahkan. Cucu Yesus bin Sirakh (Prakata Sir.) berkata bahwa pada tahun 132 s.M. di Mesir sudah beredar Kitab Taurat dalam bahasa Yunani, juga kitab para nabi dan "kitab-kitab yang kemudian dari itu". Cakupan kitab Taurat dan kitab para nabi (baik yang terdahulu maupun yang kemudian) cukup jelas (bdk. Sir. 40-49). Tetapi apa yang dimaksud dengan "kitab-kitab yang kemudian dari itu?" Hanya dapat dipastikan bahwa ada sebuah koleksi Mazmur yang sudah diterjemahkan. Tetapi tidak dapat ditentukan apakah "kitab-kitab lain" itu sama dengan karangan-karangan yang kemudian tercakup dalam istilah Ibrani "hakketubim" (tulisan-tulisan) (Amsal, Ayub, Rut, Kidung, Ratapan, Pengkhotbah, Ester, Daniel, Tawarik, Ezra/Nehemia).
Tetapi ada yang kelompok orang Yahudi yang yakin bahwa Alkitab sebagaimana adanya, tidak memadai lagi. Ada yang menciptakan karya-karya baru, baik di Palestina maupun di perantauan. Karya-karya itu jelas dimaksudkan sebagai semacam pegangan dan pedoman dan karena itu diletakkan di mulut tokoh terkenal di masa lampau. Ada yang mencoba mendamaikan tradisi religius Yahudi dengan kebudayaan dan alam pikiran Yunani. Contoh yang jitu ialah karya (langsung ditulis dalam bahasa Yunani) yang beredar dengan judul "Kebijaksanaan Salomo". Karya itu sendiri memang menyarankan seakan-akan ciptaan itu dikarang oleh raja tersohor itu. Karya itu antara lain bermaksud memperlihatkan bahwa hikmat Yahudi unggul dari filsafat Yunani. Tendensi yang sama ditemukan dalam apa yang disebut (Surat) Aristeas kepada Philokrates dan dalam kitab II dan IV Makabe. Beredar pula sejumlah cerita tentang seorang Yahudi di istana raja-raja asing. Namanya Daniel, nama seorang tokoh di masa azali. Sebagian cerita-cerita itu akhirnya tercantum dalam Kitab Danel, khususnya menurut versi Yunani. Cerita-cerita itu memperlihatkan betapa hikmat Yahudi melebihi semua ilmu kafir (Yunani). Yesus bin Sirakh di Yerusalem menghidupkan kembali tradisi hikmat kebijaksanaan. Ia cukup terbuka bag kebudayaan Yunani, namum bermaksud meyakinkan kaum muda bahwa hikmat Israel tidak usah mengalah terhadap filsafat Yunani.
Bila karya-karya tersebut yang tidak secara total menolak pengaruh Yunani boleh dikatakan merupakan semacam apologia, maka ada karya-karya lain yang lebih polemik pedas yang seluruhnya negatip. Tersedia selembaran kritik pedas yang beredar dengan judul "Surat Nabi Yeremia". Tendensi polemis itu pun menonjol dalam karya besar dengan judul "Kitab Yabile-yubile" (Yobel). Manurut fiksinya kitab itu di dikte di Gunung Sinai, sehingga jelas mengklaim kewibawaan mutlak. Dengan pedas kitab itu mengecam orang-orang Yahudi yang menerima adat kebiasaan dan kebudayaan Yunani. Tidak mengherankan kitab itu sangat digemari oleh jemaat yang menetap di Qumran dan yang juga secara total menolak segala macam "pembaharuan" (meskipun nyatanya terpengaruh antara lain oleh tradisi religius Persia). Kitab Ester dan kitab Yudit juga mengilustrasikan resistensi mutlak terhadap pengaruh "asing", artinya Yunani. Kedua kitab Makabe yang disebut di atas memperlihatkan tendensi yang sama, meskipun khususnya dalam 2 Makabe pengaruh Yunani kentara sekali. Kitab-kitab itu yang antara lain bermaksud melegitimasikan kedudukan wangsa Hasmonai (raja dan imam, meskipun bukan keturunan Harun).
Tetapi ada juga orang dan golongan yang lebih mencari semacam modus vivendi dengan menerima saja keadaan nyata. Kitab Tobit misalnya seolah-olah menyajikan semacam model bagaimana orang Yahudi tetap bisa hidup secara Yahudi di lingkungan kafir tanpa kritik atau polemik. Khususnya aliran yang disebut "Farisi" menyalurkan tendensi itu. Mereka menyadari bahwa Alkitab sebagaimana adanya tidak memadai. Maka guna melegitimasikan penyesuaian dengan situasi nyata mereka mendasarkan diri pada "tradisi lisan" yang dikatakan bersalah dari Musa, sehingga kewibawaannya tidak kalah dengan kewibawaan Alkitab. Paling-paling golongan Farisi itu mengharapkan untuk masa depan suatu perubahan radikal. Mazmur-mazmur Salomo memberi kesaksian tentang harapan mereka akan seorang Mesias politik yang akan membebaskan Israel dan menguasai segala bangsa kafir.
Tetapi sebagian bangsa Yahudi kalah terhadap "terror" sejarah. Biasanya tendensi itu disebut "apokaliptik", yang ada pelbagai variannya. Golongan itu tidak percaya lagi bahwa dunia dan sejarah sebagaimana adanya pernah dapat berhasil baik. Hanya campur tangan Allah dapat dan akan menyelamatkan mereka yang setia padaNya. Ia pun akan membinasakan semua mereka yang memusuhi umat yang suci. Tendensi kaliptis itu misalnya ditemukan dalam sebagian Kitab Henok (Acthiopia, 1Hen.) (bdk. Yud. 14), pengangkatan Musa (bdk. Yud. 9) dan kitab Daniel. Ternyata bahwa karangan apokaliptis di zaman itu amat laku dan terus digarap, tidak hanya oleh orang Yahudi tetapi juga oleh orang-orang Kristen. Karangan itu semua mengklaim suatu wibawa ilahi oleh karena diwahyukan oleh Allah/Malaikat Allah kepada tokoh besar di masa yang lampau.
III. Umat Kristen Yang Mula-mula dan Kitab Suci Yahudi
A. Penyaringan belum rampung
Umat Kristen purba muncul dalam masyarakat Yahudi di Palestina yang tetap bingung dan tertekan oleh kebudayaan Yunani, yang didukung oleh kuasa politik dan militer Roma, dibantu antek-anteknya di kalangan Yahudi sendiri, golongan atas, baik awam maupun rohaniawan. Masyarakat Yahudi itu terpecah-pecah menjadi pelbagai aliran dan golongan serta kelompok yang berlawanan satu sama lain. Dan tidak ada pedoman jelas.
Situasi perkitabsucian Yahudi jauh lebih jelas. Memang sebagian Alkitab sudah umum diterima sebagai normatip. Hanya kaum Saduki (aristokrasi para imam) hanya mau menerima kitab Taurat sebagai berwibawa, sedangkan kaum Farisi disamping Alkitab menerima juga tradisi lisan sebagai berwibawa. Lukas 22:24 berkata tentang "Hukum Taurat (kitab Musa), (kitab) para nabi dan (kitab) Mazmur", sedangkan Lukas 24:27 berkata tentang "(kitab) Musa, segala nabi dan segala tulisan suci", entah tulisan-tulisan mana (kecuali kitab Mazmur). Tetapi tetap ada ketidakpastian besar sekitar "tulisan-tulisan suci" itu. Dan belum pasti juga bahwa apa yang diterima di Palestina diterima sebagai Kitab Suci sama dengan yang diterima oleh jemaat-jemaat Yahudi di perantauan. Di luar Palestina Kitab Suci beredar dalam bentuk terjemahan-terjemahan Yunani. Bila terjemahan-terjemahan itu (sejauh masih dapat diketahui) dibandingkan dengan teks Ibrani (seperti dikemudian hari ditetapkan), maka ternyata bahwa beberapa dari kitab yang umum diterima sebagai Kitab Suci oleh umat Yahudi baik di Palestina maupun di perantauan, tersedia dalam versi-versi yang berbeda. Misalnya kitab Nabi Yeremia, kitab Ayub, kitab Ezra, kitab Daniel dll.
Umat Kristen perdana bersama dengan Alkitab juga mengambil alih ketidakpastian tersebut. Kecuali itu kekristenan segera berkembang di luar Palestina, di antara orang-orang Yahudi di perantauan dan di antara orang bukan Yahudi. Di sana - seperti terbukti oleh karangan-karangan yang tercantum dalam Perjanjian Baru, khususnya surat-surat Paulus yang pasti ditulis sebelum th. 70 M. - umat Kristen justru memakai terjemahan-terjemahan ke dalam bahasa Yunani, yang tersedia dalam beberapa versi juga.
B. Pembentukan Alkitab Yahudi secara definitif
Krisis gawat yang melanda umat Yahudi selama abad pertama Masehi mencetuskan pembentukan Alkitab Yahudi secara definitif. Ketegangan dan tekanan yang sudah lama berlangsung dalam masyarakat Yahudi, seperti yang digariskan sebelumnya, akhirnya meledak menjadi pemberontakan terbuka terhadap kuasa Roma dan kebudayaan Yunani, yang sejak th. 63 s.M. mendominasi Palestina. Pada th. 70 M. kota suci, jantung bangsa Yahudi, direbut tentara Roma dan Bait Allah terbakar. Hilanglah sisa otonomi sosio-politis dan itu diperteguh kembali pada th. 135 M. akibat pemberontakan baru dan terakhir.
Maka sesudah bencana itu para pimpinan religius Yahudi terpaksa mencari suatu pegangan kuat dan mantap untuk mempertahankan identitas Yahudi dalam situasi yang serba baru itu. Sampai masa itu faktor pemersatu bangsa dan agama Yahudi adalah kota Yerusalem serta Bait Allah dan ibadat yang diselenggarakan di sana. Para rohaniawan dan imam secara formal tetap pimpinan tertinggi bagi bangsa Yahudi, oleh karena menguasai Bait Allah dan berwenang atas ibadatnya. Memang benar juga bahwa kedudukan dan peranan Bait Allah dan para imam sudah lama menciut, khususnya di kalangan orang Yahudi di perantauan, yang sebenarnya menjadi mayoritas orang-orang Yahudi. Sejak pembuangan di Babel terbentuklah suatu lembaga sampingan, yaitu sinagoga, sebagai pusat jemaat-jemaat Yahudi di perantauan bahkan di Palestina dan Yerusalem sendiri. Di sana Alkitab, sejauh sudah tersedia dan sedang dibentuk, dalam rangka ibadat memegang peranan utama. Dan kepemimpinan sinagoga itu bukanlah para imam atau kaum Lewi qua talis, melainkan para ahli Kitab dan ahli Taurat yang banyak dari kalangan kaum awam.
Justru lembaga sinagoga serta pemimpinnya itulah yang berhasil menyelamatkan identitas atnis-religius bangsa Yahudi untuk masa depan. Para imam praktis hilang dari panggung dan kaum awam, para ahli Kitab, mengambil alih peranan mereka.
Dalam keadaan seperti itu sangat penting bahwa Kitab Suci menjadi jelas dan pasti sebagai pegangan dan pedoman dasar. Maka para rabi dengan melanjutkan apa yang sudah lama berlangsung, menyaring kitab-kitab dan karangan yang beredar, dan mempertahankan apa yang dinlai berbobot dan dapat menjamin identitas etnis-religius Yahudi. Penyaringan itu terutama menyangkut kitab dan karangan yang tidak termasuk kitab Taurat, kitab para Nabi dan kitab Mazmur (Ayb, Ams, Pengk, Kid, Taw, Ezra/Neh, Rat, Dan, Est). Oleh karena ada Alkitab yang beredar dalam versi-versi yang berbeda (Yer, Ayb, Dan, Est, Ezra), maka para rabi yang menentukan juga versi mana selanjutnya menjadi normatif. Kecuali itu para rabi selama abad 1 M. Menentukan dan membekukan teks Ibrani yang mesti dinilai otentik.
Jadi menjelang akhir abad 1 M. umat Yahudi mempunyai Alkitab definitif, mantap dan keramat, tidak tersentuh lagi. Daftar (kanon) ditutup dan teksnya tidak dapat digarap lagi. Sukar dipastikan kapan persis terjadi. Apa yang kadang kala dalam tradisi dikatakan mengenai suatu "sinode", sidang para rabi pada th. 90 M. di Yamnia, sangat diragukan dasar historisnya.
Tidak amat jelas tolok ukur mana yang dipakai para pemimpin Yahudi dalam menentukan dan menyusun Alkitab definitif itu. Apa yang sudah lama diterima sebagai normatif (Torah, nabi-nabi, Mazmur) tidak menjadi problema dan sebenarnya sudah membeku. Persoalannya terletak pada karangan-karangan yang dikumpulkan dalam bagian ketiga kanon (Hekketubim). Kalau kadang kala dikatakan bahwa bahasa Ibrani menjadi salah satu tolok ukur, maka halnya tidak terlalu meyakinkan. Yesus bin Sirakh menulis karyanya dalam bahasa Ibrani (meskipun tidak lagi dipahami rakyat), namun karyanya tidak berhasil masuk ke dalam Alkitab Yahudi. Kaitan (fiktip) dengan tokoh-tokoh besar di masa lampau (seperti Pkh, Kid, Ams), juga tidak meyakinkan. Kitab Ayub tidak dihubungkan dengan tokokh tradisional, namun masuk ke dalam Kitab Suci. Ciri religius dan pemakaian dalam ibadat pun tidak menjelaskan duduk perkaranya. Bagaimana suatu kitab "profan" seperti Ester yang dipakai dalam pesta yang amat sekuler dapat dinilai sebagai suatu Kitab Suci? Pendeknya, orang hanya dapat melontarkan hipotesa melulu dan setiap hipotesa akhirnya menempuh jalan buntu. Kita harus mengakui saja: tidak tahu.
Alkitab Yahudi seperti yang ditentukan para pemimpin di Palestina lambat laun diterima oleh seluruh umat Yahudi, baik di Palestina maupun di perantauan. Terjemahan-terjemahan ke dalam bahasa Yunani (katakan saja sebagai cap umum yang tidak menutupi suatu kesatuan homogen Septuaginta) kehilangan kedudukannya sebagai Kitab Suci orang Yahudi yang berbangsa Yunani.
C. Umat Kristen membentuk Perjanjian Lamanya sendiri
Penyaringan dan penyusunan Alkitab oleh para pemimpin Yahudi di Palestina tidak lagi mempengaruhi umat Kristen. Sebab Kekristenan selama abad I M. khususnya sesudah th. 70 dan 135, berkembang di luar Palestina dan semakin memisahkan diri dari pangkalannya, umat Yahudi. Pengaruh jemaat-jemaat keturunan Yahudi cepat menciut, lalu merosot sama sekali. Dan, menurut kesaksian Perjanjian Baru, umat Kristen banyak berpolemik justru dengan pimpinan baru umat Yahudi, ahli kitab dan ahli Taurat, bukan dengan pimpinan lama, para imam. Maka jelaslah umat Kristen yang berbahasa Yunani bersedia menerima apa yang ditentukan oleh para pemimpin baru yang pada umumnya menganut aliran Farisi yang sesudah th. 70 M. di atas angin.
Maka kekristenan Yunani menghadapi masalah yang sama dengan yang dihadapi orang-orang Yahudi. Dari sekian banyak kitab dan karangan yang beredar dalam Bahasa Yunani (entah berupa terjemahan entah tidak) dan yang menuntut suatu kewibawaan religius bahkan Ilahi, yang manakah mesti diterima sebagai normatif bagi umat Kristen yang sejak awal mengambil alih prinsip Alkitabiah dan Kitab-kitab Suci Yahudi yang belum juga dipastikan? Rasa-rasanya Yesus tidak mewariskan suatu pendirian tegas dalam soal perkitabsucian. Tentu saja menurut kisah Injil Yesus tegas menolak pendirian kaum Farisi yang membanggakan tradisi lisan sebagai berwibawa (Mrk. 7:1 dst.) dan juga mengecam pendirian minimalis kaum Saduki (Mrk. 12:18 dst.). Tetapi cerita-cerita itu kiranya lebih berlatar belakan polemik orang Kristen dengan orang Yahudi daripada mencerminkan pendirian Yesus (bandingkan Mat. 23:2-3).
Oleh karena itu umat Kristen sendiri mesti menyaring dari sekian banyak karangan yang beredar sejumlah yang dinilai normative bagi umat Kristen (yang belum juga mempunyai suatu Kitab Suci sendiri). Semua dikumpulkan dan digabungkan dalam apa yang dicap sebagai "Septuaginta". Naskah-naskah tertua Kitab Suci Yunani itu memang memuat "kanon Kitab Suci Kristen", bukan Alkitab Yahudi di perantauan (Aleksandria). Hanya proses penyaringan tersebut tidak pernah secara tuntas diselesaikan dan selalu, sampai dengan hari ini, ada perbedaan pendapat (kekristenan Timur yang tetap memakai Septuaginta sebagai Kitab Suci yang diinspirasikan).
Nyatanya cukup banyak karangan yang ditolak oleh para pemimpin Yahudi sebagai Kitab Suci, diterima umat Kristen sebagai normatif. Dan sehubungan dengan beberapa kitab/karangan yang diterima oleh keduanya, umat Kristen memilih versi yang lain (misalnya: Dan, Est, Yer), yang tersedia dalam terjemahan Yunani yang berbeda dengan teks Ibrani yang ditentukan para ahli Yahudi.
Cukup menarik bahwa umat Kristen memilih sejumlah besar karangan yang menyalurkan "hikmat-kebijaksanaan". Aliran hikmat itu hanya mendapat proporsi kecil dalam Alkitab Yahudi yang definitif (Ayub, Amsal, Pengkhotbah, Kidung). Disebutkan saja: karya besar hikmat kebijaksanaan Yesus bin Sirakh, Hikmat-kebijaksanaan Salomo; kitab Barukh (sebagian), kitab Tobit, cerita-cerita sekitar si bijak Daniel, kitab Ester yang lebih tebal daripada dalam Alkitab Yahudi . Kebanyakan kitab yang tercantum dalam Alkitab Yahudi berasal dari kalangan para rohaniwan yang menyerap juga aliran kenabian (Thorah, para nabi, Taw, Ezr/Neh), pada hal hikmat kebijaksanaan berasal dari dan disalurkan oleh kaum awam yang di masa belakangan menjadi ahli Kitab juga. Produksi kaum awam itu biasanya tidak merepotkan diri dengan lembaga-lembaga religius atau dengan cita-cita muluk kolektivitas umat, melainkan dengan masalah "duniawi" dan soal-soal perilaku hidup sehari-hari, dengan problema fundamental manusia sebagai manusia. Pokoknya karya-karya hikmat-kebijaksanaan itu menggumuli masalah-masalah aktual, konkret yang tercetus oleh pengalaman dengan dunia dan manusia sebagaimana adanya. Problema-problema yang menyangkut manusia dan pribadi-pribadi semacam itu menjadi penting setelah bangsa Yahudi kehilangan keberadaan nasionalnya, eksistensi sosio-religiusnya. Dan umat Kristen awal memang belum mempunyai keberadaan semacam itu, sehingga hikmat-kebijaksanaan tradisional bagi mereka pun relevan oleh karena praktis, eksistensial dan personal. Banyak dari hikmat kebijaksanaan tradisional diwariskan kepada umat Kristen melalui karangan-karangan khusus yang terkumpul dalam Kitab Suci Yunani, ciptaan umat Kristen sendiri.
IV. Lanjutan Alkitab Yahudi Dan Perjanjian Lama Kristen
Alkitab seperti ditetapkan oleh para pemimpin Yahudi selama abad I-II M. dan Kitab Suci Yunani yang beredar pada kekristenan nyatanya tidak dapat menampung pengalaman barau perkembangan historis selanjutnya. Dan Kitab Suci Yahudi-Yunani yang diambil alih oleh umat Kristen kurang mampu menampung pengalaman khusus Kristen, meskipun mula-mula melalui tafsiran khusus dipakai sebagai kunci penafsiran fenomen Kristen.
Alkitab Yahudi menjadi kitab keramat, tidak tersentuh lagi. Maka situasi dan pengalaman baru oleh pimpinan Yahudi digarap melalui apa yang di kemudian hari dibukukan dalam Misyna dan Talmud (versi timur, Babel/Mesopotamia dan versi barat, Yerusalem) (Halaka, perilaku) dan pelbagai Midrasyim (Haggada, terlebih ideologis). Meskipun usaha-usaha itu berlagak tafsiran Alkitab, namun nyatanya jauh juga melampaui batas Alkitab. Misyna dan Talmud akhirnya umum diterima sebagai pedoman dan pegangan dan berhasil menyingkirkan misalnya cara jemaat-jemaat Yahudi di Mesir menggarap situasi baru dan kebutuhan nyata. Suaranya masih terdengar dalam karya-karya Filo dan Aleksandria (+ 50?), tetapi dampaknya tidak berlanjut pada orang-orang Yahudi.
Umat Kristen menempuh jalan lain. Di satu pihak umat itu menilai dirinya sebagai lanjutan sejati bangsa Israel sebagai umat Allah sehingga boleh saja mengambil alih Kitab-kitab Suci umat Yahudi, di lain pihak umat Kristen menilai dirinya sebagai sesuatu yang benar-benar baru dan yang melampaui yang lama. Maka Kitab-kitab Suci yang diwariskan itu dinilai "Perjanjian Lama" (Paulus), ketinggalan zaman.
Pewartaan Yesus serta lanjutannya dinilai tidak kurang berwibawa daripada Kitab-kitab Suci itu. Waktu semuanya itu dikumpulkan dalam Kitab-kitab (Yunani) Kristen, kitab itu tidak dianggap "tertutup", sehingga tidak dapat lagi berkembang.
Waktu kekristenan pada abad II-III dilanda suatu krisis identitas yang parah sekali, umat Kristen guna mempertahankan identitasnya mamakai sarana yang sama dengan yang dipakai umat Yahudi ketika mengalami krisis identitas, yaitu: menciptakan suatu Kitab Suci yang otoritatif dan normatif.
Maka pada abad II-III umat Kristen dari sekian banyak kitab dan karangan yang beredar dan yang mengklaim suatu wibawa Ilahi menyaring sejumlah yang dinilai normatif bagi umat Kristen selanjutnya. Dengan demikian terciptalah bagian kedua Kitab Suci Kristen, yang disebut "Perjanjian Baru". Proses penyaringan itu baru selesai menjelang tahun 400 M. Dan seperti Kitab Suci Yahudi-Kristen bertahap-tahap terbentuk (Torah, Nabi-nabi, tulisan-tulisan), demikian pun Kitab Suci khusus Kristen (Perjanjian Baru) langkah demi langkah terbentuk (empat Injil, surat-surat Paulus, Kis, tulisan-tulisan lain). Dan sama seperti tolok ukur yang dipakai untuk menyaring Perjanjian Lama kurang jelas, demikian pun kriterium yang dipakai umat Kristen untuk menyusun Perjanjian Baru cukup kabur.
V. Penutup
Kembali kepada awal karangan ini: Problema "Zaman Antar-Testamen" tidak mudah dijawab. Hanya jelas bahwa kekristenan dan Kitab Sucinya tidak dapat dipahami kalau orang tidak mempelajari sekian banyak karya dan tulisan yang diproduksi oleh umat Yahudi menjelang, bahkan sesudah tampilnya umat Kristen di panggung sejarah. Antara Alkitab yang pada abad II M. dibakukan oleh pimpinan Yahudi dan Kitab Suci yang khusus Kristen (Perjanjian Baru) ada jembatan yang mesti dilalui untuk menemukan titik sambung umat Kristen dengan umat Yahudi. Umat Kristen berpangkal pada Alkitab Yahudi tersebut, melainkan pada umat Yahudi seperti hidup pada awal tarikh Masehi dan yang suaranya terdenganr dari sekian banyak karangan, entah (sebagian) dinilai sebagai normatif (kekristenan Roma Katolik dan Yunani-Bizantin) atau tidak dinilai demikian.
sumber: http://www.alkitab.or.id/index.php?option=com_content&task=view&id=145&Itemid=131
Tujuan blog ini yaitu, "Menghadirkan Kerajaan Allah dan Kuasa-Nya". Sehingga setiap orang yang merasakan kuasa-Nya, menyadari bahwa Kerajaan Allah ada bersama dengannya.
Entri Populer
-
Sejak berdirinya pelayanan Tiberias tanggal 22 Mei 1988 dan menjadi sebuah gereja secara organisasi pada tanggal 17 Agustus 1990 sampai deng...
-
PERJAMUAN KUDUS ADALAH SYAHADAT PENGAKUAN IMAN Tuhan Yesus telah memberi pewahyuan kepada Bapak Pdt. Dr. Yesaya Pariadji, Gembala Sidang Ger...
Jumat, 05 Oktober 2012
Kekristenan Dalam Sejarah Indonesia
Ada suatu peristiwa sejarah yang perlu diketahui oleh gereja yang bisa kami tuliskan. Seperti kita ketahui, Islam dan Kristen sudah berebut pengaruh di Nusantara ini dimulai sejak abad ke-16 sampai dengan sekarang. Hal ini memang tidaklah mengherankan karena kedua agama ini sama-sama bersifat agama dakwah (misi), sehingga di lapangan terkesan saling bersaing dalam penyebaran agama.
Baiklah, sebelum jauh, kita sebentar ‘bernostalgia’ ke masa lampau dulu.
Gubernur Jendral VOC/Belanda (VOC=Vereenigde Oost-Indische Compagnie atau Kompeni India Timur), yang bernama Jan Pieterzoon Coen (berkuasa tahun 1619-1629) pernah mengenalkan suatu sistem ‘pembagian beras untuk iman’ yang dikenal dengan sebutan Kristen beras (rice Christians), dimana setiap anak yang mau belajar di sekolah Kristen akan diberi 1 pon beras. Jadi orang memeluk agama untuk mencari keuntungan materi semata-mata, kira-kira begitu maksudnya.
Trus, hubungannya apa? Konteksnya sekarang, bahwa apa yang populer dilakukan gereja dengan bagi-bagi sembako sebenarnya sudah dilakukan Belanda/VOC tahun 1600an lalu. Jangan heran jika sebagian saudara kita yang Islam curiga dengan kegiatan bagi sembako (atau bakti sosial) yang diadakan oleh kelompok orang Kristen sebagai cara-cara kristenisasi (padahal sebenarnya tidaklah seperti yang mereka maksudkan).
Belum lagi dengan semboyan Belanda pada waktu itu yang tidak menjadi berkat. Mereka mempunyai motto 3G. Lho, kok kayak istilah teknologi handphone saja? Hus, bukan. Ini maksudnya, Gold, Glory, Gospel. Dengan kata lain, mereka datang ke Nusantara dengan tujuan untuk cari emas, untuk mendapatkan kemuliaan atau kehormatan dan menyampaikan Injil. Jadi misi untuk menjajah dan misi untuk penginjilan menjadi satu. Kita tahu, penjajahan itu mengutamakan kekerasan, penindasan bahkan pertumpahan darah. Sementara inti pe nginjilan adalah menyampaikan Kabar Baik, mengajarkan kasih, kasih kepada Bapa dan kasih kepada sesama. Jadi, dua hal yang sangat bertolak-belakang ini dilakoni oleh Belanda/VOC kepada rakyat Indonesia pada waktu itu.
Dalam kehidupan sehari-hari pun, orang Belanda/VOC tidak menjadi berkat. Mereka memeras orang-orang pribumi, mereka menipu pemerintahnya sendiri (korupsi), mereka tidak menghormati perkawinan.
Mereka mengganggu wanita-wanita pribumi, mereka suka mabuk-mabukan, membuat keonaran. Dan pemerintah Belanda/VOC sendiri sampai harus membuat ancaman hukuman agar mereka mau datang kebaktian ke gereja karena sangat malas beribadah.
Tambahan lagi, baik orang Portugis maupun Belanda sama-sama memiliki dan memperjualbelikan budak-budak. Terutama pulau Bali yang merupakan daerah asal budak-budak. Padahal di Eropa pada waktu itu perbudakan sudah ditiadakan (tidak diperbolehkan). Karenanya gereja induk di Belanda sudah melarang, namun gereja di Indonesia tidak menghiraukannya. Hal ini disebabkan para pendeta sendiri biasanya mempunyai budak-budak (walau memang gereja di Indonesia menganjurkan agar budak-budak tersebut diperlakukan dengan sewajarnya).
Jadi keadaan-keadaan seperti yang disebutkan diatas sedikit banyak menjadi penghalang (batu sandungan) bagi pekabaran Injil di bumi Nusantara ini. Tidaklah mengherankan jika usaha-usaha penginjilan selama kurun waktu lebih 250 tahun (1522 s/d 1799) sangat mengecewakan. Dilihat dari segi jumlah, orang yang menjadi Kristen pada waktu itu hanya kira-kira seratus ribu orang, atau 400 orang saja dalam satu tahun. Dibandingkan dengan apa yang dicapai oleh penyebaran agama Islam pada periode yang sama.
Pada tahun 1500an agama Islam sudah dianut oleh penduduk Aceh, Sumatera bagian timur, Ternate dan pantai utara pulau Jawa. Kerajaan-kerajaan Islam pada waktu itu adalah : Samudra Pasai (sejak 1297 M) di Aceh, Demak (sejak 1515 M) di Jawa Tengah, Banten (sejak 1524 M) di Banten, Mataram (sejak 1591 M) di Jawa Tengah, Ternate-Tidore (sejak 1460 M) di Maluku, Gowa-Tallo (sejak 1605 M) di Sulawesi.
Dan tahun 1800, penyebaran agama Islam secara garis besar sudah menduduki daerah-daerah seperti yang kita kenal sekarang ini.
Baik, kita kembali ke cerita Belanda lagi. Pada bulan September 1901, di Staten Generaal, Ratu Wihelmina dalam pidato kenegaraannya, antara lain mengatakan:
“ Sebagai kekuatan Kristen maka Belanda berkewajiban untuk mengatur posisi hukum yang lebih baik bagi orang-orang Kristen pribumi di Hindia Belanda, untuk memberi dukungan lebih kuat terhadap penyebaran agama Kristen….”
Beberapa tahun kemudian, Gubernur Jendral Belanda, BC de Jonge tahun 1936, di harian Deli Courant mengatakan:
” Kami sudah berkuasa disini selama tiga ratus tahun dengan cambuk dan cemeti dan kami akan berbuat begitu tiga ratus tahun lagi.”
Pernyataan Ratu Belanda dan Gubernur Jendral Belanda ini menunjukkan arogansi penguasa dan ini tentu semakin menambah antipati rakyat Indonesia terhadap agama Kristen. Akibatnya, misionaris Kristen disamakan dengan penjajah yang harus dilawan. Harus diusir mati-matian. Agama Kristen dicap sebagai agama kaum penjajah. Dan, sadar atau tidak, sampai sekarangpun sikap penolakan/resistensi terhadap kekristenan masih kuat terasa.
Salah satu penyebabnya, karena adanya luka sejarah yang ’berdarah-darah’ yang dialami oleh rakyat Indonesia selama 350 tahun penjajahan Belanda. Bagi mereka, Kristen seperti momok yang menakutkan. Ingat Kristen langsung memory-nya ingat akan kekejaman dan pahit getirnya dijajah oleh Belanda, seperti yang sudah diuraikan tadi, ditambah lagi dengan isu tentang Perang Salib (tahun 1095-1291) antara kelompok Kristen dengan Islam.
Hal ini jauh berbeda dengan awal-awal masuknya agama Islam ke Nusantara yang dilakukan kaum saudagar dari Arab, Persia dan India (Gujarat). Mereka masuk dengan cara-cara yang simpatik seperti membina hubungan dagang, tinggal menetap di suatu daerah, melakukan kawin campur dan mengikuti gaya hidup masyarakat setempat sehingga mereka diterima dan menjadi anggota salah satu suku di daerah tersebut.
Singkatnya, dengan mengetahui sejarah kekristenan ini maka gereja bisa lebih luwes dan bijaksana dalam berinteraksi dengan saudara kita yang beragama Islam. Gereja jangan memandang mereka seperti seteru yang harus dijauhi. Ingatlah bahwa mereka juga keturunan Abraham dari Ismael, sama seperti kita adalah keturunan Abraham dari Ishak. Oleh karena itu, gereja harus bisa menunjukkan kasih yang nyata kepada mereka agar ‘sikap manis’ gereja tersebut tidak dicurigai sebagai ada udang di balik kwetiau dan mereka dapat ‘sembuh’ dari trauma masa lalu. Biarkan mereka melihat dan menilai sendiri bahwa orang Kristen sekarang, memang berbeda. Karena apa? Karena ada karakter sejati Yesus dalam pribadi setiap umat Tuhan.
Matius 5: 9, “ Berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah”.
Kata kuncinya, membawa damai. Atau dalam versi New King James dikatakan peace-maker. Pembuat damai. Bukan menjadi trouble-maker, pembuat masalah. Jika kita pembawa damai atau pembuat damai maka kita akan disebut anak-anak Allah. Pertanyaannya, anak Allahkah kita? Kita jawab masing-masinglah dengan jujur.
Dalam Matius 5:13 dikatakankan agar kita menjadi garam dan terang dunia. Bukan menjadi gincu dunia! Garam bersifat memberi rasa tetapi tidak kelihatan. Sedangkan gincu bersifat kelihatan (memberi warna) tetapi tidak memberi rasa. Gereja dewasa ini cenderung lebih suka menjadi gincu dari pada garam. Suka pamer. Eksklusif. Tidak berbaur. Tidak manunggal dengan masyarakat sekitar. Padahal tujuan menggarami bukan dimaksudkan di tempat yang sudah ada garamnya karena hakekat garam diperlukan untuk memberi rasa, memberi dampak, memberi manfaat.
Istilah dalam bahasa Arab dikatakan, “khoirunas ‘anfa’uhum lil an-nas” artinya sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat bagi sesama.
Markus 9:50, “ …hendaklah kamu selalu mempunyai garam dalam dirimu dan selalu hidup berdamai yang seorang dengan yang lain.”
Sementara, menerangi bukan dimaksudkan di tempat yang sudah ada terangnya karena hakekat terang dibutuhkan di tempat yang gelap. Kalau terang di tempat terang, hanya membuat silau mata saja, alias orang Kristen lagi-lagi jadi eksklusif dan jadi eksklusif orang Kristen lagi-lagi.
Matius 5:16, “ Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya di depan orang supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di sorga.”
Benarlah petuah orang Jawa yang mengatakan, urip iku urup. Hidup itu nyala! Maksudnya, hidup itu kudu membawa manfaat. Bermanfaat bagi sesama, baik itu manfaat secara materi, jasmani juga rohani.
Saudaraku, bagaimana gereja bisa memenangkan banyak jiwa bagi Kristus, jika gereja sendiri belum menjadi pembawa damai, pembuat damai? Jika kita belum menjadi garam dan terang dunia? Bukankah nanti kita malah menjadi batu sandungan? Itulah sebabnya, sebelum Yesus memerintahkan murid-murid, seperti tertulis dalam Matius 28: 19-20, “Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa, dan Anak dan Roh Kudus, dan…”, secara tidak langsung Yesus terlebih dahulu melakukan ‘pembekalan’.
Sekali lagi, pembekalan, dengan menyampaikan kotbah di bukit, Matius 5, yang salah satunya disebut dalam ayat 9 dan ayat 13-16, seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya. Dan contoh lain juga sebagaimana tertulis dalam Matius 10 ayat 16 dan seterusnya, tentang domba di tengah-tengah serigala (akan dijelaskan di bab selanjutnya). Atau dengan kata lain, sebelum diterjunkan ke ’hutan belantara’ untuk memenangkan jiwa. Yesus terlebih dahulu mempersiapkan mental, karakter dan spiritual para murid.
Baiklah, berapa banyak hamba Tuhan yang ‘jagoan’ berkotbah di mimbar-mimbar gereja atau KKR disana-sini, namun watak atau karakternya masih jeblok? Saudara mungkin bertanya, memangnya ada yang begitu? Ya adalah pak, bu, om, tante, sis, brur. Jika tidak begitu, mana mungkin Tuhan mengatakannya dalam Matius 7:22-23 ?
“ Pada hari terakhir banyak orang yang akan berseru kepada-Ku : Tuhan, Tuhan, bukankah kami bernubuat demi nama-Mu dan mengusir setan demi nama-Mu dan mengadakan banyak mujizat demi nama-Mu juga? Pada waktu itulah Aku akan berterus terang kepada mereka dan berkata: Aku tidak pernah mengenal kamu! Enyahlah dari pada-Ku, kamu sekalian pembuat kejahatan!”
Jika diperhatikan dengan seksama, firman Tuhan ini sebenarnya bicara blak-blakan tentang dikotomi antara buah Roh (Gal 5:22-23) dengan karunia Roh (1 Kor 12+14). Bukankah buah Roh menunjuk kepada karakter/sifat manusia, sedangkan karunia Roh, sesuai namanya adalah pemberian kasih atau anugerah dari Roh Kudus?
John Maxwell, seorang pendeta sekaligus penulis tentang kepemimpinan yang terkenal, mengatakan, “Talenta adalah karunia, namun karakter adalah pilihan.” Artinya, karunia-karunia Roh berasal dari Tuhan (faktor luar), jadi mau dberikan kepada siapa atau mau diambil kembali atau tidak, itu haknya Tuhan. Tapi, karakter adalah faktor internal manusia. Apakah mau berubah atau tidak, pilihannya ada di tangan kita (free-will). Jadi, sekali-kali jangan pernah bangga de ngan karunia-karunia Roh yang ada pada kita, tapi lebih dari itu, banggalah dengan buah Roh yang kita hidupi dalam kehidupan kita sehari-hari, agar kelak di penghakiman-Nya, kita tidak ditolak-Nya.
Oke, kita kembali ke topik semula.
Sebenarnya kegagalan penginjilan di zaman VOC / Belanda dulu, adalah karena tidak sinkronnya (sesuai) antara perkataan (ajaran) dengan perbuatan. Buah Roh (kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemah-lembutan, penguasaan diri) tentu tidak ada pada orang yang menjajah! Apalagi dengan semua yang dilakukan Belanda sebagai penjajah. Wah, parah! Betul-betul rakyat diperas-ras-ras sampai habis-bis-bis. Jadi bagaimana Belanda mau menjadi garam dan terang dunia? Tidak heran kalau waktu itu ajaran Kristen sama-sekali kehilangan daya tariknya dibandingkan agama lain.
(Kata orang, masih mending dijajah Inggris. Lihat saja negara bekas jajahan Inggris, semuanya oke-oke alias makmur, dibandingkan negara bekas jajahan Belanda. Makanya perkumpulannya saja disebut ‘Negara Persemakmuran’).
Tapi bagi saya, yang namanya penjajah adalah penjajah. Tetap tidak Alkitabiah titik. Mau Belanda kek. Inggris kek. Perancis kek. Sama sajalah. Paling hanya beda kemasannya saja. Iya kan?
Oleh karena itu, belajar dari sejarah, maka gereja bisa mengambil hikmahnya. Kesalahan atau kelemahan komunitas Kristen waktu itu agar tidak terkondisikan lagi sekarang ini.
“Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah, apa yang baik, yang berekenan kepada Allah dan yang sempurna.” Roma 12:2.
Biarlah orang-orang dunia melihat dan merasakan sendiri bahwa orang Kristen sesungguhnya adalah pembuat damai, pembawa damai yang penuh kasih agape kepada sesama, yang bisa menggarami dan menerangi sehingga Injil dengan sendirinya akan jauh lebih mudah diterima. Atau dengan kata lain, gereja bisa menjadi Injil yang terbuka. Tentu ini bukan perkara gampang. Namun dengan pertolo ngan Roh Yesus, kita pasti bisa dimampukan untuk itu.
Ev. Markus HLS
http://elrasa.wordpress.com/sejarah/bab-5-sejarah-kristen/
Baiklah, sebelum jauh, kita sebentar ‘bernostalgia’ ke masa lampau dulu.
Gubernur Jendral VOC/Belanda (VOC=Vereenigde Oost-Indische Compagnie atau Kompeni India Timur), yang bernama Jan Pieterzoon Coen (berkuasa tahun 1619-1629) pernah mengenalkan suatu sistem ‘pembagian beras untuk iman’ yang dikenal dengan sebutan Kristen beras (rice Christians), dimana setiap anak yang mau belajar di sekolah Kristen akan diberi 1 pon beras. Jadi orang memeluk agama untuk mencari keuntungan materi semata-mata, kira-kira begitu maksudnya.
Trus, hubungannya apa? Konteksnya sekarang, bahwa apa yang populer dilakukan gereja dengan bagi-bagi sembako sebenarnya sudah dilakukan Belanda/VOC tahun 1600an lalu. Jangan heran jika sebagian saudara kita yang Islam curiga dengan kegiatan bagi sembako (atau bakti sosial) yang diadakan oleh kelompok orang Kristen sebagai cara-cara kristenisasi (padahal sebenarnya tidaklah seperti yang mereka maksudkan).
Belum lagi dengan semboyan Belanda pada waktu itu yang tidak menjadi berkat. Mereka mempunyai motto 3G. Lho, kok kayak istilah teknologi handphone saja? Hus, bukan. Ini maksudnya, Gold, Glory, Gospel. Dengan kata lain, mereka datang ke Nusantara dengan tujuan untuk cari emas, untuk mendapatkan kemuliaan atau kehormatan dan menyampaikan Injil. Jadi misi untuk menjajah dan misi untuk penginjilan menjadi satu. Kita tahu, penjajahan itu mengutamakan kekerasan, penindasan bahkan pertumpahan darah. Sementara inti pe nginjilan adalah menyampaikan Kabar Baik, mengajarkan kasih, kasih kepada Bapa dan kasih kepada sesama. Jadi, dua hal yang sangat bertolak-belakang ini dilakoni oleh Belanda/VOC kepada rakyat Indonesia pada waktu itu.
Dalam kehidupan sehari-hari pun, orang Belanda/VOC tidak menjadi berkat. Mereka memeras orang-orang pribumi, mereka menipu pemerintahnya sendiri (korupsi), mereka tidak menghormati perkawinan.
Mereka mengganggu wanita-wanita pribumi, mereka suka mabuk-mabukan, membuat keonaran. Dan pemerintah Belanda/VOC sendiri sampai harus membuat ancaman hukuman agar mereka mau datang kebaktian ke gereja karena sangat malas beribadah.
Tambahan lagi, baik orang Portugis maupun Belanda sama-sama memiliki dan memperjualbelikan budak-budak. Terutama pulau Bali yang merupakan daerah asal budak-budak. Padahal di Eropa pada waktu itu perbudakan sudah ditiadakan (tidak diperbolehkan). Karenanya gereja induk di Belanda sudah melarang, namun gereja di Indonesia tidak menghiraukannya. Hal ini disebabkan para pendeta sendiri biasanya mempunyai budak-budak (walau memang gereja di Indonesia menganjurkan agar budak-budak tersebut diperlakukan dengan sewajarnya).
Jadi keadaan-keadaan seperti yang disebutkan diatas sedikit banyak menjadi penghalang (batu sandungan) bagi pekabaran Injil di bumi Nusantara ini. Tidaklah mengherankan jika usaha-usaha penginjilan selama kurun waktu lebih 250 tahun (1522 s/d 1799) sangat mengecewakan. Dilihat dari segi jumlah, orang yang menjadi Kristen pada waktu itu hanya kira-kira seratus ribu orang, atau 400 orang saja dalam satu tahun. Dibandingkan dengan apa yang dicapai oleh penyebaran agama Islam pada periode yang sama.
Pada tahun 1500an agama Islam sudah dianut oleh penduduk Aceh, Sumatera bagian timur, Ternate dan pantai utara pulau Jawa. Kerajaan-kerajaan Islam pada waktu itu adalah : Samudra Pasai (sejak 1297 M) di Aceh, Demak (sejak 1515 M) di Jawa Tengah, Banten (sejak 1524 M) di Banten, Mataram (sejak 1591 M) di Jawa Tengah, Ternate-Tidore (sejak 1460 M) di Maluku, Gowa-Tallo (sejak 1605 M) di Sulawesi.
Dan tahun 1800, penyebaran agama Islam secara garis besar sudah menduduki daerah-daerah seperti yang kita kenal sekarang ini.
Baik, kita kembali ke cerita Belanda lagi. Pada bulan September 1901, di Staten Generaal, Ratu Wihelmina dalam pidato kenegaraannya, antara lain mengatakan:
“ Sebagai kekuatan Kristen maka Belanda berkewajiban untuk mengatur posisi hukum yang lebih baik bagi orang-orang Kristen pribumi di Hindia Belanda, untuk memberi dukungan lebih kuat terhadap penyebaran agama Kristen….”
Beberapa tahun kemudian, Gubernur Jendral Belanda, BC de Jonge tahun 1936, di harian Deli Courant mengatakan:
” Kami sudah berkuasa disini selama tiga ratus tahun dengan cambuk dan cemeti dan kami akan berbuat begitu tiga ratus tahun lagi.”
Pernyataan Ratu Belanda dan Gubernur Jendral Belanda ini menunjukkan arogansi penguasa dan ini tentu semakin menambah antipati rakyat Indonesia terhadap agama Kristen. Akibatnya, misionaris Kristen disamakan dengan penjajah yang harus dilawan. Harus diusir mati-matian. Agama Kristen dicap sebagai agama kaum penjajah. Dan, sadar atau tidak, sampai sekarangpun sikap penolakan/resistensi terhadap kekristenan masih kuat terasa.
Salah satu penyebabnya, karena adanya luka sejarah yang ’berdarah-darah’ yang dialami oleh rakyat Indonesia selama 350 tahun penjajahan Belanda. Bagi mereka, Kristen seperti momok yang menakutkan. Ingat Kristen langsung memory-nya ingat akan kekejaman dan pahit getirnya dijajah oleh Belanda, seperti yang sudah diuraikan tadi, ditambah lagi dengan isu tentang Perang Salib (tahun 1095-1291) antara kelompok Kristen dengan Islam.
Hal ini jauh berbeda dengan awal-awal masuknya agama Islam ke Nusantara yang dilakukan kaum saudagar dari Arab, Persia dan India (Gujarat). Mereka masuk dengan cara-cara yang simpatik seperti membina hubungan dagang, tinggal menetap di suatu daerah, melakukan kawin campur dan mengikuti gaya hidup masyarakat setempat sehingga mereka diterima dan menjadi anggota salah satu suku di daerah tersebut.
Singkatnya, dengan mengetahui sejarah kekristenan ini maka gereja bisa lebih luwes dan bijaksana dalam berinteraksi dengan saudara kita yang beragama Islam. Gereja jangan memandang mereka seperti seteru yang harus dijauhi. Ingatlah bahwa mereka juga keturunan Abraham dari Ismael, sama seperti kita adalah keturunan Abraham dari Ishak. Oleh karena itu, gereja harus bisa menunjukkan kasih yang nyata kepada mereka agar ‘sikap manis’ gereja tersebut tidak dicurigai sebagai ada udang di balik kwetiau dan mereka dapat ‘sembuh’ dari trauma masa lalu. Biarkan mereka melihat dan menilai sendiri bahwa orang Kristen sekarang, memang berbeda. Karena apa? Karena ada karakter sejati Yesus dalam pribadi setiap umat Tuhan.
Matius 5: 9, “ Berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah”.
Kata kuncinya, membawa damai. Atau dalam versi New King James dikatakan peace-maker. Pembuat damai. Bukan menjadi trouble-maker, pembuat masalah. Jika kita pembawa damai atau pembuat damai maka kita akan disebut anak-anak Allah. Pertanyaannya, anak Allahkah kita? Kita jawab masing-masinglah dengan jujur.
Dalam Matius 5:13 dikatakankan agar kita menjadi garam dan terang dunia. Bukan menjadi gincu dunia! Garam bersifat memberi rasa tetapi tidak kelihatan. Sedangkan gincu bersifat kelihatan (memberi warna) tetapi tidak memberi rasa. Gereja dewasa ini cenderung lebih suka menjadi gincu dari pada garam. Suka pamer. Eksklusif. Tidak berbaur. Tidak manunggal dengan masyarakat sekitar. Padahal tujuan menggarami bukan dimaksudkan di tempat yang sudah ada garamnya karena hakekat garam diperlukan untuk memberi rasa, memberi dampak, memberi manfaat.
Istilah dalam bahasa Arab dikatakan, “khoirunas ‘anfa’uhum lil an-nas” artinya sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat bagi sesama.
Markus 9:50, “ …hendaklah kamu selalu mempunyai garam dalam dirimu dan selalu hidup berdamai yang seorang dengan yang lain.”
Sementara, menerangi bukan dimaksudkan di tempat yang sudah ada terangnya karena hakekat terang dibutuhkan di tempat yang gelap. Kalau terang di tempat terang, hanya membuat silau mata saja, alias orang Kristen lagi-lagi jadi eksklusif dan jadi eksklusif orang Kristen lagi-lagi.
Matius 5:16, “ Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya di depan orang supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di sorga.”
Benarlah petuah orang Jawa yang mengatakan, urip iku urup. Hidup itu nyala! Maksudnya, hidup itu kudu membawa manfaat. Bermanfaat bagi sesama, baik itu manfaat secara materi, jasmani juga rohani.
Saudaraku, bagaimana gereja bisa memenangkan banyak jiwa bagi Kristus, jika gereja sendiri belum menjadi pembawa damai, pembuat damai? Jika kita belum menjadi garam dan terang dunia? Bukankah nanti kita malah menjadi batu sandungan? Itulah sebabnya, sebelum Yesus memerintahkan murid-murid, seperti tertulis dalam Matius 28: 19-20, “Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa, dan Anak dan Roh Kudus, dan…”, secara tidak langsung Yesus terlebih dahulu melakukan ‘pembekalan’.
Sekali lagi, pembekalan, dengan menyampaikan kotbah di bukit, Matius 5, yang salah satunya disebut dalam ayat 9 dan ayat 13-16, seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya. Dan contoh lain juga sebagaimana tertulis dalam Matius 10 ayat 16 dan seterusnya, tentang domba di tengah-tengah serigala (akan dijelaskan di bab selanjutnya). Atau dengan kata lain, sebelum diterjunkan ke ’hutan belantara’ untuk memenangkan jiwa. Yesus terlebih dahulu mempersiapkan mental, karakter dan spiritual para murid.
Baiklah, berapa banyak hamba Tuhan yang ‘jagoan’ berkotbah di mimbar-mimbar gereja atau KKR disana-sini, namun watak atau karakternya masih jeblok? Saudara mungkin bertanya, memangnya ada yang begitu? Ya adalah pak, bu, om, tante, sis, brur. Jika tidak begitu, mana mungkin Tuhan mengatakannya dalam Matius 7:22-23 ?
“ Pada hari terakhir banyak orang yang akan berseru kepada-Ku : Tuhan, Tuhan, bukankah kami bernubuat demi nama-Mu dan mengusir setan demi nama-Mu dan mengadakan banyak mujizat demi nama-Mu juga? Pada waktu itulah Aku akan berterus terang kepada mereka dan berkata: Aku tidak pernah mengenal kamu! Enyahlah dari pada-Ku, kamu sekalian pembuat kejahatan!”
Jika diperhatikan dengan seksama, firman Tuhan ini sebenarnya bicara blak-blakan tentang dikotomi antara buah Roh (Gal 5:22-23) dengan karunia Roh (1 Kor 12+14). Bukankah buah Roh menunjuk kepada karakter/sifat manusia, sedangkan karunia Roh, sesuai namanya adalah pemberian kasih atau anugerah dari Roh Kudus?
John Maxwell, seorang pendeta sekaligus penulis tentang kepemimpinan yang terkenal, mengatakan, “Talenta adalah karunia, namun karakter adalah pilihan.” Artinya, karunia-karunia Roh berasal dari Tuhan (faktor luar), jadi mau dberikan kepada siapa atau mau diambil kembali atau tidak, itu haknya Tuhan. Tapi, karakter adalah faktor internal manusia. Apakah mau berubah atau tidak, pilihannya ada di tangan kita (free-will). Jadi, sekali-kali jangan pernah bangga de ngan karunia-karunia Roh yang ada pada kita, tapi lebih dari itu, banggalah dengan buah Roh yang kita hidupi dalam kehidupan kita sehari-hari, agar kelak di penghakiman-Nya, kita tidak ditolak-Nya.
Oke, kita kembali ke topik semula.
Sebenarnya kegagalan penginjilan di zaman VOC / Belanda dulu, adalah karena tidak sinkronnya (sesuai) antara perkataan (ajaran) dengan perbuatan. Buah Roh (kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemah-lembutan, penguasaan diri) tentu tidak ada pada orang yang menjajah! Apalagi dengan semua yang dilakukan Belanda sebagai penjajah. Wah, parah! Betul-betul rakyat diperas-ras-ras sampai habis-bis-bis. Jadi bagaimana Belanda mau menjadi garam dan terang dunia? Tidak heran kalau waktu itu ajaran Kristen sama-sekali kehilangan daya tariknya dibandingkan agama lain.
(Kata orang, masih mending dijajah Inggris. Lihat saja negara bekas jajahan Inggris, semuanya oke-oke alias makmur, dibandingkan negara bekas jajahan Belanda. Makanya perkumpulannya saja disebut ‘Negara Persemakmuran’).
Tapi bagi saya, yang namanya penjajah adalah penjajah. Tetap tidak Alkitabiah titik. Mau Belanda kek. Inggris kek. Perancis kek. Sama sajalah. Paling hanya beda kemasannya saja. Iya kan?
Oleh karena itu, belajar dari sejarah, maka gereja bisa mengambil hikmahnya. Kesalahan atau kelemahan komunitas Kristen waktu itu agar tidak terkondisikan lagi sekarang ini.
“Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah, apa yang baik, yang berekenan kepada Allah dan yang sempurna.” Roma 12:2.
Biarlah orang-orang dunia melihat dan merasakan sendiri bahwa orang Kristen sesungguhnya adalah pembuat damai, pembawa damai yang penuh kasih agape kepada sesama, yang bisa menggarami dan menerangi sehingga Injil dengan sendirinya akan jauh lebih mudah diterima. Atau dengan kata lain, gereja bisa menjadi Injil yang terbuka. Tentu ini bukan perkara gampang. Namun dengan pertolo ngan Roh Yesus, kita pasti bisa dimampukan untuk itu.
Ev. Markus HLS
http://elrasa.wordpress.com/sejarah/bab-5-sejarah-kristen/
Sabtu, 29 September 2012
KANONISASI PERJANJIAN BARU
KANONISASI PERJANJIAN BARU
Oleh: Prof. Dr. Richard W. Haskin
Pengantar
Sekarang sudah diketahui (akibat penyelidikan dan penemuan yang terjadi terutama pada abad ini) bahwa, dalam kurun waktu dari pertengahan abad ke-1 M sampai akhir abad ke-2 M orang-orang yang memandang dirinya selaku orang Kristen (bagaimanapun penilaian terhadap mereka oleh gereja-gereja kemudian hari!) telah menghasilkan lebih dari seratus tulisan yang mengandung apa yang mereka mau tekankan sehubungan dengan iman dan cara hidup Kristiani. Namun, sejak abad ke-5 M hampir setiap orang Kristen, di mana saja di dunia ini, berpegang pada Perjanjian Baru sebagai suatu kumpulan tulisan yang terdiri dari dua puluh tujuh kitab. Apa yang terjadi dalam sejarah sehingga inilah kenyataan sekarang ini? Pertanyaan inilah yang mendasari pokok kanonisasi PB.
Arti Kanon
Istilah "kanon" berupa pengalihan secara hurufiah dari kata Yunani kanon yang berasal dari istilah bahasa-bahasa Semit yang berarti "buluh" (qaneh dalam bahasa Ibrani). Secara hurufiah, kata ini dipakai untuk mistar atau penggaris, seperti diperlukan tukang kayu atau jurutulis. Tetapi, kata ini juga dipakai dalam arti kiasan, antara lain, "patokan" dalam ajaran akhlak, filosofis, atau keagamaan dan "daftar" atau "katalogus". Di dalam 2Kor. 10:13, 15, 16, kata ini dipakai dengan artian "batas", dan di dalam Gal. 6:16, dalam arti "patokan" sehubungan dengan cara hidup. Dalam pemakaian kegerejaan, mula-mula kata ini digunakan untuk menunjuk akan patokan dalam ajaran atau doktrin Kristiani (terlihat misalnya di dalam I Klemens 7:2 atau di dalam tulisan-tulisan uskup Irenaeus; karena dalam bahasa Latin kata yang sepadan ialah regula, maka ungkapan regula fidel dipakai untuk menunjukkan patokan yang hendaknya dipegangi orang-orang Kristen dalam kepercayaan mereka). Eusebius (awal abad 4) memakai kata ini (dalam bentuk jamak) untuk daftar-daftar ayat-ayat yang sejajar di dalam kitab-kitab Injil. Juga dalam bentuk jamak, keputusan-keputusan dari Konsili Nikea dinamai kanon (jelas dengan artian yang lebih dekat pada "patokan"). Baru dengan uskup Athanasius, di dalam surat edaran untuk perayaan Paskah pada tahun 367, kata ini dipakai untuk kitab-kitab PB.
Pembagian Menurut Athanasius
Athanasius membedakan antara "buku-buku yang termasuk kanon dan yang telah diturunalihkan serta sebagai ilahi" dengan "buku-buku yang disebut apokryfa" yang katanya, para orang sesat mencampuradukkan dengan tulisan-tulisan suci yang berasal dari pengilhaman ilahi. Pemakaian kata kanon oleh Athanasius ini memperlihatkan pemakaian kegerejaan sejak abad keempat itu. Buku-buku digolongkan sebagai tulisan-tulisan suci apabila dinilai sebagai sesuai dengan patokan mengenai ajaran Kristiani yang benar sehubungan dengan kepercayaan dan cara hidup (akhlak) Kristiani. Tulisan-tulisan yang demikian dapat dicap "ilahi" atau disebut sebagai yang berasal dari pengilhaman ilahi, tetapi sebutan semacam ini julukan saja. Maksudnya: tiada pembuktian bahwa tulisan-tulisan berasal dari pengilhaman ilahi kecuali persetujuan bahwa tulisan-tulisan tersebut memang sesuai dengan patokan (kanon) mengenai kepercayaan dan cara hidup Kristiani. Tetapi, "persetujuan" pada siapakah? Menjawab pertanyaan ini tidak terlalu sulit jika diperhatikan pengacuan Athanasius kepada orang-orang sesat (bidat) dan jika diingat peranan Athanasius selaku pembesar dalam lembaga kegerejaan yang sedang bermunculan pada waktunya sebagai gereja Katolik purba, yang dimaksud dengan ungkapan "gereja Katolik purba" ialah bukan satu lembaga dengan satu pemimpin tertinggi (seperti, misalnya gereja Roma Katolik dengan Paus kemudian hari), melainkan gereja-gereja yang berada di sekitar Laut Tengah (terutama di dalam wilayah kekaisaran Roma) yang semakin seragam dalam kredo (pengakuan iman) moralitas (akhlak) dan sistim pemerintahan (keuskupan) dan yang mencakup dalam keanggotaannya sebagian besar (mayoritas) orang Kristen di wilayah tersebut. Oleh gereja-gereja ini, dengan pemimpin-pemimpinnya seperti uskup Athanasius, orang-orang Kristen yang berbeda dalam kredo, akhlak, dan sistim pemerintahan dicap dan ditentang selaku orang-orang sesat. Apalagi, demi kepentingan kesatuan kekaisaran Roma, sejak Kaisar Konstantinus (awal abad keempat), ada kecenderungan dari pemerintah kekaisaran untuk memihak pada gereja-gerja mayoritas ini serta mendukung kepemimpinannya, antara lain, dalam menindak gereja-gereja minoritas (yang dicap sesat atau bidat!).
Athanasius mencatat di dalam suratnya bahwa tulisan-tulisan suci Perjanjian Baru adalah: "empat kitab Injil menurut Matius, Markus, Lukas dan Yohanes, sesudah itu Kisah Para Rasul dan tujuh tulisan yang biasa disebut surat-surat Katolik dari rasul-rasul, yaitu, satu dari Yakobus, dua dari Petrus, lantas tiga dari Yohanes dan sesudah ini satu dari Yudas. Di samping ini ada empat belas surat dari rasul Paulus yang ditulis dalam urutan berikut: yang pertama kepada orang-orang
Roma, lantas dua kepada orang-orang Korintus dan yang sesudah ini satu kepada orang-orang Galatia, menyusul satu kepada orang-orang Efesus, kemudian yang satu kepada orang-orang Filipi dan satu kepada orang-orang Kolose dan dua kepada orang-orang Tesalonika dan surat kepada orang-orang Ibrani dan langsung dua kepada Timotius, satu kepada Titus dan terakhir kepada Filemon. Lantas lagi ada Wahyu dari Yohanes." Jumlah ini (dua puluh tujuh) dan sebutannya (nama-nama) sama dengan sekarang ini dalam kebanyakan gereja-gerja Kristen, walaupun urutannya sedikit berbeda. Jelaslah bahwa tulisan-tulisan Kristen, bagaimanapun dinilai mutunya, kalau tidak tercantum pada daftar ini (kanon), dianggap oleh athanasius sebagai yang tidak sesuai dengan patokan (kanon) kredo dan akhlak Kristiani, walaupun tidak ada catatan-catatan dari Athanasius mengenai yang mana, di luar dua puluh tujuh ini, mau digolongkannya sebagai sungguh-sunggu sesat dan yang mana hanya tidak jadi masuk daftar ini, kendatipun isinya tidak betul-betul sesat.
Tiga Kelompok Tulisan Kristen Kuno
Sebelum Athanasius, Eusebius sudah membagi tulisan-tulisan Kristen kuno ke dalam tiga kelompok: (1) yang diterima tanpa dipersoalkan oleh semua; (2) yang dipersoalkan atau diperdebatkan dan (3) yang jelas palsu (artinya, tidak sejati Kristiani, sesat). Sebetulnya, sejak awal abad ketiga, sudah ada kecenderungan untuk membuat pengelompokan semacam itu (misalnya, oleh Klemens dan Origenes dari Alexandria). Bagi gereja-gereja, yang diwakili macam Athanasius, kelompok (1) akhir-akhirnya terdiri dari dua puluh tujuh kitab yang seperti tercantum di dalam daftar Athanasius. Tetapi, sempai waktu Athanasius, bahkan lewatnya, ada kitab-kitab seperti Yakobus, Yudas, II Petrus, II dan III Yohanes, Ibrani, dan Wahyu yang dipersoalkan. Yang juga diperdebatkan ialah tulisan-tulisan seperti Didakhe (Ajaran keduabelas rasul), I Klemens, dan Gembala Hermas. Tiga tulisan ini, ditambah dengan II Klemens, surat-surat Ignatius, surat Policarpus, surat Barnabas, surat Diognetus, walaupun akhirnya tidak dimasukkan ke dalam kelompok (1), namun cukup tinggi dihargai oleh gereja-gereja mayoritas, dan, sejak abad ketujuhbelas dianggap sebagai satu kumpulan dan disebut "bapak-bapak rasuli". Semua tulisan lain, yang mungkin berjumlah sekitar tujuhpuluh buah (seperti telah disinggung di dalam alinea pertama makalah ini), oleh gereja-gereja mayoritas dimasukkan ke dalam kelompok (3). Tetapi, tulisan-tulisan tersebut bercorak pengungkapan iman dan akhlak Kristiani yang rupanya dipegangi dengan ikhlas oleh orang-orang yang mengaku diri orang Kristen, walaupun dengan perbedaan-perbedaan tertentu dibandingkan dengan orang-orang Kristen mayoritas. Jika diharapkan suatu pemahaman yang lebih lengkap tentang iman dan cara hidup Kristiani pada tahapan awal persekutuan Kristen, maka tulisan-tulisan perlu dipelajari juga tanpa prasangka bahwa isinya melulu ajaran sesat dari orang-orang penyesat!
Kitab Suci Umat Yahudi
Pada waktu persekutuan Kristen mulai ada, kanon, sebagai patokan iman dan akhlak serta daftar tulisan-tulisan yang sesuai dengan patokan itu, belum ada pada orang-orang Yahudi. Memang, kumpulan kitab-kitab hukum (Torah) sudah dianggap tertutup oleh mereka, dan demikian pula dengan kumpulan kitab-kitab para nabi. Di samping kedua kumpulan tertutup itu, ada cukup banyak tulisan yang dihargai oleh mereka sebagai yang bermutu sebagai keagamaan. Terutama di kalangan orang Yahudi di perantauan (Diaspora), yang bergantung pada bahasa Yunani, ada kitab-kitab yang dihargai yang kemudian hari tidak ada di dalam kitab suci Yahudi tetapi pada waktu dahulu ada di dalam Septuaginta, terjemahan Yunani dari Torah, nabi-nabi, dan sejumlah tulisan lain lagi, sebagian yang ditulis semula dalam bahasa Yunani. Orang-orang Kristen pertama pasti membaca dan menggemari juga tulisan-tulisan macam itu, seperti terlihat dalam acuan kepada Kenaikan Musa dalam Yudas 9 dan acuan kepada kitab I Henokh dalam Yudas 14-15. Jadi, persekutuan Kristen mewarisi tulisan-tulisan suci dari umat Yahudi, yaitu Torah dan nabi-nabi, tetapi tidak mewarisi sebuah kanon, ataupun dorongan untuk menetapkan sebuah kanon untuk persekutuan Kristen sendiri. Demikian pula tidak ada pemimpin ataupun sidang yang memerintahkan bahwa persekutuan Kristen harus memiliki suatu kanon kitab suci sendiri. Perkembangan ke arah penetapan kanon bermunculan dalam kehidupan persekutuan Kristen sepanjang lebih dari duaratus tahun sehubungan dengan keperluan-keperluan seperti keperluan akan bahan untuk ibadah, pewartaan dan katekisasi, dan sehubungan dengan perkembangan-perkembangan, antara lain kesadaran bahwa persekutuan Kristen berbeda dari persekutuan Yahudi, kesimpulan bahwa Kristus tidak akan segera kembali, penindasan dari pejabat-pejabat pemerintah, dan perpecahan serta pertentangan di antara orang Kristen sendiri.
Ucapan Yesus
Jadi, selama seratus tahun pertama, tidak ada dorongan yang berarti untuk menetapkan sebuah kanon dalam persekutuan Kristen. Tetapi, selama kurun waktu yang sama, tampaklah perkembangan yang memberikan kedudukan istimewa kepada bahan-bahan tertentu, entah bahan tersebut dalam bentuk lisan atau tertulis. Jelas yang pertama di sini ialah perkataan-perkataan Yesus (logika Yosua). Rasul Paulus, pada dasawarsa kelima abad pertama, beberapa kali mengacu kepada suatu logos Tuhan (= Yesus) untuk membenarkan atau mendukung sesuatu pendapat yang Paulus mau sampaikan kepada jemaat-jemaat asuhannya (mis. 1Tes. 4:15; 1Kor. 7:10; tetapi pengacuan macam ini tidak banyak, dan kenyataan ini tentu menimbulkan pertanyaan "mengapakah?". "Q", sumber perkataan-perkataan Yesus yang dipakai oleh Matius dan Lukas, tersusun pada dasawarsa keempat abad pertama, serta kumpulan logia Yesou yang sekarang dikenal sebagai "Injil Thomas" tersusun tidak lama sesudah "Q". Kedudukan istimewa mulai diberikan kepada surat-surat Paulus sendiri (entah berapa banyak!) dari akhir abad pertama, sebagaimana terdapat dalam acuan-acuan di dalam I Klemens dan di dalam surat-surat uskup Ignatius.
Tulisan Rasuli dan Non-Rasuli
Pada akhir abad pertama dan awal abad kedua, ada acuan-acuan kepada bahan yang mungkin sudah dikenal pada waktu tersebut sebagai bahan yang termuat di dalam tulisan-tulisan yang tidak lama kemudian biasa disebut kitab-kitab Injil (misalnya acuan-acuan yang terdapat di dalam Didakhe, Hermas, dan surat-surat Ignatius). Tetapi kepastian dalam hal ini cukup sulit, karena acuan-acuan ini bisa saja berkenaan dengan tradisi-tradisi lisan mengenai perkataan dan perbuatan Yesus, tradisi-tradisi yang masih dihargai paling sedikit sampai pertengahan abad kedua (misalnya Papuas, uskup kota Hierapolis di Asia Kecil, di sekitar tahun 130, menyatakan bahwa ia lebih suka "suara hidup itu", maksudnya tradisi lisan). Pada pihak lain, ada kemungkinan besar bahwa, pada parohan pertama abad kedua, sudah ada tulisan-tulisan yang berbentuk seperti kitab Injil, kitab kisah, atau kitab wahyu dan yang berasal dari kelompok-kelompok Kristen yang sedikit atau banyak berbeda dalam iman dan akhlak dengan mereka dari gereja-gereja mayoritas (maka, kelompok-kelompok ini suka dicap bidat atau sesat oleh mereka dari gereja-gereja mayoritas; sebutan yang jauh kemudian hari biasa dipakai untuk kelompok-kelompok yang berbeda ini ialah "gnostik", walaupun mereka cukup pelbagai). Tulisan-tulisan macam ini biasanya dikaitkan dengan nama seorang rasul; maka ada "Injil Thomas" dan "Kisah Thomas", ada "Apokryfon Yohanes" dan "kisah Yohanes", dan ada "Injil Petrus" serta "Wahyu (Apokalypse) Petrus". Perkembangan ini agaknya mempengaruhi pemimpin-pemimpin dari gereja-gereja mayoritas untuk mengaitkan dengan nama seorang rasul tulisan-tulisan yang mereka nilai lebih sesuai dengan iman dan akhlak yang Kristiani sejati. Ini tercermin dalam catatan uskup Papias yang menghubungkan Injil Markus (yang rupanya sudah mulai disebut "menurut Markus", walaupun tulisan itu sendiri tidak mengandung nama pengarang!) dengan rasul Petrus; dan Injil Matius, Papias tunjukan sebagai tulisan rasul Matius sendiri (kendatipun Papias tidak menulis "Kitab Injil" melainkan ia menulis bahwa Matius "mengumpulkan logia [Yesou] dalam bahasa Ibrani dan setiap orang mengartikannya semampu-mampunya). Pokoknya, pada kedua belah pihak, minoritas dan mayoritas, sudah mulai cara untuk menunjuk akan tulisan-tulisan yang dipegangi sebagai yang mengandung ajaran Kristiani yang benar, yaitu memakai wibawa dari nama seorang rasul, karena prapaham yang dianut semua pihak bahwa ajaran dari rasul-rasul pasti benar. Dengan demikian, sudah mulai kebiasaan untuk mempersoalkan apakah suatu tulisan rasuli (apostolic) atau tidak dan untuk menggunakan corak ini sebagai semacam tolok ukur juga.
Kanon Marcion
Yang sungguh-sungguh menjadi dorongan kuat untuk menetapkan kanon (dalam artian yang sudah diterangkan di atas) ialah tindakan dari seorang penatua (Presbyteros) di gereja Roma pada pertengahan abad kedua. Orang yang bernama Marcion ini berasal dari daerah Asia Kecil, tetapi sudah pindah dan bergiat di Roma. Menjelang tahun 140, ia dikucilkan dari gereja di Roma, rupanya karena ia dinilai radikal dan sebagai orang yang menyimpang dari ajaran benar Kristiani menurut gereja Roma. Sayang, karangan-karangannya dibinasakan oleh gereja-gereja mayoritas, sehingga sulit mengetahui seluk-beluk teologinya. Rupa-rupanya, Marcion menolak tulisan-tulisan suci Yahudi sebagai tulisan suci untuk orang Kristen karena, menurut dia, ilah yang disaksikan di dalam tulisan-tulisan Yahudi adalah ilah yang memerintah dunia ini, tetapi ilah itu bukanlah bapak Yesus Kristus dan sumber keselamatan. Bapak Yesus Kristus adalah ilah yang "asing" bagi jagad raya ini. Secara sepintas, pikiran ini kelihatan berdekatan dengan pemikiran yang biasa dijuluki gnostik, akan tetapi tidak mungkin seorang gnostik bisa menerima tulisan-tulisan suci Yahudi karena mereka menafsirkan tulisan-tulisan tersebut secara alegoristis, padahal Marcion menolak cara penafsiran yang sedemikian. Bagaimanapun juga, yang pokok ialah bahwa, menurut Marcion, orang Kristen salah kalau lagi berpegang pada kitab suci Yahudi. Orang Kristen harus berpegang pada suatu kitab suci yang khas Kristiani. Mengingat bahwa kitab suci Yahudi berpusat pada Torah dan nabi-nabi, maka Marcion menganjurkan supaya orang Kristen berpegang pada Injil dan rasul, yaitu kitab Injil Lukas serta surat-surat rasul Paulus.
Tetapi, Marcion berkeyakinan bahwa tulisan-tulisan tersebut tidak disimpan dan diturunalihkan dengan isi yang asli. Oleh karena itu, Marcion membuat semacam edisi kritis atas Injil Lukas dan surat-surat Paulus (10 buah: Gal., 1 dan 2Kor., Rm., 1 dan 2Tes., Laodicea [rupanya Ef.), Kol., Flp., dan Flm.) untuk menghilangkan bagian-bagian yang menurut dia, berupa tambahan dan penyisipan yang tidak asli, yaitu semua bahan yang mencerminkan atau berdekatan dengan tulisan-tulisan suci Yahudi. Yang sungguh-sungguh baru dalam tindakan Marcion ini ialah: (1) tulisan-tulisan Kristen tertentu kepada kedudukan sebagai Kitab Suci Kristen, yaitu kanon, dan sekaligus (2) penolakan tulisan-tulisan suci Yahudi (kurang lebih apa yang kemudian hari biasa disebut Perjanjian Lama oleh orang Kristen) sebagai Kitab Suci Kristen Marcion sendiri berkeyakinan bahwa, dalam tindakan ini, ia taat pada asas pandangan teologis Paulus: pembenaran berdasarkan hanya iman serta berakhirnya hukum Taurat seharusnya membuat persekutuan Kristen, selaku ciptaan baru, meninggalkan tulisan-tulisan Yahudi yang lama (PL) dan berpegang pada suatu Kitab yang khas Kristiani.
Pertentangan Terhadap Marcion
Pihak yang berhasil mengucilkan Marcion, pihak yang berusaha dengan kuat untuk menegaskan perbatasan di antara orang Kristen mayoritas dengan macam-macam kelompok minoritas, dalam menanggapi karya Marcion, melakukan hal-hal yang cukup aneh. Yustinus Martyrus (mati syahid kira-kira 165) merupakan contoh utama di sini, mengingat ia yang menulis karangan yang pertama yang dimaksud untuk menentang Marcion (tetapi sayang, karangan tersebut tidak jadi disimpan kemudian hari). Yustinus memakai kitab Injil Matius dan Lukas (mungkin juga Markus) tetapi dalam bentuk suatu edisi yang dibuatnya sendiri, edisi yang bercorak harmonisasi (bahan dirangkaikan sehingga tampak sebagai satu saja) kitab-kitab Injil tersebut, dan rupanya Yustinus tidak memandang tindakan ini sebagai mirip dengan apa yang dilakukan Marcion terhadap Injil Lukas. Surat-surat Paulus - bagian paling penting dalam "kanon" Marcion - sama sekali tidak dikutip atau diacu oleh Yustinus. Apakah ini mungkin terjadi karena Yustinus tidak mengenal surat-surat itu? Sulit mengambil kesimpulan yang begitu, mengingat bahwa Yustinus hidup dan berkarya di Roma di sekitar pertengahan abad kedua. Ataukah Yustinus mau menghindari surat-surat Paulus justru karena tulisan-tulisan itu begitu penting bagi Marcion? Bahan di dalam karangan-karangan Yustinus yang terasa sejajar dengan bahan di dalam kitab Injil Yohanes ternyata tidak diambil dari kitab Yohanes sendiri melainkan dari tradisi-tradisi kuno yang melatarbelakangi kitab Yohanes dan masih beredar pada waktu Yustinus. Apakah Yustinus menghindari kitab Injil Yohanes karena itulah kitab Injil yang paling disukai para pemikir dan penulis Kristen-Gnostik? Pada pihak lain, julukan Yustinus untuk kitab-kitab Injil ("kenang-kenangan para rasul") serta cara Yustinus mendekatkan kitab-kitab Injil kepada kewibawaan tulisan-tulisan suci bisa saja terjadi karena dampak karya dan kegiatan Marcion atas Yustinus sendiri.
Tindakan-tindakan Yustinus membuktikan bahwa gereja-gereja mayoritas pada waktu itu, akibat karya dan kegiatan Marcion, mulai merasa perlu penetapan kanon kitab suci khas Kristen, tapi mereka tetap bingung bagaimana sebaiknya melakukan penetapan macam itu. Dengan penekanan atas kewibawaan tulisan-tulisan suci Yahudi, pemakaian Septuaginta, penyuntingan atas kitab-kitab Injil, serta pengelakan surat-surat Paulus, Yustinus kelihatannya hanya berupaya untuk mempertahankan dan memperkuat apa yang sudah biasa dalam lingkungan gereja-gereja mayoritas sebelum Marcion. Baru satu angkatan sesudah Yustinus, Irenaeus merintis jalan yang akan memungkinkan gereja-gereja mayoritas keluar dari kebingungan disebabkan Marcion.
Pengaruh Irenaeus
Irenaeus melayani selaku uskup kota Lyons di Gaulia (= Perancis sekarang), menjelang akhir abad kedua, tetapi, selaku pemikir teologi, ia berdiri pada garis tradisi jemaat-jemaat Asia Kecil, daerah ia lahir dan dibesarkan. Dari daerah itu juga berkenan dengan tulisan-tulisan yang sudah dihubungkan dengan nama rasul Yohanes (termasuk kitab Wahyu yang nama penulisnya Yohanes - waktu Irenaeus sudah disamakan dengan nama rasul Yohanes). Dan, waktu masih muda, Irenaeus sempat bergurau pada Polycarpus, uskup Smyrna di Asia Kecil. Jadi, kendatipun Irenaeus berperan selaku uskup di gereja barat, melalui tulisan-tulisannya dalam bahasa Yunani, ia lebih mewakili (lebih daripada, misalnya, pemimpin-pemimpin di Roma) dari tradisi kegerejaan, yang masih sangat menghargai surat-surat Paulus sebagai yang termasuk warisan rasuli, biarpun surat-surat Paulus itu amat disenangi orang-orang dalam lingkungan Marcion dan lingkungan gnostik (dan biarpun ada peringatan-peringatan mengenai surat-surat Paulus seperti yang terkandung di dalam II Petrus 3:15-16). Sekaligus, Irenaeus dapat mengacu kepada tulisan-tulisan yang telah dihubungkan (di Asia Kecil) dengan nama rasul Yohanes.
Apa yang dipegangi Irenaeus ini makin lama makin dimufakati gereja-gereja mayoritas sebagaii bagian terbesar di dalam kitab suci Kristen, bersama dengan tulisan-tulisan suci Yahudi yang Irenaeus pertahankan bagi umat Kristen dengan cara menfasirkan tulisan-tulisan suciYahudi secara typologis. Dasar untuk kitab suci yang sedemikian memang jauh lebih luas daripada pilihan Marcion. Unsur "rasul" dalam pilihan Irenaeus diperluas untuk mendekati "keduabelas rasul" sebagai ruang lingkupnya, karena di samping empat kitab Injil dan tigabelas surat Paulus, Irenaeus menerima dengan baik I Petrus, I dan II Yohanes, Wahyu (sebagai karangan rasul Yohanes), dan kitab Kisah, (menarik bahwa Irenaeus juga menerima Hermas!) Cukup berpengaruh kemudian hari bahwa Irenaeus tidak berusaha untuk menghasilkan satu kitab Injil, melalui cara harmonisasi, melainkan ia menerima empat kitab Injil yang sendiri-sendiri. Namun, Irenaeus mencerminkan adanya suatu keyakinan yang rupanya dianut luas pada waktu itu, yaitu keyakinan bahwa seharusnya ada hanya satu kitab Injil karena Injil Kristen sendiri memang satu, karena Irenaeus merasa perlu ia membenarkan adanya empat kitab Injil dengan menunjuk kepada kenyataan bahwa ada pula empat penjuru dunia! Luasnya (corak inklusif) pandangan Irenaeus mengenai kitab suci Kristen menjadi penting sekali selanjutnya. Sebetulnya, menurut pandangan ini, semua tulisan yang semula dipakai oleh jemaat-jemaat yang berdiri pada garis "pergantian rasuli", yaitu gereja-gereja mayoritas, sebaiknya diterima dalam kitab suci yang khas Kristen. Karena itu, tulisan-tulisan tertentu diterima, kendatipun diketahui bahwa penulisnya bukanlah seorang rasul (misalnya, kitab Markus dan kitab Lukas). Memang, kalau arti "rasul" dibatasi pada mereka yang pernah menjadi murid Yesus, maka Paulus sendiri tidak memenuhi syarat! Pada pihak lain, tulisan-tulisan tertentu tidak diterima juga diketahui bahwa tulisan-tulisan tersebut belum lama ditulis, kendatipun tulisan-tulisan tersebut sudah biasa dipakai dalam jemaat-jemaat tertentu. Dan hal pengilhaman (inspirasi) tidak diberi peranan sebagai tolok ukur karena adanya keyakinan bahwa semua orang Kristen diilhami Roh Kudus sejak baptisan mereka! Tulisan-tulisan yang diterima secara demikian dalam gereja-gereja mayoritas disebut "rasuli", dengan pengertian tulisan-tulisan ditulis oleh seorang rasul atau orang dekat pada rasul (dan Paulus tergolongkan selaku rasul). Tetapi, cap "rasuli" sebenarnya hanya merupakan pernyataan bahwa tulisan yang bersangkutan telah diterima oleh gereja-gereja mayoritas yang memandang dirinya selaku berdiri pada garis "pergantian rasuli". (Inilah sebabnya ada yang mengatakan bahwa kanon kitab suci Kristen berakar dalam "politik kegerejaan" pada waktu itu!)
Kanon Muratori
Mungkin daftar paling kuno yang menyebutkan tulisan-tulisan yang mulai disepakati sesuai dengan tolok ukur Irenaeus ialah daftar yang telah dinamai "kanon Muratori", karena naskah salinan dari abad 8 yang memuat daftar ini ditemukan oleh: L.S. Muratori, seorang juru perpustakaan di Italia pada abad 18. Dalam daftar ini ada empat kitab Injil dan kitab Kisah; tigabelas surat Paulus (tanpa Ibrani); Wahyu Yohanes dan Wahyu Petrus; Yudas; I dan II Yohanes; I Petrus; dan kebijaksanaan Salomo. Ada juga catatan mengenai tulisan-tulisan yang ditolak: surat-surat Paulus ke Laudicea dan Alexandria; tulisan-tulisan para penyesat seperti Valentinus, Marcion, dan lain-lain. Sebagian besar para pakar berkesimpulan bahwa daftar ini dibuat di sekitar tahun 200. Kalau tepat kesimpulan ini, berarti bahwa, pada waktu cukup awal dalam sejarah gereja-gereja mayoritas, semua tulisan utama sudah diterima ke dalam kanon kitab suci Kristen dan ada keterbukaan untuk menerima yang lain lagi, seperti "surat-surat Katolik" dan beberapa kitab Wahyu.
Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru
Pada waktu yang sama, kurang lebih tahun 200, Klemens Alexandrinus di wilayah gereja-gereja Timur dan Tertullianus di wilayah gereja-gereja Barat serentak mengembangkan pikiran bahwa tulisan-tulisan suci khas Kristen merupakan suatu "perjanjian baru", sedangkan tulisan-tulisan suci yang telah diwarisi dari Israel tepat dipegangi oleh masyarakat Kristen sebagai "perjanjian lama". Sejarah perkembangan perjanjian baru ini, sesudah tahun 200, ditandai dengan perdebatan mengenai beberapa kitab saja. Dari yang diperdebatkan tetapi akhirnya diterima dalam PB, kitab Injil Yohanes cukup lama dipersoalkan di gereja-gereja Barat karena perasaan bahwa isinya terlalu berwarna gnostik; sedangkan Wahyu Yohanes disangsikan di gereja-gereja Timur justru karena corak apokalyptik. Juga, banyak pemikir dan pemimpin kegerejaan tampak bingung mengenai kitab Ibrani; ada yang mau menolaknya karena ajaran di dalamnya bahwa tidak ada pengampunan untuk dosa yang dilakukan sesudah baptisan; ada, seperti Origenes, yang membela Ibrani, kendatipun Origenes mengaku bahwa "hanya Allah" yang tahu siapa yang menulis kitab itu; namun, akhirnya Ibrani diterima sebagai yang berasal dari Paulus, tetapi ditempatkan paling akhir di dalam kumpulan tulisan yang diasalkan kepada Paulus.
Tulisan-tulisan yang diperdebatkan tetapi akhirnya tidak diterima cukup banyak jumlahnya. Yang sering termuat di dalam daftar-daftar ialah macam Hermas, Barnabas, Didakhe, dan I dan II Klemens. Tetapi ada juga macam kisah Paulus, Wahyu Petrus dan Injil menurut orang-orang Ibrani. Bahkan, kebijaksanaan Salomo dan kebijaksanaan Bin Sirakh, dua tulisan dari kalangan Yahudi, kadang-kadang juga terdapat pada daftar-daftar Kristiani.
Namun demikian, gereja-gereja yang berbahasa Yunani dan Latin tampaknya, dalam abad keempat sesudah mencapai semacam mufakat mengenai dua puluh tujuh tulisan yang termuat di dalam surat edaran uskup Athanasius pada tahun 367 (yang sudah disinggung lebih dahulu dalam makalah ini). Gereja-gereja Siria, Mesir, dan Etiophia memang lama berbeda sedikit atau banyak, entah dengan jumlah 22 ataupun 35 tulisan! Tetapi, sekarang (akhir abad ke-20!), boleh dikatakan bahwa hampir setiap orang Kristen, di seluruh dunia, bagaimanapun hubungannya dengan lembaga kegerejaan, berpegang pada Perjanjian Baru yang terdiri dari 27 tulisan yang sama.
Kanon Perjanjian Baru Ditentukan Melalui Pemakaian
Meninjau sejarah perkembangan kanon Perjanjian Baru yang telah diringkaskan di atas, ada beberapa pikiran yang bermunculan. Penetapan kanon Perjanjian Baru merupakan suatu perkembangan yang berlangsung sehubungan dengan sejarah dunia ini dan teristimewa dengan sejarah persekutuan Kristen di dunia ini. Mula-mula, membuat tulisan saja (kecuali surat-surat) tidak terasa perlu karena keyakinan bahwa sejarah dunia ini akan segera berakhir. Dengan penantian eskhatologis itu berkurang menjelang akhir abad pertama, tulisan-tulisan Kristiani semakin banyak dihasilkan, antara lain karena semakin lebih banyak kelompok dan aliran Kristen dengan masing-masing pemahamannya mengenai iman serta moralitas Kristiani dan mengenai sistem organisasi dan pemerintahan yang sebaiknya untuk gereja-gereja. Sementara abad kedua, mayoritas orang Kristen semakin seragam mengenai pengakuan iman, cara hidup Kristiani, dan tata gereja yang mereka nilai benar atau baik untuk dipegangi dan dijalankan. Sekaligus semakin meningkat kepada mereka keyakinan bahwa tulisan-tulisan yang sesuai dengan iman, moral, dan tata arus/gereja tersebut dibedakan dan dipisahkan dari tulisan-tulisan yang menurut mereka, tidak sesuai. Tetapi, keputusan dalam hal ini tidak diambil dengan mengadakan sidang sinode ataupun menyerahkannya kepada kebijaksanaan pemimpin-pemimpin tertentu. Keputusan dalam hal ini terjadi melalui pemakaian dalam peribadahan, pengajaran, dan pewartaan, dari tulisan-tulisan yang terasa cocok oleh mayoritas Kristen itu, serta penolakan atau penghindaran tulisan-tulisan yang mereka rasakan sebagai tidak cocok. Bisa dikatakan, dengan kata lain, bahwa mayoritas Kristen lama-kelamaan mencapai mufakat dalam hal ini.
Kemudian hari, sampai masa kini, ada orang Kristen yang merasa alangkah lebih baik kalau, misalkan, Yudas dan II Petrus tidak diterima ke dalam kanon Perjanjian Baru, dan I Klemens dan surat-surat Ignatius diterima. Penilaian semacam ini tentu selalu bisa terjadi. Namun, kalau tulisan-tulisan utama yang diterima ke dalam Perjanjian Baru dibandingkan dengan puluhan-puluhan tulisan yang ada pada waktu itu dan tidak diterima, tampaknya kebanyakan orang (yang non-Kristen pun!) sependapat bahwa, dinilai dari berbagai pertimbangan, yang diterima mengungguli yang tidak diterima. Dan, melihat ini, tidak sedikit orang Kristen yang condong pada kesimpulan bahwa pemilihan yang terjadi pasti disebabkan bimbingan Roh Kudus!
Jadi, kanonisasi Perjanjian Baru termasuk fenomena sejarah; bisa dipahami mengapa terjadi dan bisa disyukuri bahwa hasilnya begitu baik, dibandingkan dengan alternatif-alternatif yang rupanya ada pada waktu itu, akan tetapi, dari sudut teologi Kristen, adanya kanon kitab suci menjadi masalah. Semua orang Kristen percaya bahwa Allah adalah Allah yang hidup, dan ini berarti, antara lain, bahwa Allah tetap menyatakan diri kepada manusia. Tetapi, kentara sekali kecenderungan pada orang Kristen untuk menilai sebagai hasil pewahyuan dari Allah - sebagai "firman Allah" - hanya tulisan-tulisan yang termuat di dalam kitab suci (PL dan PB). Memang, terhadap pertanyaan "tidakkah ada wahyu Allah sejak Perjanjian Baru?", orang Kristen menjawab ya", tetapi dalam pengertian entah (1) pendalaman atas "firman Allah" melalui penafsiran yang lebih tepat (pandangan Protestan) entah (2) bimbingan Roh Kudus kepada pimpinan gereja (pandangan Roma Katolik), ternyata masalah teologis yang dimunculkan oleh adanya kanon kitab suci belum terselesaikan.
Bagaimanapun juga, yang tak dapat disangkal ialah kenyataan bahwa Perjanjian Baru tidak mungkin digantikan dengan tulisan-tulisan lain. Pada tingkat empiris dan historis (dibandingkan dengan, katakanlah, tingkat rohani), hanya tulisan-tulisan Perjanjian Baru yang memungkinkan orang kemudian hari dapat berjalan surut (mundur) dalam sejarah sehingga menghampiri Yesus dan sejumlah orang Kristen pertama sebagaimana mereka ada secara nyata pada tempat dan waktu tertentu di dunia ini. Sampai sekarang, tidak ada kitab Injil yang menyediakan jumlah informasi tentang pewartaan dan perbuatan Yesus seperti yang disediakan sastra umum dari zaman Yesus atau tidak lama kemudian sedikit sekali jumlahnya serta remeh sifatnya. Demikian juga halnya mengenai rasul Paulus. Apalagi, apa yang tertera di dalam Perjanjian Baru mewakili pengalaman serta perenungan dari cukup banyak orang Kristen, pada angkatan-angkatan awal, yang maknanya tidak diketahui. Makanya, tepat dikatakan bahwa tiada sastra yang setara dengan Perjanjian Baru dan manusia umumnya, tidak hanya kaum Kristen, berterimakasih bahwa tulisan-tulisannya ditetapkan sebagai kanon Kristen, sehingga terpelihara sampai sekarang.
PUSTAKA ACUAN
1. Brown, /Raymond E. dan Collins, Raymond F. 1990. "Canonicity", di dalam The
New Jerome Biblical Commentary. Englewood cliffs. New Jersey: Prentice Hall,
hal. 1034-1054.
2. Koester, Helmut. History and Literature of Early Christianity. Volume Two. Introduction to the New Testament. (Philadelphia: Fortress Press, 1982), hal. 5-13.
3. Perrin, Norman dan Duling, Dennis C., The New Testament An Introduction. (New York: Harcourt Brace Jovanovich. Inc., 1982), hal. 435-446.
4. Sanders, J.N., "The Literature and Canon of the New Testament", di dalam Peake's Commentary of the Bible. (Sunbury-on-Thames, Middlesex: Thomas Nelson and Sons Ltd., 1976), hal. 676-682.
5. Sunberg, A.C., Jr., "Canon of the NT", di dalam The Interpreter's Dictionary of the Bible, Supplementary Volume. (Nashbille:Abingdon, 1976), hal. 136-140.
sumber: http://www.alkitab.or.id/index.php?option=com_content&task=view&id=149&Itemid=131
Oleh: Prof. Dr. Richard W. Haskin
Pengantar
Sekarang sudah diketahui (akibat penyelidikan dan penemuan yang terjadi terutama pada abad ini) bahwa, dalam kurun waktu dari pertengahan abad ke-1 M sampai akhir abad ke-2 M orang-orang yang memandang dirinya selaku orang Kristen (bagaimanapun penilaian terhadap mereka oleh gereja-gereja kemudian hari!) telah menghasilkan lebih dari seratus tulisan yang mengandung apa yang mereka mau tekankan sehubungan dengan iman dan cara hidup Kristiani. Namun, sejak abad ke-5 M hampir setiap orang Kristen, di mana saja di dunia ini, berpegang pada Perjanjian Baru sebagai suatu kumpulan tulisan yang terdiri dari dua puluh tujuh kitab. Apa yang terjadi dalam sejarah sehingga inilah kenyataan sekarang ini? Pertanyaan inilah yang mendasari pokok kanonisasi PB.
Arti Kanon
Istilah "kanon" berupa pengalihan secara hurufiah dari kata Yunani kanon yang berasal dari istilah bahasa-bahasa Semit yang berarti "buluh" (qaneh dalam bahasa Ibrani). Secara hurufiah, kata ini dipakai untuk mistar atau penggaris, seperti diperlukan tukang kayu atau jurutulis. Tetapi, kata ini juga dipakai dalam arti kiasan, antara lain, "patokan" dalam ajaran akhlak, filosofis, atau keagamaan dan "daftar" atau "katalogus". Di dalam 2Kor. 10:13, 15, 16, kata ini dipakai dengan artian "batas", dan di dalam Gal. 6:16, dalam arti "patokan" sehubungan dengan cara hidup. Dalam pemakaian kegerejaan, mula-mula kata ini digunakan untuk menunjuk akan patokan dalam ajaran atau doktrin Kristiani (terlihat misalnya di dalam I Klemens 7:2 atau di dalam tulisan-tulisan uskup Irenaeus; karena dalam bahasa Latin kata yang sepadan ialah regula, maka ungkapan regula fidel dipakai untuk menunjukkan patokan yang hendaknya dipegangi orang-orang Kristen dalam kepercayaan mereka). Eusebius (awal abad 4) memakai kata ini (dalam bentuk jamak) untuk daftar-daftar ayat-ayat yang sejajar di dalam kitab-kitab Injil. Juga dalam bentuk jamak, keputusan-keputusan dari Konsili Nikea dinamai kanon (jelas dengan artian yang lebih dekat pada "patokan"). Baru dengan uskup Athanasius, di dalam surat edaran untuk perayaan Paskah pada tahun 367, kata ini dipakai untuk kitab-kitab PB.
Pembagian Menurut Athanasius
Athanasius membedakan antara "buku-buku yang termasuk kanon dan yang telah diturunalihkan serta sebagai ilahi" dengan "buku-buku yang disebut apokryfa" yang katanya, para orang sesat mencampuradukkan dengan tulisan-tulisan suci yang berasal dari pengilhaman ilahi. Pemakaian kata kanon oleh Athanasius ini memperlihatkan pemakaian kegerejaan sejak abad keempat itu. Buku-buku digolongkan sebagai tulisan-tulisan suci apabila dinilai sebagai sesuai dengan patokan mengenai ajaran Kristiani yang benar sehubungan dengan kepercayaan dan cara hidup (akhlak) Kristiani. Tulisan-tulisan yang demikian dapat dicap "ilahi" atau disebut sebagai yang berasal dari pengilhaman ilahi, tetapi sebutan semacam ini julukan saja. Maksudnya: tiada pembuktian bahwa tulisan-tulisan berasal dari pengilhaman ilahi kecuali persetujuan bahwa tulisan-tulisan tersebut memang sesuai dengan patokan (kanon) mengenai kepercayaan dan cara hidup Kristiani. Tetapi, "persetujuan" pada siapakah? Menjawab pertanyaan ini tidak terlalu sulit jika diperhatikan pengacuan Athanasius kepada orang-orang sesat (bidat) dan jika diingat peranan Athanasius selaku pembesar dalam lembaga kegerejaan yang sedang bermunculan pada waktunya sebagai gereja Katolik purba, yang dimaksud dengan ungkapan "gereja Katolik purba" ialah bukan satu lembaga dengan satu pemimpin tertinggi (seperti, misalnya gereja Roma Katolik dengan Paus kemudian hari), melainkan gereja-gereja yang berada di sekitar Laut Tengah (terutama di dalam wilayah kekaisaran Roma) yang semakin seragam dalam kredo (pengakuan iman) moralitas (akhlak) dan sistim pemerintahan (keuskupan) dan yang mencakup dalam keanggotaannya sebagian besar (mayoritas) orang Kristen di wilayah tersebut. Oleh gereja-gereja ini, dengan pemimpin-pemimpinnya seperti uskup Athanasius, orang-orang Kristen yang berbeda dalam kredo, akhlak, dan sistim pemerintahan dicap dan ditentang selaku orang-orang sesat. Apalagi, demi kepentingan kesatuan kekaisaran Roma, sejak Kaisar Konstantinus (awal abad keempat), ada kecenderungan dari pemerintah kekaisaran untuk memihak pada gereja-gerja mayoritas ini serta mendukung kepemimpinannya, antara lain, dalam menindak gereja-gereja minoritas (yang dicap sesat atau bidat!).
Athanasius mencatat di dalam suratnya bahwa tulisan-tulisan suci Perjanjian Baru adalah: "empat kitab Injil menurut Matius, Markus, Lukas dan Yohanes, sesudah itu Kisah Para Rasul dan tujuh tulisan yang biasa disebut surat-surat Katolik dari rasul-rasul, yaitu, satu dari Yakobus, dua dari Petrus, lantas tiga dari Yohanes dan sesudah ini satu dari Yudas. Di samping ini ada empat belas surat dari rasul Paulus yang ditulis dalam urutan berikut: yang pertama kepada orang-orang
Roma, lantas dua kepada orang-orang Korintus dan yang sesudah ini satu kepada orang-orang Galatia, menyusul satu kepada orang-orang Efesus, kemudian yang satu kepada orang-orang Filipi dan satu kepada orang-orang Kolose dan dua kepada orang-orang Tesalonika dan surat kepada orang-orang Ibrani dan langsung dua kepada Timotius, satu kepada Titus dan terakhir kepada Filemon. Lantas lagi ada Wahyu dari Yohanes." Jumlah ini (dua puluh tujuh) dan sebutannya (nama-nama) sama dengan sekarang ini dalam kebanyakan gereja-gerja Kristen, walaupun urutannya sedikit berbeda. Jelaslah bahwa tulisan-tulisan Kristen, bagaimanapun dinilai mutunya, kalau tidak tercantum pada daftar ini (kanon), dianggap oleh athanasius sebagai yang tidak sesuai dengan patokan (kanon) kredo dan akhlak Kristiani, walaupun tidak ada catatan-catatan dari Athanasius mengenai yang mana, di luar dua puluh tujuh ini, mau digolongkannya sebagai sungguh-sunggu sesat dan yang mana hanya tidak jadi masuk daftar ini, kendatipun isinya tidak betul-betul sesat.
Tiga Kelompok Tulisan Kristen Kuno
Sebelum Athanasius, Eusebius sudah membagi tulisan-tulisan Kristen kuno ke dalam tiga kelompok: (1) yang diterima tanpa dipersoalkan oleh semua; (2) yang dipersoalkan atau diperdebatkan dan (3) yang jelas palsu (artinya, tidak sejati Kristiani, sesat). Sebetulnya, sejak awal abad ketiga, sudah ada kecenderungan untuk membuat pengelompokan semacam itu (misalnya, oleh Klemens dan Origenes dari Alexandria). Bagi gereja-gereja, yang diwakili macam Athanasius, kelompok (1) akhir-akhirnya terdiri dari dua puluh tujuh kitab yang seperti tercantum di dalam daftar Athanasius. Tetapi, sempai waktu Athanasius, bahkan lewatnya, ada kitab-kitab seperti Yakobus, Yudas, II Petrus, II dan III Yohanes, Ibrani, dan Wahyu yang dipersoalkan. Yang juga diperdebatkan ialah tulisan-tulisan seperti Didakhe (Ajaran keduabelas rasul), I Klemens, dan Gembala Hermas. Tiga tulisan ini, ditambah dengan II Klemens, surat-surat Ignatius, surat Policarpus, surat Barnabas, surat Diognetus, walaupun akhirnya tidak dimasukkan ke dalam kelompok (1), namun cukup tinggi dihargai oleh gereja-gereja mayoritas, dan, sejak abad ketujuhbelas dianggap sebagai satu kumpulan dan disebut "bapak-bapak rasuli". Semua tulisan lain, yang mungkin berjumlah sekitar tujuhpuluh buah (seperti telah disinggung di dalam alinea pertama makalah ini), oleh gereja-gereja mayoritas dimasukkan ke dalam kelompok (3). Tetapi, tulisan-tulisan tersebut bercorak pengungkapan iman dan akhlak Kristiani yang rupanya dipegangi dengan ikhlas oleh orang-orang yang mengaku diri orang Kristen, walaupun dengan perbedaan-perbedaan tertentu dibandingkan dengan orang-orang Kristen mayoritas. Jika diharapkan suatu pemahaman yang lebih lengkap tentang iman dan cara hidup Kristiani pada tahapan awal persekutuan Kristen, maka tulisan-tulisan perlu dipelajari juga tanpa prasangka bahwa isinya melulu ajaran sesat dari orang-orang penyesat!
Kitab Suci Umat Yahudi
Pada waktu persekutuan Kristen mulai ada, kanon, sebagai patokan iman dan akhlak serta daftar tulisan-tulisan yang sesuai dengan patokan itu, belum ada pada orang-orang Yahudi. Memang, kumpulan kitab-kitab hukum (Torah) sudah dianggap tertutup oleh mereka, dan demikian pula dengan kumpulan kitab-kitab para nabi. Di samping kedua kumpulan tertutup itu, ada cukup banyak tulisan yang dihargai oleh mereka sebagai yang bermutu sebagai keagamaan. Terutama di kalangan orang Yahudi di perantauan (Diaspora), yang bergantung pada bahasa Yunani, ada kitab-kitab yang dihargai yang kemudian hari tidak ada di dalam kitab suci Yahudi tetapi pada waktu dahulu ada di dalam Septuaginta, terjemahan Yunani dari Torah, nabi-nabi, dan sejumlah tulisan lain lagi, sebagian yang ditulis semula dalam bahasa Yunani. Orang-orang Kristen pertama pasti membaca dan menggemari juga tulisan-tulisan macam itu, seperti terlihat dalam acuan kepada Kenaikan Musa dalam Yudas 9 dan acuan kepada kitab I Henokh dalam Yudas 14-15. Jadi, persekutuan Kristen mewarisi tulisan-tulisan suci dari umat Yahudi, yaitu Torah dan nabi-nabi, tetapi tidak mewarisi sebuah kanon, ataupun dorongan untuk menetapkan sebuah kanon untuk persekutuan Kristen sendiri. Demikian pula tidak ada pemimpin ataupun sidang yang memerintahkan bahwa persekutuan Kristen harus memiliki suatu kanon kitab suci sendiri. Perkembangan ke arah penetapan kanon bermunculan dalam kehidupan persekutuan Kristen sepanjang lebih dari duaratus tahun sehubungan dengan keperluan-keperluan seperti keperluan akan bahan untuk ibadah, pewartaan dan katekisasi, dan sehubungan dengan perkembangan-perkembangan, antara lain kesadaran bahwa persekutuan Kristen berbeda dari persekutuan Yahudi, kesimpulan bahwa Kristus tidak akan segera kembali, penindasan dari pejabat-pejabat pemerintah, dan perpecahan serta pertentangan di antara orang Kristen sendiri.
Ucapan Yesus
Jadi, selama seratus tahun pertama, tidak ada dorongan yang berarti untuk menetapkan sebuah kanon dalam persekutuan Kristen. Tetapi, selama kurun waktu yang sama, tampaklah perkembangan yang memberikan kedudukan istimewa kepada bahan-bahan tertentu, entah bahan tersebut dalam bentuk lisan atau tertulis. Jelas yang pertama di sini ialah perkataan-perkataan Yesus (logika Yosua). Rasul Paulus, pada dasawarsa kelima abad pertama, beberapa kali mengacu kepada suatu logos Tuhan (= Yesus) untuk membenarkan atau mendukung sesuatu pendapat yang Paulus mau sampaikan kepada jemaat-jemaat asuhannya (mis. 1Tes. 4:15; 1Kor. 7:10; tetapi pengacuan macam ini tidak banyak, dan kenyataan ini tentu menimbulkan pertanyaan "mengapakah?". "Q", sumber perkataan-perkataan Yesus yang dipakai oleh Matius dan Lukas, tersusun pada dasawarsa keempat abad pertama, serta kumpulan logia Yesou yang sekarang dikenal sebagai "Injil Thomas" tersusun tidak lama sesudah "Q". Kedudukan istimewa mulai diberikan kepada surat-surat Paulus sendiri (entah berapa banyak!) dari akhir abad pertama, sebagaimana terdapat dalam acuan-acuan di dalam I Klemens dan di dalam surat-surat uskup Ignatius.
Tulisan Rasuli dan Non-Rasuli
Pada akhir abad pertama dan awal abad kedua, ada acuan-acuan kepada bahan yang mungkin sudah dikenal pada waktu tersebut sebagai bahan yang termuat di dalam tulisan-tulisan yang tidak lama kemudian biasa disebut kitab-kitab Injil (misalnya acuan-acuan yang terdapat di dalam Didakhe, Hermas, dan surat-surat Ignatius). Tetapi kepastian dalam hal ini cukup sulit, karena acuan-acuan ini bisa saja berkenaan dengan tradisi-tradisi lisan mengenai perkataan dan perbuatan Yesus, tradisi-tradisi yang masih dihargai paling sedikit sampai pertengahan abad kedua (misalnya Papuas, uskup kota Hierapolis di Asia Kecil, di sekitar tahun 130, menyatakan bahwa ia lebih suka "suara hidup itu", maksudnya tradisi lisan). Pada pihak lain, ada kemungkinan besar bahwa, pada parohan pertama abad kedua, sudah ada tulisan-tulisan yang berbentuk seperti kitab Injil, kitab kisah, atau kitab wahyu dan yang berasal dari kelompok-kelompok Kristen yang sedikit atau banyak berbeda dalam iman dan akhlak dengan mereka dari gereja-gereja mayoritas (maka, kelompok-kelompok ini suka dicap bidat atau sesat oleh mereka dari gereja-gereja mayoritas; sebutan yang jauh kemudian hari biasa dipakai untuk kelompok-kelompok yang berbeda ini ialah "gnostik", walaupun mereka cukup pelbagai). Tulisan-tulisan macam ini biasanya dikaitkan dengan nama seorang rasul; maka ada "Injil Thomas" dan "Kisah Thomas", ada "Apokryfon Yohanes" dan "kisah Yohanes", dan ada "Injil Petrus" serta "Wahyu (Apokalypse) Petrus". Perkembangan ini agaknya mempengaruhi pemimpin-pemimpin dari gereja-gereja mayoritas untuk mengaitkan dengan nama seorang rasul tulisan-tulisan yang mereka nilai lebih sesuai dengan iman dan akhlak yang Kristiani sejati. Ini tercermin dalam catatan uskup Papias yang menghubungkan Injil Markus (yang rupanya sudah mulai disebut "menurut Markus", walaupun tulisan itu sendiri tidak mengandung nama pengarang!) dengan rasul Petrus; dan Injil Matius, Papias tunjukan sebagai tulisan rasul Matius sendiri (kendatipun Papias tidak menulis "Kitab Injil" melainkan ia menulis bahwa Matius "mengumpulkan logia [Yesou] dalam bahasa Ibrani dan setiap orang mengartikannya semampu-mampunya). Pokoknya, pada kedua belah pihak, minoritas dan mayoritas, sudah mulai cara untuk menunjuk akan tulisan-tulisan yang dipegangi sebagai yang mengandung ajaran Kristiani yang benar, yaitu memakai wibawa dari nama seorang rasul, karena prapaham yang dianut semua pihak bahwa ajaran dari rasul-rasul pasti benar. Dengan demikian, sudah mulai kebiasaan untuk mempersoalkan apakah suatu tulisan rasuli (apostolic) atau tidak dan untuk menggunakan corak ini sebagai semacam tolok ukur juga.
Kanon Marcion
Yang sungguh-sungguh menjadi dorongan kuat untuk menetapkan kanon (dalam artian yang sudah diterangkan di atas) ialah tindakan dari seorang penatua (Presbyteros) di gereja Roma pada pertengahan abad kedua. Orang yang bernama Marcion ini berasal dari daerah Asia Kecil, tetapi sudah pindah dan bergiat di Roma. Menjelang tahun 140, ia dikucilkan dari gereja di Roma, rupanya karena ia dinilai radikal dan sebagai orang yang menyimpang dari ajaran benar Kristiani menurut gereja Roma. Sayang, karangan-karangannya dibinasakan oleh gereja-gereja mayoritas, sehingga sulit mengetahui seluk-beluk teologinya. Rupa-rupanya, Marcion menolak tulisan-tulisan suci Yahudi sebagai tulisan suci untuk orang Kristen karena, menurut dia, ilah yang disaksikan di dalam tulisan-tulisan Yahudi adalah ilah yang memerintah dunia ini, tetapi ilah itu bukanlah bapak Yesus Kristus dan sumber keselamatan. Bapak Yesus Kristus adalah ilah yang "asing" bagi jagad raya ini. Secara sepintas, pikiran ini kelihatan berdekatan dengan pemikiran yang biasa dijuluki gnostik, akan tetapi tidak mungkin seorang gnostik bisa menerima tulisan-tulisan suci Yahudi karena mereka menafsirkan tulisan-tulisan tersebut secara alegoristis, padahal Marcion menolak cara penafsiran yang sedemikian. Bagaimanapun juga, yang pokok ialah bahwa, menurut Marcion, orang Kristen salah kalau lagi berpegang pada kitab suci Yahudi. Orang Kristen harus berpegang pada suatu kitab suci yang khas Kristiani. Mengingat bahwa kitab suci Yahudi berpusat pada Torah dan nabi-nabi, maka Marcion menganjurkan supaya orang Kristen berpegang pada Injil dan rasul, yaitu kitab Injil Lukas serta surat-surat rasul Paulus.
Tetapi, Marcion berkeyakinan bahwa tulisan-tulisan tersebut tidak disimpan dan diturunalihkan dengan isi yang asli. Oleh karena itu, Marcion membuat semacam edisi kritis atas Injil Lukas dan surat-surat Paulus (10 buah: Gal., 1 dan 2Kor., Rm., 1 dan 2Tes., Laodicea [rupanya Ef.), Kol., Flp., dan Flm.) untuk menghilangkan bagian-bagian yang menurut dia, berupa tambahan dan penyisipan yang tidak asli, yaitu semua bahan yang mencerminkan atau berdekatan dengan tulisan-tulisan suci Yahudi. Yang sungguh-sungguh baru dalam tindakan Marcion ini ialah: (1) tulisan-tulisan Kristen tertentu kepada kedudukan sebagai Kitab Suci Kristen, yaitu kanon, dan sekaligus (2) penolakan tulisan-tulisan suci Yahudi (kurang lebih apa yang kemudian hari biasa disebut Perjanjian Lama oleh orang Kristen) sebagai Kitab Suci Kristen Marcion sendiri berkeyakinan bahwa, dalam tindakan ini, ia taat pada asas pandangan teologis Paulus: pembenaran berdasarkan hanya iman serta berakhirnya hukum Taurat seharusnya membuat persekutuan Kristen, selaku ciptaan baru, meninggalkan tulisan-tulisan Yahudi yang lama (PL) dan berpegang pada suatu Kitab yang khas Kristiani.
Pertentangan Terhadap Marcion
Pihak yang berhasil mengucilkan Marcion, pihak yang berusaha dengan kuat untuk menegaskan perbatasan di antara orang Kristen mayoritas dengan macam-macam kelompok minoritas, dalam menanggapi karya Marcion, melakukan hal-hal yang cukup aneh. Yustinus Martyrus (mati syahid kira-kira 165) merupakan contoh utama di sini, mengingat ia yang menulis karangan yang pertama yang dimaksud untuk menentang Marcion (tetapi sayang, karangan tersebut tidak jadi disimpan kemudian hari). Yustinus memakai kitab Injil Matius dan Lukas (mungkin juga Markus) tetapi dalam bentuk suatu edisi yang dibuatnya sendiri, edisi yang bercorak harmonisasi (bahan dirangkaikan sehingga tampak sebagai satu saja) kitab-kitab Injil tersebut, dan rupanya Yustinus tidak memandang tindakan ini sebagai mirip dengan apa yang dilakukan Marcion terhadap Injil Lukas. Surat-surat Paulus - bagian paling penting dalam "kanon" Marcion - sama sekali tidak dikutip atau diacu oleh Yustinus. Apakah ini mungkin terjadi karena Yustinus tidak mengenal surat-surat itu? Sulit mengambil kesimpulan yang begitu, mengingat bahwa Yustinus hidup dan berkarya di Roma di sekitar pertengahan abad kedua. Ataukah Yustinus mau menghindari surat-surat Paulus justru karena tulisan-tulisan itu begitu penting bagi Marcion? Bahan di dalam karangan-karangan Yustinus yang terasa sejajar dengan bahan di dalam kitab Injil Yohanes ternyata tidak diambil dari kitab Yohanes sendiri melainkan dari tradisi-tradisi kuno yang melatarbelakangi kitab Yohanes dan masih beredar pada waktu Yustinus. Apakah Yustinus menghindari kitab Injil Yohanes karena itulah kitab Injil yang paling disukai para pemikir dan penulis Kristen-Gnostik? Pada pihak lain, julukan Yustinus untuk kitab-kitab Injil ("kenang-kenangan para rasul") serta cara Yustinus mendekatkan kitab-kitab Injil kepada kewibawaan tulisan-tulisan suci bisa saja terjadi karena dampak karya dan kegiatan Marcion atas Yustinus sendiri.
Tindakan-tindakan Yustinus membuktikan bahwa gereja-gereja mayoritas pada waktu itu, akibat karya dan kegiatan Marcion, mulai merasa perlu penetapan kanon kitab suci khas Kristen, tapi mereka tetap bingung bagaimana sebaiknya melakukan penetapan macam itu. Dengan penekanan atas kewibawaan tulisan-tulisan suci Yahudi, pemakaian Septuaginta, penyuntingan atas kitab-kitab Injil, serta pengelakan surat-surat Paulus, Yustinus kelihatannya hanya berupaya untuk mempertahankan dan memperkuat apa yang sudah biasa dalam lingkungan gereja-gereja mayoritas sebelum Marcion. Baru satu angkatan sesudah Yustinus, Irenaeus merintis jalan yang akan memungkinkan gereja-gereja mayoritas keluar dari kebingungan disebabkan Marcion.
Pengaruh Irenaeus
Irenaeus melayani selaku uskup kota Lyons di Gaulia (= Perancis sekarang), menjelang akhir abad kedua, tetapi, selaku pemikir teologi, ia berdiri pada garis tradisi jemaat-jemaat Asia Kecil, daerah ia lahir dan dibesarkan. Dari daerah itu juga berkenan dengan tulisan-tulisan yang sudah dihubungkan dengan nama rasul Yohanes (termasuk kitab Wahyu yang nama penulisnya Yohanes - waktu Irenaeus sudah disamakan dengan nama rasul Yohanes). Dan, waktu masih muda, Irenaeus sempat bergurau pada Polycarpus, uskup Smyrna di Asia Kecil. Jadi, kendatipun Irenaeus berperan selaku uskup di gereja barat, melalui tulisan-tulisannya dalam bahasa Yunani, ia lebih mewakili (lebih daripada, misalnya, pemimpin-pemimpin di Roma) dari tradisi kegerejaan, yang masih sangat menghargai surat-surat Paulus sebagai yang termasuk warisan rasuli, biarpun surat-surat Paulus itu amat disenangi orang-orang dalam lingkungan Marcion dan lingkungan gnostik (dan biarpun ada peringatan-peringatan mengenai surat-surat Paulus seperti yang terkandung di dalam II Petrus 3:15-16). Sekaligus, Irenaeus dapat mengacu kepada tulisan-tulisan yang telah dihubungkan (di Asia Kecil) dengan nama rasul Yohanes.
Apa yang dipegangi Irenaeus ini makin lama makin dimufakati gereja-gereja mayoritas sebagaii bagian terbesar di dalam kitab suci Kristen, bersama dengan tulisan-tulisan suci Yahudi yang Irenaeus pertahankan bagi umat Kristen dengan cara menfasirkan tulisan-tulisan suciYahudi secara typologis. Dasar untuk kitab suci yang sedemikian memang jauh lebih luas daripada pilihan Marcion. Unsur "rasul" dalam pilihan Irenaeus diperluas untuk mendekati "keduabelas rasul" sebagai ruang lingkupnya, karena di samping empat kitab Injil dan tigabelas surat Paulus, Irenaeus menerima dengan baik I Petrus, I dan II Yohanes, Wahyu (sebagai karangan rasul Yohanes), dan kitab Kisah, (menarik bahwa Irenaeus juga menerima Hermas!) Cukup berpengaruh kemudian hari bahwa Irenaeus tidak berusaha untuk menghasilkan satu kitab Injil, melalui cara harmonisasi, melainkan ia menerima empat kitab Injil yang sendiri-sendiri. Namun, Irenaeus mencerminkan adanya suatu keyakinan yang rupanya dianut luas pada waktu itu, yaitu keyakinan bahwa seharusnya ada hanya satu kitab Injil karena Injil Kristen sendiri memang satu, karena Irenaeus merasa perlu ia membenarkan adanya empat kitab Injil dengan menunjuk kepada kenyataan bahwa ada pula empat penjuru dunia! Luasnya (corak inklusif) pandangan Irenaeus mengenai kitab suci Kristen menjadi penting sekali selanjutnya. Sebetulnya, menurut pandangan ini, semua tulisan yang semula dipakai oleh jemaat-jemaat yang berdiri pada garis "pergantian rasuli", yaitu gereja-gereja mayoritas, sebaiknya diterima dalam kitab suci yang khas Kristen. Karena itu, tulisan-tulisan tertentu diterima, kendatipun diketahui bahwa penulisnya bukanlah seorang rasul (misalnya, kitab Markus dan kitab Lukas). Memang, kalau arti "rasul" dibatasi pada mereka yang pernah menjadi murid Yesus, maka Paulus sendiri tidak memenuhi syarat! Pada pihak lain, tulisan-tulisan tertentu tidak diterima juga diketahui bahwa tulisan-tulisan tersebut belum lama ditulis, kendatipun tulisan-tulisan tersebut sudah biasa dipakai dalam jemaat-jemaat tertentu. Dan hal pengilhaman (inspirasi) tidak diberi peranan sebagai tolok ukur karena adanya keyakinan bahwa semua orang Kristen diilhami Roh Kudus sejak baptisan mereka! Tulisan-tulisan yang diterima secara demikian dalam gereja-gereja mayoritas disebut "rasuli", dengan pengertian tulisan-tulisan ditulis oleh seorang rasul atau orang dekat pada rasul (dan Paulus tergolongkan selaku rasul). Tetapi, cap "rasuli" sebenarnya hanya merupakan pernyataan bahwa tulisan yang bersangkutan telah diterima oleh gereja-gereja mayoritas yang memandang dirinya selaku berdiri pada garis "pergantian rasuli". (Inilah sebabnya ada yang mengatakan bahwa kanon kitab suci Kristen berakar dalam "politik kegerejaan" pada waktu itu!)
Kanon Muratori
Mungkin daftar paling kuno yang menyebutkan tulisan-tulisan yang mulai disepakati sesuai dengan tolok ukur Irenaeus ialah daftar yang telah dinamai "kanon Muratori", karena naskah salinan dari abad 8 yang memuat daftar ini ditemukan oleh: L.S. Muratori, seorang juru perpustakaan di Italia pada abad 18. Dalam daftar ini ada empat kitab Injil dan kitab Kisah; tigabelas surat Paulus (tanpa Ibrani); Wahyu Yohanes dan Wahyu Petrus; Yudas; I dan II Yohanes; I Petrus; dan kebijaksanaan Salomo. Ada juga catatan mengenai tulisan-tulisan yang ditolak: surat-surat Paulus ke Laudicea dan Alexandria; tulisan-tulisan para penyesat seperti Valentinus, Marcion, dan lain-lain. Sebagian besar para pakar berkesimpulan bahwa daftar ini dibuat di sekitar tahun 200. Kalau tepat kesimpulan ini, berarti bahwa, pada waktu cukup awal dalam sejarah gereja-gereja mayoritas, semua tulisan utama sudah diterima ke dalam kanon kitab suci Kristen dan ada keterbukaan untuk menerima yang lain lagi, seperti "surat-surat Katolik" dan beberapa kitab Wahyu.
Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru
Pada waktu yang sama, kurang lebih tahun 200, Klemens Alexandrinus di wilayah gereja-gereja Timur dan Tertullianus di wilayah gereja-gereja Barat serentak mengembangkan pikiran bahwa tulisan-tulisan suci khas Kristen merupakan suatu "perjanjian baru", sedangkan tulisan-tulisan suci yang telah diwarisi dari Israel tepat dipegangi oleh masyarakat Kristen sebagai "perjanjian lama". Sejarah perkembangan perjanjian baru ini, sesudah tahun 200, ditandai dengan perdebatan mengenai beberapa kitab saja. Dari yang diperdebatkan tetapi akhirnya diterima dalam PB, kitab Injil Yohanes cukup lama dipersoalkan di gereja-gereja Barat karena perasaan bahwa isinya terlalu berwarna gnostik; sedangkan Wahyu Yohanes disangsikan di gereja-gereja Timur justru karena corak apokalyptik. Juga, banyak pemikir dan pemimpin kegerejaan tampak bingung mengenai kitab Ibrani; ada yang mau menolaknya karena ajaran di dalamnya bahwa tidak ada pengampunan untuk dosa yang dilakukan sesudah baptisan; ada, seperti Origenes, yang membela Ibrani, kendatipun Origenes mengaku bahwa "hanya Allah" yang tahu siapa yang menulis kitab itu; namun, akhirnya Ibrani diterima sebagai yang berasal dari Paulus, tetapi ditempatkan paling akhir di dalam kumpulan tulisan yang diasalkan kepada Paulus.
Tulisan-tulisan yang diperdebatkan tetapi akhirnya tidak diterima cukup banyak jumlahnya. Yang sering termuat di dalam daftar-daftar ialah macam Hermas, Barnabas, Didakhe, dan I dan II Klemens. Tetapi ada juga macam kisah Paulus, Wahyu Petrus dan Injil menurut orang-orang Ibrani. Bahkan, kebijaksanaan Salomo dan kebijaksanaan Bin Sirakh, dua tulisan dari kalangan Yahudi, kadang-kadang juga terdapat pada daftar-daftar Kristiani.
Namun demikian, gereja-gereja yang berbahasa Yunani dan Latin tampaknya, dalam abad keempat sesudah mencapai semacam mufakat mengenai dua puluh tujuh tulisan yang termuat di dalam surat edaran uskup Athanasius pada tahun 367 (yang sudah disinggung lebih dahulu dalam makalah ini). Gereja-gereja Siria, Mesir, dan Etiophia memang lama berbeda sedikit atau banyak, entah dengan jumlah 22 ataupun 35 tulisan! Tetapi, sekarang (akhir abad ke-20!), boleh dikatakan bahwa hampir setiap orang Kristen, di seluruh dunia, bagaimanapun hubungannya dengan lembaga kegerejaan, berpegang pada Perjanjian Baru yang terdiri dari 27 tulisan yang sama.
Kanon Perjanjian Baru Ditentukan Melalui Pemakaian
Meninjau sejarah perkembangan kanon Perjanjian Baru yang telah diringkaskan di atas, ada beberapa pikiran yang bermunculan. Penetapan kanon Perjanjian Baru merupakan suatu perkembangan yang berlangsung sehubungan dengan sejarah dunia ini dan teristimewa dengan sejarah persekutuan Kristen di dunia ini. Mula-mula, membuat tulisan saja (kecuali surat-surat) tidak terasa perlu karena keyakinan bahwa sejarah dunia ini akan segera berakhir. Dengan penantian eskhatologis itu berkurang menjelang akhir abad pertama, tulisan-tulisan Kristiani semakin banyak dihasilkan, antara lain karena semakin lebih banyak kelompok dan aliran Kristen dengan masing-masing pemahamannya mengenai iman serta moralitas Kristiani dan mengenai sistem organisasi dan pemerintahan yang sebaiknya untuk gereja-gereja. Sementara abad kedua, mayoritas orang Kristen semakin seragam mengenai pengakuan iman, cara hidup Kristiani, dan tata gereja yang mereka nilai benar atau baik untuk dipegangi dan dijalankan. Sekaligus semakin meningkat kepada mereka keyakinan bahwa tulisan-tulisan yang sesuai dengan iman, moral, dan tata arus/gereja tersebut dibedakan dan dipisahkan dari tulisan-tulisan yang menurut mereka, tidak sesuai. Tetapi, keputusan dalam hal ini tidak diambil dengan mengadakan sidang sinode ataupun menyerahkannya kepada kebijaksanaan pemimpin-pemimpin tertentu. Keputusan dalam hal ini terjadi melalui pemakaian dalam peribadahan, pengajaran, dan pewartaan, dari tulisan-tulisan yang terasa cocok oleh mayoritas Kristen itu, serta penolakan atau penghindaran tulisan-tulisan yang mereka rasakan sebagai tidak cocok. Bisa dikatakan, dengan kata lain, bahwa mayoritas Kristen lama-kelamaan mencapai mufakat dalam hal ini.
Kemudian hari, sampai masa kini, ada orang Kristen yang merasa alangkah lebih baik kalau, misalkan, Yudas dan II Petrus tidak diterima ke dalam kanon Perjanjian Baru, dan I Klemens dan surat-surat Ignatius diterima. Penilaian semacam ini tentu selalu bisa terjadi. Namun, kalau tulisan-tulisan utama yang diterima ke dalam Perjanjian Baru dibandingkan dengan puluhan-puluhan tulisan yang ada pada waktu itu dan tidak diterima, tampaknya kebanyakan orang (yang non-Kristen pun!) sependapat bahwa, dinilai dari berbagai pertimbangan, yang diterima mengungguli yang tidak diterima. Dan, melihat ini, tidak sedikit orang Kristen yang condong pada kesimpulan bahwa pemilihan yang terjadi pasti disebabkan bimbingan Roh Kudus!
Jadi, kanonisasi Perjanjian Baru termasuk fenomena sejarah; bisa dipahami mengapa terjadi dan bisa disyukuri bahwa hasilnya begitu baik, dibandingkan dengan alternatif-alternatif yang rupanya ada pada waktu itu, akan tetapi, dari sudut teologi Kristen, adanya kanon kitab suci menjadi masalah. Semua orang Kristen percaya bahwa Allah adalah Allah yang hidup, dan ini berarti, antara lain, bahwa Allah tetap menyatakan diri kepada manusia. Tetapi, kentara sekali kecenderungan pada orang Kristen untuk menilai sebagai hasil pewahyuan dari Allah - sebagai "firman Allah" - hanya tulisan-tulisan yang termuat di dalam kitab suci (PL dan PB). Memang, terhadap pertanyaan "tidakkah ada wahyu Allah sejak Perjanjian Baru?", orang Kristen menjawab ya", tetapi dalam pengertian entah (1) pendalaman atas "firman Allah" melalui penafsiran yang lebih tepat (pandangan Protestan) entah (2) bimbingan Roh Kudus kepada pimpinan gereja (pandangan Roma Katolik), ternyata masalah teologis yang dimunculkan oleh adanya kanon kitab suci belum terselesaikan.
Bagaimanapun juga, yang tak dapat disangkal ialah kenyataan bahwa Perjanjian Baru tidak mungkin digantikan dengan tulisan-tulisan lain. Pada tingkat empiris dan historis (dibandingkan dengan, katakanlah, tingkat rohani), hanya tulisan-tulisan Perjanjian Baru yang memungkinkan orang kemudian hari dapat berjalan surut (mundur) dalam sejarah sehingga menghampiri Yesus dan sejumlah orang Kristen pertama sebagaimana mereka ada secara nyata pada tempat dan waktu tertentu di dunia ini. Sampai sekarang, tidak ada kitab Injil yang menyediakan jumlah informasi tentang pewartaan dan perbuatan Yesus seperti yang disediakan sastra umum dari zaman Yesus atau tidak lama kemudian sedikit sekali jumlahnya serta remeh sifatnya. Demikian juga halnya mengenai rasul Paulus. Apalagi, apa yang tertera di dalam Perjanjian Baru mewakili pengalaman serta perenungan dari cukup banyak orang Kristen, pada angkatan-angkatan awal, yang maknanya tidak diketahui. Makanya, tepat dikatakan bahwa tiada sastra yang setara dengan Perjanjian Baru dan manusia umumnya, tidak hanya kaum Kristen, berterimakasih bahwa tulisan-tulisannya ditetapkan sebagai kanon Kristen, sehingga terpelihara sampai sekarang.
PUSTAKA ACUAN
1. Brown, /Raymond E. dan Collins, Raymond F. 1990. "Canonicity", di dalam The
New Jerome Biblical Commentary. Englewood cliffs. New Jersey: Prentice Hall,
hal. 1034-1054.
2. Koester, Helmut. History and Literature of Early Christianity. Volume Two. Introduction to the New Testament. (Philadelphia: Fortress Press, 1982), hal. 5-13.
3. Perrin, Norman dan Duling, Dennis C., The New Testament An Introduction. (New York: Harcourt Brace Jovanovich. Inc., 1982), hal. 435-446.
4. Sanders, J.N., "The Literature and Canon of the New Testament", di dalam Peake's Commentary of the Bible. (Sunbury-on-Thames, Middlesex: Thomas Nelson and Sons Ltd., 1976), hal. 676-682.
5. Sunberg, A.C., Jr., "Canon of the NT", di dalam The Interpreter's Dictionary of the Bible, Supplementary Volume. (Nashbille:Abingdon, 1976), hal. 136-140.
sumber: http://www.alkitab.or.id/index.php?option=com_content&task=view&id=149&Itemid=131
Jumat, 28 September 2012
LATAR BELAKANG BUDAYA ALKITAB PERJANJIAN LAMA
LATAR BELAKANG BUDAYA ALKITAB PERJANJIAN LAMA
Oleh: Dr. Hermogenens Ugang
Pendahuluan
Yang dimaksudkan dengan budaya Alkitab Perjanjian Lama ialah budaya manusia yang hidup di zaman di mana peristiwa-peristiwa yang tertulis dalam Alkitab Perjanjian Lama terjadi. Secara khusus dapat dikatakan bahwa manusia yang dimaksud ialah bangsa Israel atau lebih khusus lagi, bapak-bapak leluhur bangsa Israel seperti Abraham, Ishak dan Yakub. Yang termasuk juga dalam bahasan ini ialah bangsa-bangsa di sekitar Israel seperti Mesir, Asyur, Babilonia, Elam, Goyim, dan lain-lainnya yang pernah ada kontak dengan bangsa Israel. Tentu saja peristiwa-peristiwa yang terjadi pada zaman itu kita coba untuk mengungkapkannya sebagai peristiwa sejarah walaupun penulis Alkitab sendiri melihatnya sebagai peristiwa dan moral mengandung nilai-nilai rohani yang memberikan nilai-nilai etis dan moral bagi kehidupan bangsa Israel.
Maksud dari tulisan ini ialah untuk menggambarkan peri kehidupan bangsa-bangsa tersebut di atas pada zaman Perjanjian Lama sejak zaman leluhur bangsa Israel (kira-kira 1900 tahun s.M) [1] sampai kedatangan Kristus di zaman Perjanjian Baru (awal abad pertama). Dengan memberikan gambaran seperti itu diharapkan para pembaca Alkitab dapat memahami ungkapan-ungkapan dalam Alkitab yang kedengarannya mungkin asing. Misalnya kalau kita baca ayat dari Yosua :6, 8 dalam Alkitab Terjemahan Baru (Alkitab TB) terdapat cerita tentang Rahab yang menyembunyikan dua orang intel Israel di atas "sotoh rumah"nya (atap rumahnya). Juga dalam Matius 10:27 dikatakan, "apa yang dibisikkan ke telingamu, beritakanlah itu dari atas atap rumah." Secara sepintas lalu kita akan merasa aneh dan pasti bertanya mengapa harus memberitakannya dari atas atap rumah? Kalau kitai ngat akan atap rumah kita, maka hal itu aneh untuk dilakukan. Tetapi menurut budaya rumah bangsa Israel, atau budaya bangsa-bangsa di sekitar bangsa Israel hal itu mungkin saja terjadi karena rumah orang di wilayah itu berbentuk kotak dan atapnya datar sehingga bisa dipakai untuk melakukan banyak macam kegiatan. Untuk mencapai maksud tersebut, mau tidak mau kita juga meneliti banyak hal yang dikatakan dalam studi tentang purbakala (arkeologi) Alkitab.
LELUHUR ISRAEL
1. Abraham dan Keluarganya
Kehidupan masyarakat di zaman ini ditandai dengan cara hidup berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain untuk mencari lahan tempat memelihara ternak ataupun bercocok tanam. Cara hdup berpindah-pindah ini mengingatkan kita kepada Abraham setelah ia dipanggil oleh Tuhan untuk meninggalkan sanak keluarganya di Haran dan pergi ke tempat lain yang akan ditunjukkan Tuhan kepadanya. Ternyata kemudian bahwa Abraham dengan keluarganya tiba di sebuah pohon kayu keramat di More dekat Sikhem di tanah Kanaan. Ini berarti bahwa Abraham telah menelusuri wilayah "bulan sabit" dari Timur ke arah Barat, suatu perjalanan panjang yang kemudian hari juga pernah dijelajah oleh Yakub cucu Abraham, dan oleh orang Cendikiawan dari Timur yang menjajagi kelahiran Tuhan Yesus.
Pohon kayu keramat tadi disebut demikian (terbantin: TB) karena dahulunya pohon kayu itu dipakai oleh orang Kanaan untuk menyembah dewa mereka.[2] Tetapi Abraham mendirikan mezbahnya di tempat itu untuk menyembah Tuhan. Di zaman itu mezbah dipakai orang untuk tempat memotong hewan yang dikurbankan bagi yang disembah sehingga cara-cara Abraham menyembah Tuhan tidak ubahnya dengan cara-cara orang Kanaan menyembah dewa mereka. Pandangan para leluhur Israel terhadap Tuhan pun sama saja dengan pandangan orang-orang Kanaan dengan dewa mereka. Tuhan adalah pelindung atau perisai (Kej. 15: 1) yang selalu menjaga para leluhur dari segala macam bahaya dan memberikan kepada mereka harta kekayaan yang mereka perlukan. Semakin kaya sang leluhur berarti semakin banyak pula berkat material yang diberikan kepada mereka (lih. Mzm. 128, 144). Walaupun kelihatannya ada kesamaan cara ibadat antara Abraham dengan bangsa-bangsa lain, namun ada perbedaan besar antara Allah Abraham dengan dewa bangsa-bangsa lain yaitu, bahwa dewa-dewa atau ilah-ilah bangsa-bangsa lain adalah ilah lokal yang hanya bisa disembah di tempat tertentu saja, sedangkan Allah Abraham adalah Allah yang tidak terikat dengan suatu tempat sehingga Ia bisa disembah di mana-mana tempat.
Abraham yang disuruh pergi oleh Tuhan dari rumah orang tuanya di Haran, tidak pergi sendirian tetapi pergi bersama-sama dengan kaum kerabatnya dan hamba-hambanya. Termasuk dalam kafilah Abraham itu ialah kemanakannya sendiri yang bernama Lot. Peranan Abraham dalam rombongan besar itu ialah sebagai seorang kepala suku dan juga kepala adat. Dan juga panglima perang yang mengatur sasat perang untuk mengalahkan musuh. Tentu saja cara hidup berpindah-pindah (nomadisme) ini memerlukan ketangguhan yang istimewa dan mental disiplin yang tnggi. Abraham dalam hal ini mengandalkan kekuatan dari Tuhan yang menjadi Pelindungnya. Dalam Alkitab dikatakan bahwa Allah itu adalah "Allah yang dipuja Abraham dan Ishak" (Kej. 28:13) . Kemudian hari, di kalangan orang Israel sendiri Allah itu juga yang dikenal sebagai Allah Abraham, Ishak dan Yakub.[3] Setelah Israel resmi menjadi satu bangsa sama seperti bangsa-bangsa lain di sekitar mereka, maka Allah ini juga yang menjadi Allah Israel (Yer. 31:33; Yeh. 37:27; Hos. 2:23).
2. Kontak Dengan Suku Bangsa Lain
Selama hidup mengembara di kawasan "bulan sabit" yang subur ini, Abraham dan keluarganya serta kaum kerabatnya telah mengalami kontak sosial dengan suku-suku bangsa lain entah dengan sengaja atau tidak sengaja, entah karena terpaksa atau secara sukarela. Diantara sekian banyak kontak yang terjadi, Kitab Kejadian mengisahkan antara lain tentang pertemuan Abraham dengan raja Mesir (Kej. 12:10-20). Menurut tradisi kuno bangsa Israel, ceritera ini seyogyanya mengenai Ishak, namun kemudian di wilayah selatan cerita ini dikembangkan sedemikan rupa lalu menyebut Abraham sebagai primadona cerita itu. Suatu kecenderungan untuk menempatkan Abraham pada titik pusat perhatian umat dan menempatkan martabat dan derajatnya setara dengan raja Mesir yang basa disebut Firaun.
Istilah Firaun sendiri mempunyai arti yang khusus pula karena nama itu berasal dari bahasa Akadia pir'u yang berarti Balai Agung.[4] Karena pada zaman itu raja yang memerintah suatu negeri biasanya bersemayam di Bala Agung, maka istilah Balai Agung itu sendiri kemudian berkembang menjadi gelar sang raja. Jadi kalau kita membaca istilah Firaun dalam Alkitab terutama Alkitab Perjanjian Lama, maka kita membaca tentang seorang raja penguasa yang bersemayam di Balai Agung. Cara memberi gelar kepada raja seperti itu mirip-mirip dengan cara kita orang Indonesia dari Jawa memberikan gelar kepada para Sultan d Jawa Tengah sepert Sultan Paku Alam di Surakarta dan Sultan Hamengkubuwono di Yogya di mana nama gelar kemudian berkembang menjadi nama pribadi.
Pertemuan Abraham dengan Firaun ini sangat penting untuk memperlihatkan Abraham sebagai leluhur bangsa Israel yang mempunyai identitas tersendiri. Dari Abrahamlah kemudian hari muncul suatu bangsa yang besar yang tidak lebih rendah martabatnya dari bangsa Mesir. Sebaiknya kita ketahui juga bahwa pada zaman Abraham, justru Firaun raja Mesir itu dipandang sebagai lambang kejayaan dan keemasan bangsa Mesr di wilayah "bulan sabit" yang subur itu. Banyak raja-raja Mesir yang digelar Firaun itu menyandang nama-nama pribadi yang mentereng dan masing-masng mempunyai makna tersendiri. Misalnya Raja Firaun yang bernama Ramses artinya "yang dilahirkan oleh Dewa Ra" (Ra adalah dewa matahari). Atau Raja Firaun yang bernama Amenhotep artinya "Dewa Amon yang dipuaskan."
Raja-raja lainnya yang pernah kontak (secara militer) dengan Abraham ialah empat raja masing-masing dari Elam, Goyim, Babilonia dan dar Elasar (Kej. 14). Tadinya empat raja ini berperang melawan raja-raja Sodom, Gomora, Adma, Zeboim dan Bela dan kelima raja terakhir itu dapat dikalahkan. Harta benda dan penduduk Sodom dan Gomora dirampas dan dibawa sebagai tawanan termasuk didalamnya Lot kemanakan Abraham. Mendengar akan hal itu Abraham dengan anak buahnya sebanyak 318 orang maju dan mengejar empat raja yang menawan Lot dan berhasil merebut kemanakannya itu dari tangan mereka. Demikian juga barang-barang mereka dapat direbut kembali. Rupanya sejak itulah nama Abraham semakn dikenal dan disegani di wilayah bulan sabit itu.
PERKEBUNAN
Di zaman leluhur ini maupun di zaman berikutnya (di zaman raja-raja), ada tiga hasil perkebunan yang utama yaitu, anggur, pohon zaitun dan gandum. Sebagaimana tertulis dalam Alkitab, ketiga jens hasil perkebunan ini mempunyai peranan penting dalam kehidupan orang Israel baik secara sekuler maupun secara rohani (keagamaan).
Pada zaman Perjanjian Lama anggur diusahakan sebagai tanaman perkebunan yang menjadi salah satu sumber penghasilan yang sangat menguntungkan secara material (keuangan). Nuh adalah petani kebun anggur yang pertama (Kej. 9:20). Di zaman raja-raja kita mendengar cerita tentang Raja Ahab yang ingin membeli kebun anggur Nabot tetapi Nabot tidak mau menjualnya (1Raj. 21:1-4). Rupa-rupanya pengusahaan anggur adalah permulaan dari peradaban manusia[5] karena ada bukti-bukti bahwa anggur sudah diusahakan di Mesir sebelum zaman dinasti Mesir. Berhubung anggur adalah tanaman kesayangan di zaman purbakala, maka Israel diumpamakan sebagai kebun anggur pilihan Tuhan yang dibawa dari Mesir dan ditanam oleh Tuhan (Mzm. 80:8-13). Walaupun Israel adalah anggur pilihan, namun ia bisa juga berubah menjadi "anggur hutan" (Yer. 2:21; Yes. 5:1-7; Hos. 10:1). Sama halnya dengan batang dan dahan, anggur berguna sebagai kayu bakar bagi kaum ibu yang memasak di dapur, demikian pula Israel cocok untuk dibumihanguskan. Namun waktunya akan datang bilamana Israel diampuni maka keadaannya sama seperti Israel yang "dihadiahkan kebun anggur" yang berarti bahwa setiap situasi yang melimpah ruah material itulah pertanda bahwa Allah berkenan kepada umat-Nya.
Dalam Perjanjian Baru Yesus sering memakai kebun anggur sebagai perumpamaan. Ia membandingkan Kerajaan Allah dengan karyawan seharian, setengah harian dan bahkan satu jam saja; namun masing-masng menerima upah yang sama (Mat. 20:1-16). Orang Yahudi digambarkan sebagai para penggarap yang disuruh pemiliknya untuk menggarap kebun anggurnya. Namun para penggarap itu diumpamakan sebagai penjahat karena mereka memukul orang-orang yang dikirim pemilik kebun anggur (Allah) untuk mengumpulkan buah-buahnya. Malahan akhirnya para penggarap yang jahat itu membunuh anak pemilik kebun (Kristus) supaya mereka bisa menguasai kebun itu. Tentu saja para penggarap itu dihukum mati dan kebun anggur disewakan kepada orang-orang lain (orang Krsten; Mat. 21:33-43).
Kebun anggur menjadi terkenal sebagai sumber penghasilan yang laris karena air anggurnya dipakai untuk berbagai jenis keperluan. Selain keperluan hidup sehari-hari (minuman) air anggur dipakai juga dalam pesta (banquet) untuk minuman. Ada kalanya air anggur termasuk bahan yang disediakan untuk upeti kepada penguasa atau hadiah kepada atasan. Misalnya Abigail dan Ziba membawa kirbat air anggur kepada Daud (1Sam. 25:18; 2Sam. 16:1). Sehubungan dengan itu semua, anggur telah menjadi bahan komoditi yang laris dalam perniagaan.
Selain diminum, anggur juga dipakai sebagai bahan medis. Ia dapat membangkitkan kembali orang yang pingsan (2Sam. 16:2) dan biasanya dilukiskan sebagai penolong pencernaan "... minumlah sedikit anggur untuk menolong pencernaanmu..." (1Tim. 5:23). Dalam Luk. 10:34 diceritakan tentang orang Samaria yang baik hati yang membersihkan luka-luka orang yang diserang penyamun dengan air anggur.
Anggur juga dipergunakan dalam kurban dan persembahan. Walaupun anggur bisa dipersembahkan kepada dewa (Ul. 32:37-38; Yes. 57:6; 65: 11; Yer. 7:18; 19:13 dst.), namun hal itu tidak menjadi halangan untuk mempergunakan anggur dalam upacara agama ortodoks. Pada asalnya yang dipersembahkan kepada dewa bukanlah anggur melainkan darah. Namun kemungkinan untuk mengganti darah dengan anggur bisa terjadi karena para penyembah memperlakukan anggur sebagai darah. Dalam 1Sam. 1:24; 10:3, diberitahukan kebiasaan para penyembah membawa sekantong anggur bilamana mereka pergi berziarah ke bait Allah. Bagaimanapun juga, anggur tidak selalu dipersembahkan tersendiri tetapi selalu disertai dengan seekor anak domba, tepung, minyak atau gabungan dari semuanya itu (Kel. 29:40; Im. 23:13; Bil. 15:7, 10; 28:14).
Pohon zaitun juga merupakan sumber hasil pertanian yang sering berdampingan dengan anggur. Sama seperti anggur, buah zaitun bukan hanya dimakan atau untuk keperluan sehari-hari, tetapi juga untuk keperluan ritual keagamaan. Karena itu zaitun merupakan komoditi perdagangan yang sangat laris. Pohon zaitun bertumbuh sangat banyak di bagian-bagian pedalaman negeri Kanaan. Terutama pada waktu orang Israel tiba di sana, pohon zaitun telah menjadi salah satu daya tarik negeri itu sebagai negeri yang berlimpah ruah dengan kekayaan alam dan hasil pertaniannya.5a Dalam Kitab Hakim-hakim 9:8-9 pohon zaitun dpakai oleh Yotham sebaga perumpamaan untuk calon raja Israel yang akan memerintah Israel. Pohon zaitun menjawab, "Ah hasilkan minyak ..." Pada zaman Alkitab, minyak zaitun merupakan produksi industri yang sangat penting. Hal ini terbukti dengan adanya tempat-tempat pemerasan buah zaitun di berbagai tempat tertentu di Palestina walaupun di tempat-tempat itu tidak terdapat kebun zaitun.
Rupanya sejak dari zaman awal, pohon zaitun sudah dkenal dalam kehidupan umat manusia. Hal itu terbukti dalam cerita air bah di Kej. 8:11 di mana diceritakan tentang burung merpati yang membawa daun zaitun pada paruhnya. Sejak itu burung merpati yang digambarkan dengan daun zaitun pada paruhnya telah menjadi lambang perdamaian dan persaudaraan.[6]
Dari tengah-tengah tanah Palestina terus ke Selatan terdapat sebuah perbukitan yang bernama Bukit Zaitun, panjangnya kira-kira dua setengah mil atau empat km. Bukit itu dinamakan demikian karena di atasnya terdapat rumpunan pohon-pohon zaitun yang mahaluas. Melalui puncak bukit inilah Raja Daud pernah melarikan diri dari pemberontakan Absalom anaknya sendiri (2Raj. 15:30-37). Dalam nubuatnya mengenai Yerusalem dan bangsa-bangsa, Nabi Zakharia menyebut nama Bukit Zaitun sebagai tempat Allah berdiri untuk menghukum bangsa-bangsa dan menyelamatkan Yerusalem (Za. 14:1-21).
Bukit Zaitun semakin terkenal di Perjanjian Baru karena Tuhan Yesus melakukan banyak kegiatan di sana pada minggu terakhir masa hidupnya di dunia ini. Dalam serangkaian naskah Perjanjian Baru, nama Bukit Zaitun disebut-sebut sehubungan dengan masuknya Yesus dengan kemenangan ke kota Yerusalem hanya enam hari sebelum Paskah (kematian-Nya). Rupanya Yesus bersama para pengikut-Nya berangkat dari Betani, sebuah desa di sebelah timur Bukit Zatun, terletak di dekat el-Azarieh, boleh jadi di sebelah barat dari desa modern itu. Mereka berangkat dari sana melalu Betfage, suatu tempat pemukiman yang tidak lagi diketahui dengan pasti letaknya. Penuturan Injl Sinoptis memberi petunjuk yang bisa diambil sebagai perkiraan bahwa tempat itu bisa disamakan atau berlokasi di sekitar Kefr-el-tur (Mat. 21:1; Mrk. 11:1).
Yesus pernah menubuatkan keruntuhan kota Yerusalem dan tentang kematian-Nya sendiri, diucapkan-Nya di atas Bukit Zaitun (Mat. 24:3; Mrk. 13:3-4; Luk. 21:5 dst.). Itu adalah gema kata-kata yang pernah diucapkan oleh Nabi Zakhara dalam Za. 14:1-5 yang menunjuk kepada bukit tu sendiri. Cerita tentang seorang pelacur yang tertangkap basah dan dibebaskan oleh Yesus (Yoh. 8:1-11) adalah terjadi secara jelas di Bukit Zaitun.
Pada hari-hari pekan terakhir sebelum Ia ditangkap, Yesus mengunjungi Rumah Tuhan di Yerusalem dan setelah itu pada malam hari Ia kembali ke Bukit Zaitun. Perkiraan-perkiraan yang mungkin adalah di Betani, di rumah Simon yang berpenyakit lepra (Mat. 26:6; Mrk. 14:3), atau di lokas sebidang tanah (estate) di Getsemane yang bisa juga dikatakan sebagai Taman Getsemane (Yoh. 18:1)[7]
Menurut La Mar C. Barrett, salah satu dar puncak Bukit Zaitun ini adalah tempat di mana Yesus naik ke surga meninggalkan para pengikut-Nya.[8] (Lihat Luk. 24:50-53; Kis, 1:9-12). Salah satu tempat di mana biara Kristen yang paling suci telah didirikan di tempat ini adalah tempat yang diperkirakan terdapat bekas kaki Yesus yang ditinggalkan sebelum Ia naik ke surga.
Sama seperti zaitun, tanaman gandum, adalah tanaman sejak dari dahulu kala seperti yang ditunjuk dalam Kej. 30:14; Kel. 34:22; Hak. 15:21).[9] Tanaman ini terdapat di mana-mana di Palestina untuk menyediakan roti bagi penduduknya. Gandum tumbuh lebih baik di tanah rendah yang diairi dengan irigas ketimbang jewawut (jelai) yang (serumpun jenis dengan gandum) lebih suka tumbuh di tanah yang lebih kering. Baik jewawut maupun gandum tumbuh bersama secara bertetangga (berlainan lahan tetap saling berbatasan). Hal ini pernah terjadi pada zaman Ruth di mana kedua tanaman itu tumbuh dekat Betlehem (Rut 2:23).[10] Sama seperti musim panen hasil pertanian lainnya, bahkan orang miskin (para janda, anak yatim, orang asing, dsb. yang tidak mempunyai lahan untuk bertani) lebih diperhatikan kepentingannya untuk memungut gandum yang tersisa ataupun yang sengaja disisakan dalam lahan panen (Ul. 24:19-22).
Bertolak dari perumpamaan Yesus tentang penabur (Mat. 13:3-9), benih tanaman ditabur ke tanah tentu saja tidak semuanya jatuh ke tanah yang baik dan tertutup dengan tanah. Ada diantaranya yang jatuh sia-sia tanpa bisa diharapkan hasilnya karena tidak akan bertumbuh di antara tanah yang berbatu-batu atau di pinggir jalan. Yang jatuh di pinggir jalan nantinya akan dimakan burung dan yang jatuh di semak-semak duri pasti tak akan bisa bertumbuh. Tetapi bilamana yang jatuh ke tanah subur lalu bertumbuh dengan baik, maka anak-anak keluarga petani yang bersangkutan akan dipekerjakan untuk menjaga buah-buah gandum itu nanti dari serangan burung-burung pemakan buah gandum. Pekerjaan itu tentu saja sangat melelahkan karena sama seperti penjaga ladang yang harus bekerja seperti orang-orangan yang berjemur di tengah-tengah ladang.
Bila musim panen tiba, maka gandum dituai dengan pemotong gandum dan biji-biji gandum yang dituai itu dijemur kemudian ditaruh di tempat pengirikan untuk memisahkan biji-biji gandum dari tangkainya dan dari gabahnya. Tempat pengirikan dipilih tempat yang rata dan bebas supaya angin bisa dengan bebas menghembus membersihkan biji-biji gandum dari gabahnya waktu petani menebarkan biji-biji itu ke udara. Dalam Alkitab, tempat pengirikan sepert itu sangat terkenal misalnya tempat pengirikan yang dibeli oleh Raja Daud dari Arauna (2Sam. 24:18-25). Waktu Raja Daud mendapat kembali peti perjanjian dari orang Filistin, lembu yang menarik kereta peti itu terjatuh di tempat pengirikan milik Nakhon. Waktu Uza mencoba mau menegakkan kereta itu maka ia langsung meninggal (2Sam. 6:6 dst.)
Bilamana jumlah gandum yang diirik tidak terlalu banyak, maka cukuplah ia diirik dengan sepotong tongkat dengan memukul-mukul tongkat itu pada berkas-berkas gandum. Tetapi kalau jumlahnya besar, maka ia harus diirik dengan membiarkan hewan menginjak-injaknya, dan orang tidak dibolehkan memberangus mulut lembu yang sedang mengirik gandum supaya ia dapat makan gandum itu sementara ia bekerja.[11] Lihat Ul. 25:4. Pengirikan itu melepaskan biji-bji gandum dengan tangkainya di lantai pengirikan. Pada waktu petang atau pagi, di mana terjadi angin bertiup, maka para petani mengambil garpu kayu yang besar untuk dipakai buat menebarkan tangkai-tangkai jerami dan biji-biji gandum ke udara, dan pekerjaan ini dinamakan menampi. Biji-biji gandum yang berat jatuh ke lantai dan tangkai serta gabah yang ringan akan ditiup ke bagan sebelah dari lantai pengirikan. Kemudian biji-biji gandum dikumpulkan dan disimpan, dan pada waktunya kemudian dibuatkan tepung untuk adonan yang akan dibakar.
Pada musim panen orang biasanya berpesta pora karena masyarakat bergembira di musim panen. Saat-saat itu sangat menentukan karena masyarakat sudah menyimpan panennya untuk masa berbulan-bulan berikutnya sementara masa membanting tulang sudah berakhir. Pekan-pekan pesta-pora (yang kemudian dikenal sebagai Pentakosta) dilaksanakan untuk merayakan panen gandum. Hari Raya Pentakosta dalam Gereja berasal dari peristiwa itu. Di Barat pesta panen seperti itu dirayakan oleh Gereja-gereja tetapi di Indonesia pesta panen memang dirayakan sejak zaman leluhur. Hal itu terutama terjadi di desa-desa sedangkan d kota-kota besar peristiwa seperti itu sudah tidak kelihatan lagi. Namun ide tentang musim panen dan pesta panen sudah menjadi tradisi bangsa Indonesia [12] sehingga bilamana Yesus dan para rasul berbicara tentang musim panen untuk menggambarkan saat akhir zaman atau akhir sejarah umat manusia, maka umat orang percaya di Indonesia langsung bisa memahaminya tanpa terlalu banyak menafsir. Dalam Markus 4:26-29 Yesus berbicara tentang Kerajaan Allah sama seperti orang yang menabur benih, menunggunya bertumbuh dan kemudian menyabitnya. Dalam kitab Wahyu 14:14-16 Yohanes melihat seseorang ‘ "seperti anak manusia" dengan mahkota emas di kepalanya dan sabit yang tajam di tangannya.' Lalu suatu suara berseru, "Ambillah sabitmu dan tuailah, karena masa untuk menuai sudah tiba, dan panen bum sudah masak."
PETERNAKAN: DOMBA
Sejak zaman purbakala ternak adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan para kepala suku. Bahkan sampai pada zaman modern ternak jenis domba sangat berlimpah di tanah suci Palestina.[13] Orang-orang Arab di tanah suci Alkitab ini dalam hdupnya sehari-hari sangat tergantung dari penghasilan ternak domba selama berabad-abad. Gambaran yang dapat diperoleh dari Alkitab tentang banyaknya ternak domba ini kita temui dalam Ayub 42:12 di mana dikatakan bahwa Ayub mempunyai 14.000 ekor domba sebagai tanda bahwa ia pernah menjadi seorang yang kaya raya. Kemudian pada waktu Raja Salomo meresmikan Rumah Tuhan di Yerusalem, ia mengorbankan 120.000 ekor domba (1Raj. 8:63). Ternak domba ini dijaga oleh gembala atau para gembala. Menurut kebiasaan orang Arab, anak lelaki yang termuda dalam keluarga adalah gembala domba, khususnya bilamana yang bersangkutan adalah seorang petani gandum dan seorang gembala. Bila ia sudah besar maka tugas gembalanya dilepaskannya kepada anak lelaki yang lebih muda karena ia harus memakai tenanganya untuk pekerjaan lain yaitu menolong orang tuanya menanam, membajak dan menuai hasil panen.[14] Rupanya hal seperti itu dianut juga oleh orang Israel dan terjadi pada diri Daud. Dalam Mazmur 23 digambarkan tentang Tuhan sebagai gembala bagi domba-domba-Nya (umat-Nya). Alat-alat gembala yang disebut di sana adalah gada dan tongkat (ayat 4b). Gada ini digunakan untuk melindungi domba-dombanya dari binatang buas (lih. 1Sam. 17:34-36) sedangkan tongkat digunakan untuk perlindungan.[15] Alat lain yang dimiliki oleh gembala ialah seruling. Alat ini merupakan sebuah alat musik bersuara merdu, cocok dibunyikan waktu santai di padang untuk melepas lelah sang gembala dan memberi rasa segar kembali kepada para domba. Bukannya tidak mungkin bahwa Daud sebagai seorang gembala pun mempunyai alat musik seperti ini.[16]
Antara gembala dan domba terjadi hubungan yang akrab dan mereka saling mengenal satu dengan yang lain. Khususnya gembala, bisa mengenal suara setiap dombanya, karena ia mempunyai perhatian yang sungguh-sungguh terhadap setiap anggota dombanya. Sering kali gembala ini memberikan nama bagi setiap domba sehingga masing-masng bisa dipanggil dengan namanya sendiri. Misalnya ada yang diberi nama "Si Putih" atau "Si Belang" atau kalau bulu dombanya hitam dipanggl "Blacky" atau lainnya lagi dipanggil "Broony" karena bulunya coklat (brown). Gembala-gembala Israel biasanya memimpin domba-dombanya dengan berjalan mendahului mereka. Terutama kawanan dombanya tidak terlalu besar, ia berjalan mendahului mereka di depan supaya melindungi mereka dari binatang-binatang buas yang ingin memangsai mereka. Tetapi hal itu tidak selalu demikian karena bilamana kawanan dombanya besar, maka ia akan berjalan di belakang kawanan dombanya. Bilamana kawanan dombanya terlalu besar, biasanya gembala mempunyai pembantu gembala yang disuruh berjalan di belakang kawanan domba sedangkan gembalanya sendiri akan berjalan di depan.[17]
Hubungan akrab antara gembala dengan domba-dombanya kelihatan sekali bila ia memimpin mereka berjalan melalui suatu jalan sempit. Mazmur 23:3 mengatakan "Ia menuntun aku di jalan yang benar" artinya Ia menuntuk supaya tidak menyimpang dari jalan yang seharusnya ditempuh. Jalan sempit seperti itu terutama terdapat di tengah-tengah ladang sehingga bilamana domba-domba itu menyimpang dari jalan, mereka akan memakan butir-butir gandum di sebelah kanan-kiri jalan dan merusak tanaman yang ada. Kerugian yang diakibatkan oleh domba-domba itu harus diganti oleh gembala yang bersangkutan.
Adalah penting juga diketahui bahwa gembala harus setap saat memperhatikan domba-dombanya supaya jangan sampai ada yang hilang tersesat karena terpisah dari kawanannya. Domba (domba-domba) yang terpisah dari kawanannya akan kebingungan dan tidak mempunyai perasaan sama sekali tentang tempat lokasi sehingga perlu dicari dan dibawa kembali ke kawanan domba. Domba yang sesat bisa diambil menjadi ibarat jiwa yang sesat seperti dalam Mazmur 199:176 "Aku sesat seperti domba yang hilang" (TB/BIS) atau seperti dalam Yesaya 53:6 dikatakan, "Kita sekalian sesat seperti domba" (TB) mengembik-embik ketakutan karena ia berkelana tanpa gembala. Tetapi bilamana ia dibawa kembali oleh gembalanya ke kawanan domba, maka ia akan meloncat-loncat kegirangan dan rasa girang seperti inilah yang digambarkan dalam Mazmur 23:3 "Ia menyegarkan jiwaku" (TB), "Ia memberi aku kekuatan baru" (BIS).[18]
Dalam pekerjaan penggembalaan ada dua petugas yang bisa dibedakan satu dari yang lain. Seorang adalah gembala itu sendiri dan seorang lagi adalah orang upahan. Mengenai orang upahan ini Yesus pernah mengatakan, "Orang upahan itu lari, sebab ia bekerja untuk upah" (Yoh. 10:13, BIS). Orang upahan ini tidak diperlukan kalau kawanan domba yang digembalakan itu kecil saja. Tetapi kalau kawanannya besar, maka ia memerlukan orang upahan untuk membantunya. Orang ini tidak tertarik pada domba-domba yang digembalakan sehingga ia tidak selalu bisa dipercayai sepenuhnya seperti halnya dengan gembala. "Orang upahan yang bukan gembala dan bukan juga pemilik domba-domba itu, akan lari meninggalkan domba-domba kalau ia melihat serigala datang. Maka domba-domba itu akan diterkam dan dicerai-beraikan serigala" (Yoh. 10:12, BIS).[19]
BANGUNAN RUMAH DAN KONSTRUKSINYA
Walaupun orang Israel tidak memiliki seni bangunan atau arsitektur yang mengagumkan seperti halnya bangsa-bangsa Romawi dan Yunani, namun kita perlu mempelajari sarana tempat tinggal atau kediaman mereka supaya bisa mengerti tata cara serta peri kehidupan mereka sehari-hari. Tempat kediaman mereka yang paling kuno adalah kemah. Ini sesuai dengan cara hidup mereka yang berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Abraham misalnya, pada waktu dikunjungi oleh tiga orang malaikat Tuhan, ia sedang duduk di pintu kemahnya (Kej. 18:1). Istri Abraham Sarah waktu itu berada di dalam kemah (Kej. 18:9).\f*
Lama kelamaan tatkala orang Israel sudah menetap di situ negeri yang mereka tuju, Palestina, mereka mulai tinggal di kota-kota di mana rumah-rumah dibangun. Kebiasaan mereka yang lama berdiam di kemah mereka tinggalkan sedangkan sebagai penggantinya mereka mendirikan rumah. Sebagian dari mereka tinggal di rumah-rumah yang ditinggalkan oleh orang-orang Kanaan.[20] Dengan melihat bangunan rumahnya, kita dapat membedakan antara pemilik yang kaya dan pemilik yang sederhana. Rumah-rumah yang dibangun hanya dengan satu kamar adalah milik orang-orang sederhana sedangkan yang dibangun dengan lebih dari satu kamar adalah milik orang kaya atau orang kaya raya. Bisa juga dikatakan bahwa rumah-rumah yang terdiri dari satu kamar banyak terdapat di desa-desa sedangkan yang lebih dari satu kamar kebanyakan terdapat di kota-kota besar.[21] Kebiasaan lama tinggal di dalam kemah membuat orang Israel terbiasa tinggal berkeliaran di luar rumah daripada di dalam rumah. Kemah (pada zaman leluhur) atau rumah (pada zaman bernegara) bagi mereka hanya merupakan tempat istirahat atau melepaskan lelah atau tempat perlindungan baik dari panas terik matahari maupun dari kedinginan atau hujan. Kegiatan hari-hari kebanyakan dilakukan di luar rumah. Karena begitu pentingnya rumah sebaga tempat berlindung, maka para penulis Kitab Suci menggambarkan Allah sebagai "Tempat Perlindungan" untuk "berteduh" (Mzm. 61:3; Yes. 4:6).
Pada umumnya atau kebanyakan rumah-rumah orang Israel kuno terdiri dari satu kamar saja. Rumah ini berbentuk kotak yang seolah-olah didudukkan saja di atas tanah. Tanah di mana rumah itu diletakkan terlebih dahulu diratakan dan kemudian dikeraskan dengan mencampurkan bahan perekat dengan Lumpur lalu dibiarkan mengeras sendiri atau menggilasnya dengan batu.
Dindingnya dibuat dari batu bata yang bahannya diambil dari Lumpur yang dikeringkan di bawah panas matahari. Dalam kitab Ayub rumah seperti ini disebut "makhluk dari tanah liat" (Ay. 4:19). Tetapi kadang-kadang dinding rumah ini bisa juga dibuat dari batu pasir yang terkenal dinegeri itu.[22] Atap rumah dibuat rata dan kukuh. Bahan-bahannya terdiri dari balok-balok guntung yang dipasang melintang dari atas dinding yang satu ke atas dinding yang di hadapannya. Balok-balok ini ditutupi dengan buluh anyaman kemudian dilapisi pula dengan tanah liat atau tanah saja; pasir dan batu kerikil ditaburkan di atasnya lalu batu penggiling digunakan untuk meratakannya supaya kedap air.
Ditutupnya atap rumah dengan tanah liat atau tanah atau mungkin juga Lumpur, dapat dipahami kalau atap rumah itu gampang dtumbuhi oleh rumput-rumputan. Hal seperti ni dapat kita baca dalam Mzm. 129:6 di mana dikatakan, "Biarlah mereka seperti rumput di atas atap yang menjadi kering sebelum dapat tumbuh" (lihat juga 2Raj. 19:26; Yes. 37:27). Kalau atap rumah hanya ditutup dengan lumpur, maka dapat dipahami juga bahwa bilamana turun hujan lebat, hujan itu bisa mengakbatkan atap itu miris atau bocor dan bisa menyebabkan kesulitan bagi penghuninya. Pengalaman akan air yang menetes dari atas atap rumah ini dibaratkan dengan seorang wanita yang menyusahkan suaminya (Ams. 19:13; 27:15).[23]
Berhubung atap rumah itu rata dan mudah dgunakan untuk berbagai kegatan hari-hari, maka ia sering digunakan untuk tempat merajut, membakar roti, menjemur buah ara atau untuk membersihkan biji-bijian gandum dsb. Dalam Kis. 10:27; Luk. 12:3). Kebiasaan-kebiasaan seperti ini sering dilakukan di rumah-rumah orang kebanyakan karena rumah mereka itu pada umumnya hanya bertingkat satu.
Rumah-rumah atau gedung yang bertingkat dua jarang terdapat kecuali di kota-kota besar seperti Yerusalem misalnya. Dalam rumah seperti itu terdapat kamar khusus untuk tamu yang bisa juga digunakan untuk tempat berdoa. Kamar seperti inilah yang dimaksudkan oleh Yesus dalam Mat. 6:6 di mana Ia menasihatkan para pengikut-Nya untuk tidak memperagakan kesalehan mereka di depan umum. Ada juga kamar doa di bilik atas seperti yang dipakai oleh Yesus dengan para pengikut-Nya untuk Santapan Paskah (Luk. 22:12). Rupa-rupanya bilik ini adalah milik salah seorang pengikut-Nya yang cukup berada karena ruangannya cukup luas. Dalam Kis. 1:13 dikatakan bahwa ruangan ini dipakai lagi oleh sejumlah 120 orang pengikut Yesus setelah Ia nak ke surga.[24]
ADAT ISTIADAT
Pergaulan
Salah satu ciri khas adat ketimuran orang Israel umumnya maupun Yahudi khususnya ialah keramahtamahan. Tamu mana pun yang masuk ke dalam rumah seorang Yahudi akan disambut dengan salam hangat. Adat ini dipakai turun-temurun malahan di kemudan hari dibawa alih ke dalam agama Kristen. Ini bukanlah berarti bahwa di Israel tidak ada orang yang brutal atau kasar, tetapi sikap dasar bangsa ini ialah keramahan. Seperti diceritakan di atas, Abraham pernah melayani tiga orang asing di kemahnya yang dilakukannya dengan penuh rasa ikhlas. Kemudian tindakan itu menjadi tolok ukur bagi kehidupan moral orang percaya (Ibr. 13:2; Mat. 25:35). Pada waktu Eliezer ditugaskan oleh Abraham meminang seorang gadis bagi Ishak, ia dilayani dengan sangat ramah oleh seorang gadis yang belum dikenalnya dan gadis itu sendiri menganggapnya sebagai seorang asing yang perlu pertolongan. Ternyata bahwa gadis itu adalah Ribka yang kemudian menjadi istri Ishak (Kej. 24:1-67).
Pada zaman Perjanjian Baru, Yesus mengajar para pengikut-Nya untuk membuka pintu rumah mereka bagi semua orang bahkan bagi fakir miskin dan orang-orang cacat (Luk. 14:13). Rumah orang Yahudi adalah rumah persahabatan dan tempat berbagi rasa. Walaupun ada orang yang menyalahgunakan sifat adat keterbukaan ini, keramahtamahan adalah bagina dari tenunan adat baik kepercayaan Yahudi maupun ajaran Yesus Kristus.[25]
Bila ada seseorang yang semata-mata asing berhenti di depan pintu, orang itu harus diperlakukan sebagai teman lalu diberi makan, penginapan, dilindungi dan kalau perlu diberi pakaian. Kata Yunani untuk keramahtamahan adalah "cinta akan orang asing" (Rm. 12:13; Tt. 1:8; 1Ptr. 4:9). Bila suasana keramahan menjadi cacat karena suatu sikap yang kasar atau tidak bersahabat, maka hal itu akan dianggap sebagai sikap kekafiran (Luk. 16:19-25). Dalam Perjanjian Baru sikap keramahan ini dipertahankan sekuat-kuatnya dan secara khusus surat-surat rasuli Filemon, 2 dan 3 Yohanes menekankan masalah ini.[26]
2. Perkawinan
a. Meminang
Sebagaimana cerita Eliezer di atas, perkawinan dalam Perjanjian Lama diatur oleh keluarga atau khususnya orang tua. Pihak lelaki datang ke pihak perempuan untuk meminang seorang gadis yang diinginkan oleh orang tua pihak lelaki. Hal ini terjadi misalnya pada Ismael (Kej. 21:21), Ishak (Kej. 24), dan Yakob (Kej. 28:1-3). Pengaturan perkawinan di kalangan orang Ibrani ini mirip-mirip dengan cara-cara yang berlaku di suku-suku bangsa di Indonesia seperti misalnya suku bangsa Batak, Dayak dan Toraja. Pengaturan perkawinan dimulai dengan jalan menghubungi pihak keluarga wanita terutama dengan orang tua yang bersangkutan kemudian dengan saudara-saudaranya. Kalau bukan orang tua langsung yang menghubungi, bisa juga dengan seorang atau beberapa orang perantara. Dalam kasus Ishak, maka Eliezerlah yang menjadi perantara. Seorang perantara oleh Yohanes Pembaptis disebut sebagai "sahabat pengantin" (Yoh. 3:29).[27] Sahabat pengantin ini dalam tugasnya sebagai perantara bertindak atas nama pengantin dan ia sudah diberitahukan terlebih dahulu tentang kesanggupan dan kemampuan pengantin sampai berapa banyak pemberian yang dapat pengantin lelaki berikan kepada pengantin perempuan. Dengan ditemani oleh orang tua pihak lelaki dan mungkin juga disertai oleh beberapa orang dari kaum kerabat pihak lelaki, perantara ini pergi ke rumah pihak perempuan. Setiba di rumah, ayah pihak lelaki memberitahukan bahwa yang akan menyampaikan maksud kedatangan rombongan mereka adalah si pengantara tadi.
Ayah dari keluarga pihak perempuan kemudian menimbal untuk menunjuk juga seorang juru bicara mereka. Sebelum kedua belah pihak bernegosiasi, maka minuman kopi disuguhkan kepada rombongan yang datang, namun mereka menolak untuk meminumnya sebelum misi mereka selesai (lhat Kej. 24:33 dalam kasus Eliezer). Setelah kedua juru bicara dari kedua belah pihak berhadapan, maka pembicaraan dilakukan dengan sungguh-sungguh. Pihak perempuan perlu mendapatkan bukti yang bisa dipegang mengenai bentuk pemberian yang akan diterimanya dari pihak lelaki. Bilamana suatu kesepakatan sudah diambil maka kedua juru bicara tadi bangkit berdiri saling menyalami satu dengan yang lain, dan kopi langsung dibawa dan mereka sama-sama minum sebagai tanda perjanjian yang telah dicapai.[28]
Untuk menyungguhkan maksudnya, pihak lelak menyerahkan berbagai hadiah kepada orang tua dan saudara-saudara pihak perempuan. Pemberian hadiah ini tidak selalu dalam bentuk material seperti yang dilakukan oleh Eliezer tetapi bisa juga dengan cara seperti yang dilakukan oleh Yakob misalnya: ia bekerja selama tujuh tahun untuk mendapatkan istrinya (Kej. 29:15-19). Maksud dari pemberian atau mas kawin ini adalah untuk memberikan jaminan hidup kepada si mempelai wanita seandainya perkawinan itu berakhir alias gagal di tengah perjalanan kehidupannya. Atas alasan itu maka mas kawin biasanya diberikan dalam bentuk uang logam atau permata. Karena itu cerita tentang perempuan yang kehilangan satu dari sepuluh uang peraknya (Luk. 15:8, 9) sangat menyesal dan berusaha untuk mencari dan mendapatkannya kembali.[29]
b. Bertunangan
Pertunangan dalam kalangan orang Yahudi merupakan suatu persiapan untuk perkawinan dan bukan hanya suatu perjanjian kawin tanpa ikatan. Pertunangan berarti suatu ikatan pasti untuk perkawinan sehingga tidak mungkin dibatalkan lagi. Sebelum pembuangan ke Babil, pertunangan merupakan perjanjian lisan oleh kedua belah pihak namun pertunangan ini hampir dapat disamakan dengan perkawinan seperti yang digambarkan dalam Yeh. 16:8, di mana dikatakan bahwa, "... kuikat janji perkawinan denganmu, dan engkau menjadi milikku." Janji perkawinan secara lisan seperti ini berlangsung sampai orang Israel kembali dari pembuangan waktu mana pertunangan dikukuhkan juga dengan penandatanganan perjanjian kawin.[30] Hari pertunangan dirayakan dengan suatu pesta dan saling memberi hadiah supaya perstiwa itu menjadi resmi. Masa pertunangan biasanya berlangsung selama satu tahun. Di zaman dahulu kala, orang lelaki Israel yang sedang menjalani masa pertunangan dilarang ikut dalam peperangan supaya ia tidak mati sebelum kawin (Ul. 20:7). Masa pertunangan itu dipandang sangat suci sehingga bilamana ada lelak lain yang bersetubuh dengan wanita yang sedang menjalankan pertunangan, maka si pelanggar akan dihukum dengan lemparan batu sampai mati (Ul. 22:23, 24). Tetapi bilamana si wanita yang digauli tidak bertunangan, maka lelaki itu tidak dilempar dengan batu tetapi harus membayar kepada ayah si wanita dan harus mengawininya.[31]
Pada waktu Yusuf dan Mara bertunangan secara sah, segala pengaturan pertunangan yang diperlukan menuju jenjang perkawinan sudah diselesaikan selengkapnya (Luk. 2:5). Namun sebagaimana kebiasaan masyarakat umum, mereka tidak pernah berhubungan kelamin sehingga kehamilan Maria merupakan sesuatu yang sangat memalukan bagi dua orang yang berpasangan maupun keluarga Maria sendiri. Dan lelaki yang menghamili dia harus dicari dan dilempar dengan batu sampai mati. Namun, Yusuf yang mengetahui akan seluk beluk adat istiadat itu, tidak menghendaki supaya Maria tersinggung dan menanggung aib, ia tidak mau memutuskan pertunangan mereka secara resmi melainkan secara diam-diam saja (Mat. 1:19).[32]
c. Perceraian
Perceraian perkawinan terjadi di kalangan orang Israel bilaman sang suami mendapatkan "ketidakbersihan" pada diri istrinya (Ul. 24: 1). Salah satu contoh mengenai "ketidakbersihan" ini ialah bahwa sang suami waktu menikahi istrinya ternyata bahwa istrinya itu bukan lagi gadis. Kalau ternyata bahwa gadis itu memang bersalah, maka ia harus dihukum mati dengan lemparan batu (Ul. 22:13-21).
Contoh lain ialah bilamana sang suami mencurigai istrinya melakukan perbuatan zinah. Untuk menjernihkan soal itu sang suami membawa istrinya kepada imam untuk diuji. Ujian ini disebut "ujian kecemburuan" atau bisa juga disebut "ujian berat". Cara menguji seperti ini sudah biasa dalam adat budaya manusia di Asia Barat.[33] Dalam ujian ini wanita itu disuruh minum air putih. Bilamana ia tidak bersalah, maka air itu tidak akan mendatangkan bahaya baginya. Tetap bilamana ia bersalah, maka air itu akan menyebabkannya sakit dan bila demikian halnya, maka ia dihukum dengan lemparan batu sampai mati karena dianggap sebagai seorang pelacur (Bil. 5:11-31).
Sejauh masalah perceraian, maka perceraian hanya boleh terjadi kalau sang suami menceraikan istrinya. Sang istri sama sekali tidak mempunyai hak untuk menceraikan suaminya walaupun dengan alasan apa pun. Karena itu bilamana seorang wanita sudah tidak merasa betah lagi dengan suaminya, maka ia bisa saja pergi meninggalkan suaminya tanpa surat cerai (Hak. 19-21). Secara resmi sang istri terikat kepada suaminya selama mereka masih hidup atau sampai pada waktu suaminya menceraikannya. Seandainya sang istri diberikan surat keterangan cerai suaminya, maka ia boleh saja kawin dengan lelaki lain mana pun asal saja lelaki yang bukan imam (Im. 21:7, 14; Yeh. 44:22). Tetapi sayang bagi sang istri yang sudah diceraikan oleh suaminya; ia tidak mungkin rujuk kembali dengan suaminya karena wanita yang demikian sudah dianggap pelacur, hal mana merupakan sikap melawan terhadap suami (Mat. 2:16).[34]
KOTA DAN DESA
Berdasarkan hasil penggalian yang dilakukan di zaman modern ini, kota purbakala Israel dapat dibuat diskripsinya sebagai berikut. Kota-kota Israel, sama seperti kota-kota bangsa lainnya di zaman Alkitab Perjanjian Lama, terutama zaman Raja-raja dst., mempunyai dinding tembok yang kukuh sebagai kubu pertahanan. Tinggi tembok ini tidak tanggung-tanggung sehingga dilukiskan dalam Ul. 1:28 "... kota-kota di sana besar dan kubu-kubunya sampai ke langit."[35] Setiap kota mempunyai pintu gerbang sebagai jalan keluar masuk sehari-hari bagi penghuni kota.
Setiap kota berdinding tembok mempunyai pintu gerbang. Kota yang kecil mempunyai hanya satu pintu gerbang sedangkan kota yang lebih besar mempunyai lebih dari satu pintu gerbang. Di sebelah kiri dan kanan pintu gerbang dibangunkan menara-menara yang tinggi dan di atas pintu gerbang dibuatkan tempat penjaga (2Sam. 18-24). Daun pintu gerbang itu dilapisi dengan besi (Yes. 45:2). Ada juga kota yang dibuat dengan tembok rangkap, tembok luar dan tembok dalam. Kota Yerikho misalnya mempunyai tembok luar setebal 1,5 - 1,8 meter dan tembok dalamnya setebal 3,3 - 3,7 meter. [36] Dalam Yes. 26:1 dikatakan bahwa tembok luar itu adalah benteng.
Pintu gerbang bisa juga dipakai sebagai tempat pertahanan kota atau pusat keramaian untuk umum. Ke pintu gerbang seperti inilah Raja Daud telah turun untuk menentramkan pasukannya yang kecut hati karena Raja telah menderita kesedihan yang hebat atas kematian anaknya Absalom yang memberontak terhadapnya (2Sam. 18:4, 24, 33; 19:8). Dalam pada itu pintu gerbang juga bisa berfungsi sebagai tempat berjual-beli atau pasar (2Raj. 7:1, 18). Tetapi bisa juga sebagai tempat bersidang untuk memutuskan karena di sinilah orang tua-tua, para hakim dan raja bisa duduk secara resmi (Ul. 21:19; 22:15; Rut 4:1, 11; 2Sam. 18:24; Yes. 29:21).[37]
Tidak sulit untuk membedakan desa dan kota di Israel karena perbedaan itu sangat jelas. Bila kota mempunyai dinding tembok atau benteng, maka desa adalah suatu lokasi terbuka di mana terdapat kumpulan beberapa rumah, tanpa dinding tembok (Im. 25:29, 31; Ul, 3:5; 1Sam. 6:18; 1Taw. 27:25).Organisasi dan administrasi desa sangat sederhana dibandingkan dengan kota. Seperti dikatakan di atas, di desa rumah biasanya hanya mempunyai bilik satu saja. Desa tidak mempunyai parit dalam yang mengelilinginya, maupun benteng atau pertahanan lainnya (Yeh. 38:11). Ia adalah kota yang terbuka (Est. 9:19).[38]
\fig Ilustrasi (Rumah sederhana berbilik satu*
Wight, Fred H., Manners and Customs of Bible Lands. Chichago: Moody Press, 1987, p. 21.\fig*
Pada zaman Talmud desa bisa dengan mudah dibedakan dari kota karena desa tidak mempunyai rumah ibadat (sinagog). Hal itu tidak diungkapkan dalam Perjanjian Baru, meskipun sebutan tentang kota dan desa tetap diperlihatkan dalam kitab-kitab Injil Sinoptis. (Lih. Mat. 9:35; 10:11; Mrk. 6:56; Luk. 8:1; 13:22).
Sebuah desa bisa bertumbuh menjadi sebuah kota kecil dalam tempo beberapa tahun saja. Jadi desa seperti itu dibuat dinding temboknya sehingga menjadi kota kecil (1Sam. 23:7). Tembok ini dibuat untuk menahan serangan musuh pada masa perang. Tetapi pada masa damai orang tidak usah ragu-ragu tinggal di luar kota yang berdinding tembok. Nama KAPERNAUM ada kemungkinan menggambarkan pertumbuhan sebuah desa menjadi kota karena nama itu berarti "desa Nahum". Betlehem kadang-kadang disebut kota (plis) dalam Lukas 2:4 tetapi kadang-kadang desa (koome) dalam Yoh. 7:42. Sebaliknya suatu kota yang runtuh bisa berubah menjadi desa (Za. 2:4).[39]
Sering kali suatu desa bergantung kepada kota tertentu untuk perlindungan dan untuk hal-hal ekonomi dan politik tertentu. Dalam hal yang demikian maka desa itu di bawah pemerntahan kota yang bersangkutan. Di zaman purbakala, di Eropa desa-desa seperti itu dibangun di sekitar kota bahkan menempel pada tembok kota. Ketergantungan desa-desa pada kota seperti itu terbukti dalam pembagian tanah di bawah kewenangan Yosua. Misalnya dikatakan bahwa 114 kota terdaftar sebagai bagian yang diberikan kepada Yehuda "termasuk desa-desa di sekitarnya" (BIS) (Yos. 15:32-62; 18:24, 28; 1Taw. 6:54 dst. dll.)
Desa-desa itu terlibat dalam pengolahan tanah, pertanian dan peternakan Tanah di sekitar tempat itu secara bersama-sama dikerjakan oleh para penduduk desa di situ. Pada musim dingin, di situlah para gembala berkumpul untuk menjaga domba-dombanya. Pada musim semi atau musim panas sering kali para gembala itu keluar dari desa-desa itu. Perlu diketahui bahwa padang-padang rumput di sekitarnya adalah bagian milik dari desa bersangkutan (1Taw. 6:54 dst.).
Ada kalanya perkemahan juga disebut desa. Perkemahan orang-orang Ismael (Kej. 25:16; dari Kedar dalam Yes. 42:11) merupakan suatu desa. Itulah yang disinggung dalam syair paralelisme dalam Mazmur 69:25. Dari dalam kehidupan pedesaan inilah muncul orang-orang terkenal seperti Saul dan Daud. Jadi para petani di Israel bukanlah orang-orang yang terkecil (Hak. 5:11).
PENUTUP
Tulisan ini tidak bermaksud untuk mengungkapkan seluruh rincian latar belakang budaya Alkitab Perjanjian Lama karena hal itu tidak mungkin dilakukan dalam jumlah halaman yang telah ditentukan untuk itu. Cukilan-cukilan di atas adalah upaya minimal untuk menampung secara maksimal deskripsi budaya tersebut sehingga dapat memberikan contoh-contoh masukkan untuk melihat hubungan antara ungkapan-ungkapan Alkitabiah dan latar belakang budaya di balik ungkapan-ungkapan itu. Lukisan-lukisan secara visual juga diberikan secara terbatas hanya sekedar memberikan ilustrasi untuk memudahkan pembaca membayangkan apa yang melatarbelakangi pemikiran Alkitab pada umumnya dan Alkitab Perjanjian Lama pada khususnya.
Daftar Rujukan Pustaka:
Berrett, La Mar C., Discovering the World of the Bible. (Nashville, Tenessee: Thomas Nelson Publishers), 1979.
Buttrick, George Arthur. The Interpreter's Dictionary of the Bible (Vol. 1 & 2) New York: Abingdon Press, 1962.
Coleman, William L., Today's Handbook of Bible Times and Customs. (Minneapolis, Minnesota: Bethany House Publishers), 1984.
Packer, James L., (ed.), Daily Life in Bible Times.
(New York: Thomas Nelson Publishers). 1982.
Thomson, J.A. Handbook of Life in Bible Times.
Leicester: Inter Varsity Press, 1986.
van Deursen, A. Purbakala Alkitab Dalam Kata dan Gambar
(Jakarta: BPK Gunung Mulia), 1991, Judul asli: "Bijbels Beeldwoordenboek" diterjemahkan oleh E.I. Soekarso.
Wight, Fred H., Manners and Customs of Bible Lands.
Chicago: Moody Press, 1987.
[1] Thomson, J.A. Handbook of Life in Bible Times. Leicester: In-ter-Varsity Press, 1986 p. 11.
[2] Buttrick, George Arthur. The Interpreter's Dctionary of the Bible (Vol. ) New York: Abingdon Press, 1962, p. 438.
[3] Ibid., 418.
[4] Ibid. Vol. 4, p. 773.
[5] Ibid., vol. 3 , p. 596.
5a Ibid., vol. 3, p. 596.
[6] Ibid.
[7] Ibd., vol. , p. 597-599.
[8] Berrett, La Mar C., Discovering the World of the Bible (Nashville, Tenessee: Thomas Nelson Publishers), 1979, p. 237.
[9] Buttrick, op.ct, vol. 4, p. 840, cf, GEZER CALENDAR.
[10] Thomson, J.A., op. cit., p. 129.
[11] Ibid., p. 130.
[12] Mungkin juga bangsa-bangsa Asia pada umumnya.
[13] Wight, Fred H., Manners and Customs of Bible Lands. Chicago: Moody Press, 1987, p. 147.
[14] Ibid., p. 148.
[15] Edwn W. Rice, Orientalism in Bible Lands, p. 241-242 as quotes by Wight, op. cit., p. 150.
[16] Wight, Ibid., p. 151.
[17] Ibid., p. 157.
[18] Ibid., p. 158.
[19] Ibid., p. 159.
[20] James 1, Packer (ed.), Daily Life in Bble Times. (New York: Thomas Nelson Publshers), 1982, p. 149.
[21] Wight, op. cit., p. 35, quoted from George M. Mackie, Bible Manners and Customs, p. 90.
[22] Wight., Ibid., p. 22.
[23] Ibid., p. 25.
[24] Coleman, William L. Today's Handbook of Bible Times and Customs. (Minneapolis Minnesota: Bethany House Publishers), 1984, p. 13.
[25] Ibid., p. 19.
[26] Wight, op. cit., p. 127.
[27] Wight, op. cit., p. 127.
[28] Ibid., p. 127, quoted from H. Clay, Studies in Oriental Social Life, Philadelphia: The Sunday School Times Co., 1984, pp. 17-20.
[29] ft Ibid., p. 128.
[30] Ibid., p. 129.
[31] Coleman, op. cit., p. 88.
[32] Ibid.
[33] James I. Packer, op. cit., 54.
[34] Ibid.
[35] Mungkin tingginya antara 16 dan 18 meter. Lih. A van Deursen, Purbakala Alkitab dalam Kata dan Gambar (Jakarta: BPK Gunung Mulia), 1991, hal. - Judul asli: "Bijbels Beeldwoordenboek" diterjemahkan oleh E. I. Soekarso.
[36] Ibid.
[37] Buttrick, George Arthur, op. cit., vol. 2, p. 355.
[38] Ibid., vol. 4 , p. 784.
[39] Ibid.
Sumber: http://www.alkitab.or.id/index.php?option=com_content&task=view&id=144&Itemid=131
Oleh: Dr. Hermogenens Ugang
Pendahuluan
Yang dimaksudkan dengan budaya Alkitab Perjanjian Lama ialah budaya manusia yang hidup di zaman di mana peristiwa-peristiwa yang tertulis dalam Alkitab Perjanjian Lama terjadi. Secara khusus dapat dikatakan bahwa manusia yang dimaksud ialah bangsa Israel atau lebih khusus lagi, bapak-bapak leluhur bangsa Israel seperti Abraham, Ishak dan Yakub. Yang termasuk juga dalam bahasan ini ialah bangsa-bangsa di sekitar Israel seperti Mesir, Asyur, Babilonia, Elam, Goyim, dan lain-lainnya yang pernah ada kontak dengan bangsa Israel. Tentu saja peristiwa-peristiwa yang terjadi pada zaman itu kita coba untuk mengungkapkannya sebagai peristiwa sejarah walaupun penulis Alkitab sendiri melihatnya sebagai peristiwa dan moral mengandung nilai-nilai rohani yang memberikan nilai-nilai etis dan moral bagi kehidupan bangsa Israel.
Maksud dari tulisan ini ialah untuk menggambarkan peri kehidupan bangsa-bangsa tersebut di atas pada zaman Perjanjian Lama sejak zaman leluhur bangsa Israel (kira-kira 1900 tahun s.M) [1] sampai kedatangan Kristus di zaman Perjanjian Baru (awal abad pertama). Dengan memberikan gambaran seperti itu diharapkan para pembaca Alkitab dapat memahami ungkapan-ungkapan dalam Alkitab yang kedengarannya mungkin asing. Misalnya kalau kita baca ayat dari Yosua :6, 8 dalam Alkitab Terjemahan Baru (Alkitab TB) terdapat cerita tentang Rahab yang menyembunyikan dua orang intel Israel di atas "sotoh rumah"nya (atap rumahnya). Juga dalam Matius 10:27 dikatakan, "apa yang dibisikkan ke telingamu, beritakanlah itu dari atas atap rumah." Secara sepintas lalu kita akan merasa aneh dan pasti bertanya mengapa harus memberitakannya dari atas atap rumah? Kalau kitai ngat akan atap rumah kita, maka hal itu aneh untuk dilakukan. Tetapi menurut budaya rumah bangsa Israel, atau budaya bangsa-bangsa di sekitar bangsa Israel hal itu mungkin saja terjadi karena rumah orang di wilayah itu berbentuk kotak dan atapnya datar sehingga bisa dipakai untuk melakukan banyak macam kegiatan. Untuk mencapai maksud tersebut, mau tidak mau kita juga meneliti banyak hal yang dikatakan dalam studi tentang purbakala (arkeologi) Alkitab.
LELUHUR ISRAEL
1. Abraham dan Keluarganya
Kehidupan masyarakat di zaman ini ditandai dengan cara hidup berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain untuk mencari lahan tempat memelihara ternak ataupun bercocok tanam. Cara hdup berpindah-pindah ini mengingatkan kita kepada Abraham setelah ia dipanggil oleh Tuhan untuk meninggalkan sanak keluarganya di Haran dan pergi ke tempat lain yang akan ditunjukkan Tuhan kepadanya. Ternyata kemudian bahwa Abraham dengan keluarganya tiba di sebuah pohon kayu keramat di More dekat Sikhem di tanah Kanaan. Ini berarti bahwa Abraham telah menelusuri wilayah "bulan sabit" dari Timur ke arah Barat, suatu perjalanan panjang yang kemudian hari juga pernah dijelajah oleh Yakub cucu Abraham, dan oleh orang Cendikiawan dari Timur yang menjajagi kelahiran Tuhan Yesus.
Pohon kayu keramat tadi disebut demikian (terbantin: TB) karena dahulunya pohon kayu itu dipakai oleh orang Kanaan untuk menyembah dewa mereka.[2] Tetapi Abraham mendirikan mezbahnya di tempat itu untuk menyembah Tuhan. Di zaman itu mezbah dipakai orang untuk tempat memotong hewan yang dikurbankan bagi yang disembah sehingga cara-cara Abraham menyembah Tuhan tidak ubahnya dengan cara-cara orang Kanaan menyembah dewa mereka. Pandangan para leluhur Israel terhadap Tuhan pun sama saja dengan pandangan orang-orang Kanaan dengan dewa mereka. Tuhan adalah pelindung atau perisai (Kej. 15: 1) yang selalu menjaga para leluhur dari segala macam bahaya dan memberikan kepada mereka harta kekayaan yang mereka perlukan. Semakin kaya sang leluhur berarti semakin banyak pula berkat material yang diberikan kepada mereka (lih. Mzm. 128, 144). Walaupun kelihatannya ada kesamaan cara ibadat antara Abraham dengan bangsa-bangsa lain, namun ada perbedaan besar antara Allah Abraham dengan dewa bangsa-bangsa lain yaitu, bahwa dewa-dewa atau ilah-ilah bangsa-bangsa lain adalah ilah lokal yang hanya bisa disembah di tempat tertentu saja, sedangkan Allah Abraham adalah Allah yang tidak terikat dengan suatu tempat sehingga Ia bisa disembah di mana-mana tempat.
Abraham yang disuruh pergi oleh Tuhan dari rumah orang tuanya di Haran, tidak pergi sendirian tetapi pergi bersama-sama dengan kaum kerabatnya dan hamba-hambanya. Termasuk dalam kafilah Abraham itu ialah kemanakannya sendiri yang bernama Lot. Peranan Abraham dalam rombongan besar itu ialah sebagai seorang kepala suku dan juga kepala adat. Dan juga panglima perang yang mengatur sasat perang untuk mengalahkan musuh. Tentu saja cara hidup berpindah-pindah (nomadisme) ini memerlukan ketangguhan yang istimewa dan mental disiplin yang tnggi. Abraham dalam hal ini mengandalkan kekuatan dari Tuhan yang menjadi Pelindungnya. Dalam Alkitab dikatakan bahwa Allah itu adalah "Allah yang dipuja Abraham dan Ishak" (Kej. 28:13) . Kemudian hari, di kalangan orang Israel sendiri Allah itu juga yang dikenal sebagai Allah Abraham, Ishak dan Yakub.[3] Setelah Israel resmi menjadi satu bangsa sama seperti bangsa-bangsa lain di sekitar mereka, maka Allah ini juga yang menjadi Allah Israel (Yer. 31:33; Yeh. 37:27; Hos. 2:23).
2. Kontak Dengan Suku Bangsa Lain
Selama hidup mengembara di kawasan "bulan sabit" yang subur ini, Abraham dan keluarganya serta kaum kerabatnya telah mengalami kontak sosial dengan suku-suku bangsa lain entah dengan sengaja atau tidak sengaja, entah karena terpaksa atau secara sukarela. Diantara sekian banyak kontak yang terjadi, Kitab Kejadian mengisahkan antara lain tentang pertemuan Abraham dengan raja Mesir (Kej. 12:10-20). Menurut tradisi kuno bangsa Israel, ceritera ini seyogyanya mengenai Ishak, namun kemudian di wilayah selatan cerita ini dikembangkan sedemikan rupa lalu menyebut Abraham sebagai primadona cerita itu. Suatu kecenderungan untuk menempatkan Abraham pada titik pusat perhatian umat dan menempatkan martabat dan derajatnya setara dengan raja Mesir yang basa disebut Firaun.
Istilah Firaun sendiri mempunyai arti yang khusus pula karena nama itu berasal dari bahasa Akadia pir'u yang berarti Balai Agung.[4] Karena pada zaman itu raja yang memerintah suatu negeri biasanya bersemayam di Bala Agung, maka istilah Balai Agung itu sendiri kemudian berkembang menjadi gelar sang raja. Jadi kalau kita membaca istilah Firaun dalam Alkitab terutama Alkitab Perjanjian Lama, maka kita membaca tentang seorang raja penguasa yang bersemayam di Balai Agung. Cara memberi gelar kepada raja seperti itu mirip-mirip dengan cara kita orang Indonesia dari Jawa memberikan gelar kepada para Sultan d Jawa Tengah sepert Sultan Paku Alam di Surakarta dan Sultan Hamengkubuwono di Yogya di mana nama gelar kemudian berkembang menjadi nama pribadi.
Pertemuan Abraham dengan Firaun ini sangat penting untuk memperlihatkan Abraham sebagai leluhur bangsa Israel yang mempunyai identitas tersendiri. Dari Abrahamlah kemudian hari muncul suatu bangsa yang besar yang tidak lebih rendah martabatnya dari bangsa Mesir. Sebaiknya kita ketahui juga bahwa pada zaman Abraham, justru Firaun raja Mesir itu dipandang sebagai lambang kejayaan dan keemasan bangsa Mesr di wilayah "bulan sabit" yang subur itu. Banyak raja-raja Mesir yang digelar Firaun itu menyandang nama-nama pribadi yang mentereng dan masing-masng mempunyai makna tersendiri. Misalnya Raja Firaun yang bernama Ramses artinya "yang dilahirkan oleh Dewa Ra" (Ra adalah dewa matahari). Atau Raja Firaun yang bernama Amenhotep artinya "Dewa Amon yang dipuaskan."
Raja-raja lainnya yang pernah kontak (secara militer) dengan Abraham ialah empat raja masing-masing dari Elam, Goyim, Babilonia dan dar Elasar (Kej. 14). Tadinya empat raja ini berperang melawan raja-raja Sodom, Gomora, Adma, Zeboim dan Bela dan kelima raja terakhir itu dapat dikalahkan. Harta benda dan penduduk Sodom dan Gomora dirampas dan dibawa sebagai tawanan termasuk didalamnya Lot kemanakan Abraham. Mendengar akan hal itu Abraham dengan anak buahnya sebanyak 318 orang maju dan mengejar empat raja yang menawan Lot dan berhasil merebut kemanakannya itu dari tangan mereka. Demikian juga barang-barang mereka dapat direbut kembali. Rupanya sejak itulah nama Abraham semakn dikenal dan disegani di wilayah bulan sabit itu.
PERKEBUNAN
Di zaman leluhur ini maupun di zaman berikutnya (di zaman raja-raja), ada tiga hasil perkebunan yang utama yaitu, anggur, pohon zaitun dan gandum. Sebagaimana tertulis dalam Alkitab, ketiga jens hasil perkebunan ini mempunyai peranan penting dalam kehidupan orang Israel baik secara sekuler maupun secara rohani (keagamaan).
Pada zaman Perjanjian Lama anggur diusahakan sebagai tanaman perkebunan yang menjadi salah satu sumber penghasilan yang sangat menguntungkan secara material (keuangan). Nuh adalah petani kebun anggur yang pertama (Kej. 9:20). Di zaman raja-raja kita mendengar cerita tentang Raja Ahab yang ingin membeli kebun anggur Nabot tetapi Nabot tidak mau menjualnya (1Raj. 21:1-4). Rupa-rupanya pengusahaan anggur adalah permulaan dari peradaban manusia[5] karena ada bukti-bukti bahwa anggur sudah diusahakan di Mesir sebelum zaman dinasti Mesir. Berhubung anggur adalah tanaman kesayangan di zaman purbakala, maka Israel diumpamakan sebagai kebun anggur pilihan Tuhan yang dibawa dari Mesir dan ditanam oleh Tuhan (Mzm. 80:8-13). Walaupun Israel adalah anggur pilihan, namun ia bisa juga berubah menjadi "anggur hutan" (Yer. 2:21; Yes. 5:1-7; Hos. 10:1). Sama halnya dengan batang dan dahan, anggur berguna sebagai kayu bakar bagi kaum ibu yang memasak di dapur, demikian pula Israel cocok untuk dibumihanguskan. Namun waktunya akan datang bilamana Israel diampuni maka keadaannya sama seperti Israel yang "dihadiahkan kebun anggur" yang berarti bahwa setiap situasi yang melimpah ruah material itulah pertanda bahwa Allah berkenan kepada umat-Nya.
Dalam Perjanjian Baru Yesus sering memakai kebun anggur sebagai perumpamaan. Ia membandingkan Kerajaan Allah dengan karyawan seharian, setengah harian dan bahkan satu jam saja; namun masing-masng menerima upah yang sama (Mat. 20:1-16). Orang Yahudi digambarkan sebagai para penggarap yang disuruh pemiliknya untuk menggarap kebun anggurnya. Namun para penggarap itu diumpamakan sebagai penjahat karena mereka memukul orang-orang yang dikirim pemilik kebun anggur (Allah) untuk mengumpulkan buah-buahnya. Malahan akhirnya para penggarap yang jahat itu membunuh anak pemilik kebun (Kristus) supaya mereka bisa menguasai kebun itu. Tentu saja para penggarap itu dihukum mati dan kebun anggur disewakan kepada orang-orang lain (orang Krsten; Mat. 21:33-43).
Kebun anggur menjadi terkenal sebagai sumber penghasilan yang laris karena air anggurnya dipakai untuk berbagai jenis keperluan. Selain keperluan hidup sehari-hari (minuman) air anggur dipakai juga dalam pesta (banquet) untuk minuman. Ada kalanya air anggur termasuk bahan yang disediakan untuk upeti kepada penguasa atau hadiah kepada atasan. Misalnya Abigail dan Ziba membawa kirbat air anggur kepada Daud (1Sam. 25:18; 2Sam. 16:1). Sehubungan dengan itu semua, anggur telah menjadi bahan komoditi yang laris dalam perniagaan.
Selain diminum, anggur juga dipakai sebagai bahan medis. Ia dapat membangkitkan kembali orang yang pingsan (2Sam. 16:2) dan biasanya dilukiskan sebagai penolong pencernaan "... minumlah sedikit anggur untuk menolong pencernaanmu..." (1Tim. 5:23). Dalam Luk. 10:34 diceritakan tentang orang Samaria yang baik hati yang membersihkan luka-luka orang yang diserang penyamun dengan air anggur.
Anggur juga dipergunakan dalam kurban dan persembahan. Walaupun anggur bisa dipersembahkan kepada dewa (Ul. 32:37-38; Yes. 57:6; 65: 11; Yer. 7:18; 19:13 dst.), namun hal itu tidak menjadi halangan untuk mempergunakan anggur dalam upacara agama ortodoks. Pada asalnya yang dipersembahkan kepada dewa bukanlah anggur melainkan darah. Namun kemungkinan untuk mengganti darah dengan anggur bisa terjadi karena para penyembah memperlakukan anggur sebagai darah. Dalam 1Sam. 1:24; 10:3, diberitahukan kebiasaan para penyembah membawa sekantong anggur bilamana mereka pergi berziarah ke bait Allah. Bagaimanapun juga, anggur tidak selalu dipersembahkan tersendiri tetapi selalu disertai dengan seekor anak domba, tepung, minyak atau gabungan dari semuanya itu (Kel. 29:40; Im. 23:13; Bil. 15:7, 10; 28:14).
Pohon zaitun juga merupakan sumber hasil pertanian yang sering berdampingan dengan anggur. Sama seperti anggur, buah zaitun bukan hanya dimakan atau untuk keperluan sehari-hari, tetapi juga untuk keperluan ritual keagamaan. Karena itu zaitun merupakan komoditi perdagangan yang sangat laris. Pohon zaitun bertumbuh sangat banyak di bagian-bagian pedalaman negeri Kanaan. Terutama pada waktu orang Israel tiba di sana, pohon zaitun telah menjadi salah satu daya tarik negeri itu sebagai negeri yang berlimpah ruah dengan kekayaan alam dan hasil pertaniannya.5a Dalam Kitab Hakim-hakim 9:8-9 pohon zaitun dpakai oleh Yotham sebaga perumpamaan untuk calon raja Israel yang akan memerintah Israel. Pohon zaitun menjawab, "Ah hasilkan minyak ..." Pada zaman Alkitab, minyak zaitun merupakan produksi industri yang sangat penting. Hal ini terbukti dengan adanya tempat-tempat pemerasan buah zaitun di berbagai tempat tertentu di Palestina walaupun di tempat-tempat itu tidak terdapat kebun zaitun.
Rupanya sejak dari zaman awal, pohon zaitun sudah dkenal dalam kehidupan umat manusia. Hal itu terbukti dalam cerita air bah di Kej. 8:11 di mana diceritakan tentang burung merpati yang membawa daun zaitun pada paruhnya. Sejak itu burung merpati yang digambarkan dengan daun zaitun pada paruhnya telah menjadi lambang perdamaian dan persaudaraan.[6]
Dari tengah-tengah tanah Palestina terus ke Selatan terdapat sebuah perbukitan yang bernama Bukit Zaitun, panjangnya kira-kira dua setengah mil atau empat km. Bukit itu dinamakan demikian karena di atasnya terdapat rumpunan pohon-pohon zaitun yang mahaluas. Melalui puncak bukit inilah Raja Daud pernah melarikan diri dari pemberontakan Absalom anaknya sendiri (2Raj. 15:30-37). Dalam nubuatnya mengenai Yerusalem dan bangsa-bangsa, Nabi Zakharia menyebut nama Bukit Zaitun sebagai tempat Allah berdiri untuk menghukum bangsa-bangsa dan menyelamatkan Yerusalem (Za. 14:1-21).
Bukit Zaitun semakin terkenal di Perjanjian Baru karena Tuhan Yesus melakukan banyak kegiatan di sana pada minggu terakhir masa hidupnya di dunia ini. Dalam serangkaian naskah Perjanjian Baru, nama Bukit Zaitun disebut-sebut sehubungan dengan masuknya Yesus dengan kemenangan ke kota Yerusalem hanya enam hari sebelum Paskah (kematian-Nya). Rupanya Yesus bersama para pengikut-Nya berangkat dari Betani, sebuah desa di sebelah timur Bukit Zatun, terletak di dekat el-Azarieh, boleh jadi di sebelah barat dari desa modern itu. Mereka berangkat dari sana melalu Betfage, suatu tempat pemukiman yang tidak lagi diketahui dengan pasti letaknya. Penuturan Injl Sinoptis memberi petunjuk yang bisa diambil sebagai perkiraan bahwa tempat itu bisa disamakan atau berlokasi di sekitar Kefr-el-tur (Mat. 21:1; Mrk. 11:1).
Yesus pernah menubuatkan keruntuhan kota Yerusalem dan tentang kematian-Nya sendiri, diucapkan-Nya di atas Bukit Zaitun (Mat. 24:3; Mrk. 13:3-4; Luk. 21:5 dst.). Itu adalah gema kata-kata yang pernah diucapkan oleh Nabi Zakhara dalam Za. 14:1-5 yang menunjuk kepada bukit tu sendiri. Cerita tentang seorang pelacur yang tertangkap basah dan dibebaskan oleh Yesus (Yoh. 8:1-11) adalah terjadi secara jelas di Bukit Zaitun.
Pada hari-hari pekan terakhir sebelum Ia ditangkap, Yesus mengunjungi Rumah Tuhan di Yerusalem dan setelah itu pada malam hari Ia kembali ke Bukit Zaitun. Perkiraan-perkiraan yang mungkin adalah di Betani, di rumah Simon yang berpenyakit lepra (Mat. 26:6; Mrk. 14:3), atau di lokas sebidang tanah (estate) di Getsemane yang bisa juga dikatakan sebagai Taman Getsemane (Yoh. 18:1)[7]
Menurut La Mar C. Barrett, salah satu dar puncak Bukit Zaitun ini adalah tempat di mana Yesus naik ke surga meninggalkan para pengikut-Nya.[8] (Lihat Luk. 24:50-53; Kis, 1:9-12). Salah satu tempat di mana biara Kristen yang paling suci telah didirikan di tempat ini adalah tempat yang diperkirakan terdapat bekas kaki Yesus yang ditinggalkan sebelum Ia naik ke surga.
Sama seperti zaitun, tanaman gandum, adalah tanaman sejak dari dahulu kala seperti yang ditunjuk dalam Kej. 30:14; Kel. 34:22; Hak. 15:21).[9] Tanaman ini terdapat di mana-mana di Palestina untuk menyediakan roti bagi penduduknya. Gandum tumbuh lebih baik di tanah rendah yang diairi dengan irigas ketimbang jewawut (jelai) yang (serumpun jenis dengan gandum) lebih suka tumbuh di tanah yang lebih kering. Baik jewawut maupun gandum tumbuh bersama secara bertetangga (berlainan lahan tetap saling berbatasan). Hal ini pernah terjadi pada zaman Ruth di mana kedua tanaman itu tumbuh dekat Betlehem (Rut 2:23).[10] Sama seperti musim panen hasil pertanian lainnya, bahkan orang miskin (para janda, anak yatim, orang asing, dsb. yang tidak mempunyai lahan untuk bertani) lebih diperhatikan kepentingannya untuk memungut gandum yang tersisa ataupun yang sengaja disisakan dalam lahan panen (Ul. 24:19-22).
Bertolak dari perumpamaan Yesus tentang penabur (Mat. 13:3-9), benih tanaman ditabur ke tanah tentu saja tidak semuanya jatuh ke tanah yang baik dan tertutup dengan tanah. Ada diantaranya yang jatuh sia-sia tanpa bisa diharapkan hasilnya karena tidak akan bertumbuh di antara tanah yang berbatu-batu atau di pinggir jalan. Yang jatuh di pinggir jalan nantinya akan dimakan burung dan yang jatuh di semak-semak duri pasti tak akan bisa bertumbuh. Tetapi bilamana yang jatuh ke tanah subur lalu bertumbuh dengan baik, maka anak-anak keluarga petani yang bersangkutan akan dipekerjakan untuk menjaga buah-buah gandum itu nanti dari serangan burung-burung pemakan buah gandum. Pekerjaan itu tentu saja sangat melelahkan karena sama seperti penjaga ladang yang harus bekerja seperti orang-orangan yang berjemur di tengah-tengah ladang.
Bila musim panen tiba, maka gandum dituai dengan pemotong gandum dan biji-biji gandum yang dituai itu dijemur kemudian ditaruh di tempat pengirikan untuk memisahkan biji-biji gandum dari tangkainya dan dari gabahnya. Tempat pengirikan dipilih tempat yang rata dan bebas supaya angin bisa dengan bebas menghembus membersihkan biji-biji gandum dari gabahnya waktu petani menebarkan biji-biji itu ke udara. Dalam Alkitab, tempat pengirikan sepert itu sangat terkenal misalnya tempat pengirikan yang dibeli oleh Raja Daud dari Arauna (2Sam. 24:18-25). Waktu Raja Daud mendapat kembali peti perjanjian dari orang Filistin, lembu yang menarik kereta peti itu terjatuh di tempat pengirikan milik Nakhon. Waktu Uza mencoba mau menegakkan kereta itu maka ia langsung meninggal (2Sam. 6:6 dst.)
Bilamana jumlah gandum yang diirik tidak terlalu banyak, maka cukuplah ia diirik dengan sepotong tongkat dengan memukul-mukul tongkat itu pada berkas-berkas gandum. Tetapi kalau jumlahnya besar, maka ia harus diirik dengan membiarkan hewan menginjak-injaknya, dan orang tidak dibolehkan memberangus mulut lembu yang sedang mengirik gandum supaya ia dapat makan gandum itu sementara ia bekerja.[11] Lihat Ul. 25:4. Pengirikan itu melepaskan biji-bji gandum dengan tangkainya di lantai pengirikan. Pada waktu petang atau pagi, di mana terjadi angin bertiup, maka para petani mengambil garpu kayu yang besar untuk dipakai buat menebarkan tangkai-tangkai jerami dan biji-biji gandum ke udara, dan pekerjaan ini dinamakan menampi. Biji-biji gandum yang berat jatuh ke lantai dan tangkai serta gabah yang ringan akan ditiup ke bagan sebelah dari lantai pengirikan. Kemudian biji-biji gandum dikumpulkan dan disimpan, dan pada waktunya kemudian dibuatkan tepung untuk adonan yang akan dibakar.
Pada musim panen orang biasanya berpesta pora karena masyarakat bergembira di musim panen. Saat-saat itu sangat menentukan karena masyarakat sudah menyimpan panennya untuk masa berbulan-bulan berikutnya sementara masa membanting tulang sudah berakhir. Pekan-pekan pesta-pora (yang kemudian dikenal sebagai Pentakosta) dilaksanakan untuk merayakan panen gandum. Hari Raya Pentakosta dalam Gereja berasal dari peristiwa itu. Di Barat pesta panen seperti itu dirayakan oleh Gereja-gereja tetapi di Indonesia pesta panen memang dirayakan sejak zaman leluhur. Hal itu terutama terjadi di desa-desa sedangkan d kota-kota besar peristiwa seperti itu sudah tidak kelihatan lagi. Namun ide tentang musim panen dan pesta panen sudah menjadi tradisi bangsa Indonesia [12] sehingga bilamana Yesus dan para rasul berbicara tentang musim panen untuk menggambarkan saat akhir zaman atau akhir sejarah umat manusia, maka umat orang percaya di Indonesia langsung bisa memahaminya tanpa terlalu banyak menafsir. Dalam Markus 4:26-29 Yesus berbicara tentang Kerajaan Allah sama seperti orang yang menabur benih, menunggunya bertumbuh dan kemudian menyabitnya. Dalam kitab Wahyu 14:14-16 Yohanes melihat seseorang ‘ "seperti anak manusia" dengan mahkota emas di kepalanya dan sabit yang tajam di tangannya.' Lalu suatu suara berseru, "Ambillah sabitmu dan tuailah, karena masa untuk menuai sudah tiba, dan panen bum sudah masak."
PETERNAKAN: DOMBA
Sejak zaman purbakala ternak adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan para kepala suku. Bahkan sampai pada zaman modern ternak jenis domba sangat berlimpah di tanah suci Palestina.[13] Orang-orang Arab di tanah suci Alkitab ini dalam hdupnya sehari-hari sangat tergantung dari penghasilan ternak domba selama berabad-abad. Gambaran yang dapat diperoleh dari Alkitab tentang banyaknya ternak domba ini kita temui dalam Ayub 42:12 di mana dikatakan bahwa Ayub mempunyai 14.000 ekor domba sebagai tanda bahwa ia pernah menjadi seorang yang kaya raya. Kemudian pada waktu Raja Salomo meresmikan Rumah Tuhan di Yerusalem, ia mengorbankan 120.000 ekor domba (1Raj. 8:63). Ternak domba ini dijaga oleh gembala atau para gembala. Menurut kebiasaan orang Arab, anak lelaki yang termuda dalam keluarga adalah gembala domba, khususnya bilamana yang bersangkutan adalah seorang petani gandum dan seorang gembala. Bila ia sudah besar maka tugas gembalanya dilepaskannya kepada anak lelaki yang lebih muda karena ia harus memakai tenanganya untuk pekerjaan lain yaitu menolong orang tuanya menanam, membajak dan menuai hasil panen.[14] Rupanya hal seperti itu dianut juga oleh orang Israel dan terjadi pada diri Daud. Dalam Mazmur 23 digambarkan tentang Tuhan sebagai gembala bagi domba-domba-Nya (umat-Nya). Alat-alat gembala yang disebut di sana adalah gada dan tongkat (ayat 4b). Gada ini digunakan untuk melindungi domba-dombanya dari binatang buas (lih. 1Sam. 17:34-36) sedangkan tongkat digunakan untuk perlindungan.[15] Alat lain yang dimiliki oleh gembala ialah seruling. Alat ini merupakan sebuah alat musik bersuara merdu, cocok dibunyikan waktu santai di padang untuk melepas lelah sang gembala dan memberi rasa segar kembali kepada para domba. Bukannya tidak mungkin bahwa Daud sebagai seorang gembala pun mempunyai alat musik seperti ini.[16]
Antara gembala dan domba terjadi hubungan yang akrab dan mereka saling mengenal satu dengan yang lain. Khususnya gembala, bisa mengenal suara setiap dombanya, karena ia mempunyai perhatian yang sungguh-sungguh terhadap setiap anggota dombanya. Sering kali gembala ini memberikan nama bagi setiap domba sehingga masing-masng bisa dipanggil dengan namanya sendiri. Misalnya ada yang diberi nama "Si Putih" atau "Si Belang" atau kalau bulu dombanya hitam dipanggl "Blacky" atau lainnya lagi dipanggil "Broony" karena bulunya coklat (brown). Gembala-gembala Israel biasanya memimpin domba-dombanya dengan berjalan mendahului mereka. Terutama kawanan dombanya tidak terlalu besar, ia berjalan mendahului mereka di depan supaya melindungi mereka dari binatang-binatang buas yang ingin memangsai mereka. Tetapi hal itu tidak selalu demikian karena bilamana kawanan dombanya besar, maka ia akan berjalan di belakang kawanan dombanya. Bilamana kawanan dombanya terlalu besar, biasanya gembala mempunyai pembantu gembala yang disuruh berjalan di belakang kawanan domba sedangkan gembalanya sendiri akan berjalan di depan.[17]
Hubungan akrab antara gembala dengan domba-dombanya kelihatan sekali bila ia memimpin mereka berjalan melalui suatu jalan sempit. Mazmur 23:3 mengatakan "Ia menuntun aku di jalan yang benar" artinya Ia menuntuk supaya tidak menyimpang dari jalan yang seharusnya ditempuh. Jalan sempit seperti itu terutama terdapat di tengah-tengah ladang sehingga bilamana domba-domba itu menyimpang dari jalan, mereka akan memakan butir-butir gandum di sebelah kanan-kiri jalan dan merusak tanaman yang ada. Kerugian yang diakibatkan oleh domba-domba itu harus diganti oleh gembala yang bersangkutan.
Adalah penting juga diketahui bahwa gembala harus setap saat memperhatikan domba-dombanya supaya jangan sampai ada yang hilang tersesat karena terpisah dari kawanannya. Domba (domba-domba) yang terpisah dari kawanannya akan kebingungan dan tidak mempunyai perasaan sama sekali tentang tempat lokasi sehingga perlu dicari dan dibawa kembali ke kawanan domba. Domba yang sesat bisa diambil menjadi ibarat jiwa yang sesat seperti dalam Mazmur 199:176 "Aku sesat seperti domba yang hilang" (TB/BIS) atau seperti dalam Yesaya 53:6 dikatakan, "Kita sekalian sesat seperti domba" (TB) mengembik-embik ketakutan karena ia berkelana tanpa gembala. Tetapi bilamana ia dibawa kembali oleh gembalanya ke kawanan domba, maka ia akan meloncat-loncat kegirangan dan rasa girang seperti inilah yang digambarkan dalam Mazmur 23:3 "Ia menyegarkan jiwaku" (TB), "Ia memberi aku kekuatan baru" (BIS).[18]
Dalam pekerjaan penggembalaan ada dua petugas yang bisa dibedakan satu dari yang lain. Seorang adalah gembala itu sendiri dan seorang lagi adalah orang upahan. Mengenai orang upahan ini Yesus pernah mengatakan, "Orang upahan itu lari, sebab ia bekerja untuk upah" (Yoh. 10:13, BIS). Orang upahan ini tidak diperlukan kalau kawanan domba yang digembalakan itu kecil saja. Tetapi kalau kawanannya besar, maka ia memerlukan orang upahan untuk membantunya. Orang ini tidak tertarik pada domba-domba yang digembalakan sehingga ia tidak selalu bisa dipercayai sepenuhnya seperti halnya dengan gembala. "Orang upahan yang bukan gembala dan bukan juga pemilik domba-domba itu, akan lari meninggalkan domba-domba kalau ia melihat serigala datang. Maka domba-domba itu akan diterkam dan dicerai-beraikan serigala" (Yoh. 10:12, BIS).[19]
BANGUNAN RUMAH DAN KONSTRUKSINYA
Walaupun orang Israel tidak memiliki seni bangunan atau arsitektur yang mengagumkan seperti halnya bangsa-bangsa Romawi dan Yunani, namun kita perlu mempelajari sarana tempat tinggal atau kediaman mereka supaya bisa mengerti tata cara serta peri kehidupan mereka sehari-hari. Tempat kediaman mereka yang paling kuno adalah kemah. Ini sesuai dengan cara hidup mereka yang berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Abraham misalnya, pada waktu dikunjungi oleh tiga orang malaikat Tuhan, ia sedang duduk di pintu kemahnya (Kej. 18:1). Istri Abraham Sarah waktu itu berada di dalam kemah (Kej. 18:9).\f*
Lama kelamaan tatkala orang Israel sudah menetap di situ negeri yang mereka tuju, Palestina, mereka mulai tinggal di kota-kota di mana rumah-rumah dibangun. Kebiasaan mereka yang lama berdiam di kemah mereka tinggalkan sedangkan sebagai penggantinya mereka mendirikan rumah. Sebagian dari mereka tinggal di rumah-rumah yang ditinggalkan oleh orang-orang Kanaan.[20] Dengan melihat bangunan rumahnya, kita dapat membedakan antara pemilik yang kaya dan pemilik yang sederhana. Rumah-rumah yang dibangun hanya dengan satu kamar adalah milik orang-orang sederhana sedangkan yang dibangun dengan lebih dari satu kamar adalah milik orang kaya atau orang kaya raya. Bisa juga dikatakan bahwa rumah-rumah yang terdiri dari satu kamar banyak terdapat di desa-desa sedangkan yang lebih dari satu kamar kebanyakan terdapat di kota-kota besar.[21] Kebiasaan lama tinggal di dalam kemah membuat orang Israel terbiasa tinggal berkeliaran di luar rumah daripada di dalam rumah. Kemah (pada zaman leluhur) atau rumah (pada zaman bernegara) bagi mereka hanya merupakan tempat istirahat atau melepaskan lelah atau tempat perlindungan baik dari panas terik matahari maupun dari kedinginan atau hujan. Kegiatan hari-hari kebanyakan dilakukan di luar rumah. Karena begitu pentingnya rumah sebaga tempat berlindung, maka para penulis Kitab Suci menggambarkan Allah sebagai "Tempat Perlindungan" untuk "berteduh" (Mzm. 61:3; Yes. 4:6).
Pada umumnya atau kebanyakan rumah-rumah orang Israel kuno terdiri dari satu kamar saja. Rumah ini berbentuk kotak yang seolah-olah didudukkan saja di atas tanah. Tanah di mana rumah itu diletakkan terlebih dahulu diratakan dan kemudian dikeraskan dengan mencampurkan bahan perekat dengan Lumpur lalu dibiarkan mengeras sendiri atau menggilasnya dengan batu.
Dindingnya dibuat dari batu bata yang bahannya diambil dari Lumpur yang dikeringkan di bawah panas matahari. Dalam kitab Ayub rumah seperti ini disebut "makhluk dari tanah liat" (Ay. 4:19). Tetapi kadang-kadang dinding rumah ini bisa juga dibuat dari batu pasir yang terkenal dinegeri itu.[22] Atap rumah dibuat rata dan kukuh. Bahan-bahannya terdiri dari balok-balok guntung yang dipasang melintang dari atas dinding yang satu ke atas dinding yang di hadapannya. Balok-balok ini ditutupi dengan buluh anyaman kemudian dilapisi pula dengan tanah liat atau tanah saja; pasir dan batu kerikil ditaburkan di atasnya lalu batu penggiling digunakan untuk meratakannya supaya kedap air.
Ditutupnya atap rumah dengan tanah liat atau tanah atau mungkin juga Lumpur, dapat dipahami kalau atap rumah itu gampang dtumbuhi oleh rumput-rumputan. Hal seperti ni dapat kita baca dalam Mzm. 129:6 di mana dikatakan, "Biarlah mereka seperti rumput di atas atap yang menjadi kering sebelum dapat tumbuh" (lihat juga 2Raj. 19:26; Yes. 37:27). Kalau atap rumah hanya ditutup dengan lumpur, maka dapat dipahami juga bahwa bilamana turun hujan lebat, hujan itu bisa mengakbatkan atap itu miris atau bocor dan bisa menyebabkan kesulitan bagi penghuninya. Pengalaman akan air yang menetes dari atas atap rumah ini dibaratkan dengan seorang wanita yang menyusahkan suaminya (Ams. 19:13; 27:15).[23]
Berhubung atap rumah itu rata dan mudah dgunakan untuk berbagai kegatan hari-hari, maka ia sering digunakan untuk tempat merajut, membakar roti, menjemur buah ara atau untuk membersihkan biji-bijian gandum dsb. Dalam Kis. 10:27; Luk. 12:3). Kebiasaan-kebiasaan seperti ini sering dilakukan di rumah-rumah orang kebanyakan karena rumah mereka itu pada umumnya hanya bertingkat satu.
Rumah-rumah atau gedung yang bertingkat dua jarang terdapat kecuali di kota-kota besar seperti Yerusalem misalnya. Dalam rumah seperti itu terdapat kamar khusus untuk tamu yang bisa juga digunakan untuk tempat berdoa. Kamar seperti inilah yang dimaksudkan oleh Yesus dalam Mat. 6:6 di mana Ia menasihatkan para pengikut-Nya untuk tidak memperagakan kesalehan mereka di depan umum. Ada juga kamar doa di bilik atas seperti yang dipakai oleh Yesus dengan para pengikut-Nya untuk Santapan Paskah (Luk. 22:12). Rupa-rupanya bilik ini adalah milik salah seorang pengikut-Nya yang cukup berada karena ruangannya cukup luas. Dalam Kis. 1:13 dikatakan bahwa ruangan ini dipakai lagi oleh sejumlah 120 orang pengikut Yesus setelah Ia nak ke surga.[24]
ADAT ISTIADAT
Pergaulan
Salah satu ciri khas adat ketimuran orang Israel umumnya maupun Yahudi khususnya ialah keramahtamahan. Tamu mana pun yang masuk ke dalam rumah seorang Yahudi akan disambut dengan salam hangat. Adat ini dipakai turun-temurun malahan di kemudan hari dibawa alih ke dalam agama Kristen. Ini bukanlah berarti bahwa di Israel tidak ada orang yang brutal atau kasar, tetapi sikap dasar bangsa ini ialah keramahan. Seperti diceritakan di atas, Abraham pernah melayani tiga orang asing di kemahnya yang dilakukannya dengan penuh rasa ikhlas. Kemudian tindakan itu menjadi tolok ukur bagi kehidupan moral orang percaya (Ibr. 13:2; Mat. 25:35). Pada waktu Eliezer ditugaskan oleh Abraham meminang seorang gadis bagi Ishak, ia dilayani dengan sangat ramah oleh seorang gadis yang belum dikenalnya dan gadis itu sendiri menganggapnya sebagai seorang asing yang perlu pertolongan. Ternyata bahwa gadis itu adalah Ribka yang kemudian menjadi istri Ishak (Kej. 24:1-67).
Pada zaman Perjanjian Baru, Yesus mengajar para pengikut-Nya untuk membuka pintu rumah mereka bagi semua orang bahkan bagi fakir miskin dan orang-orang cacat (Luk. 14:13). Rumah orang Yahudi adalah rumah persahabatan dan tempat berbagi rasa. Walaupun ada orang yang menyalahgunakan sifat adat keterbukaan ini, keramahtamahan adalah bagina dari tenunan adat baik kepercayaan Yahudi maupun ajaran Yesus Kristus.[25]
Bila ada seseorang yang semata-mata asing berhenti di depan pintu, orang itu harus diperlakukan sebagai teman lalu diberi makan, penginapan, dilindungi dan kalau perlu diberi pakaian. Kata Yunani untuk keramahtamahan adalah "cinta akan orang asing" (Rm. 12:13; Tt. 1:8; 1Ptr. 4:9). Bila suasana keramahan menjadi cacat karena suatu sikap yang kasar atau tidak bersahabat, maka hal itu akan dianggap sebagai sikap kekafiran (Luk. 16:19-25). Dalam Perjanjian Baru sikap keramahan ini dipertahankan sekuat-kuatnya dan secara khusus surat-surat rasuli Filemon, 2 dan 3 Yohanes menekankan masalah ini.[26]
2. Perkawinan
a. Meminang
Sebagaimana cerita Eliezer di atas, perkawinan dalam Perjanjian Lama diatur oleh keluarga atau khususnya orang tua. Pihak lelaki datang ke pihak perempuan untuk meminang seorang gadis yang diinginkan oleh orang tua pihak lelaki. Hal ini terjadi misalnya pada Ismael (Kej. 21:21), Ishak (Kej. 24), dan Yakob (Kej. 28:1-3). Pengaturan perkawinan di kalangan orang Ibrani ini mirip-mirip dengan cara-cara yang berlaku di suku-suku bangsa di Indonesia seperti misalnya suku bangsa Batak, Dayak dan Toraja. Pengaturan perkawinan dimulai dengan jalan menghubungi pihak keluarga wanita terutama dengan orang tua yang bersangkutan kemudian dengan saudara-saudaranya. Kalau bukan orang tua langsung yang menghubungi, bisa juga dengan seorang atau beberapa orang perantara. Dalam kasus Ishak, maka Eliezerlah yang menjadi perantara. Seorang perantara oleh Yohanes Pembaptis disebut sebagai "sahabat pengantin" (Yoh. 3:29).[27] Sahabat pengantin ini dalam tugasnya sebagai perantara bertindak atas nama pengantin dan ia sudah diberitahukan terlebih dahulu tentang kesanggupan dan kemampuan pengantin sampai berapa banyak pemberian yang dapat pengantin lelaki berikan kepada pengantin perempuan. Dengan ditemani oleh orang tua pihak lelaki dan mungkin juga disertai oleh beberapa orang dari kaum kerabat pihak lelaki, perantara ini pergi ke rumah pihak perempuan. Setiba di rumah, ayah pihak lelaki memberitahukan bahwa yang akan menyampaikan maksud kedatangan rombongan mereka adalah si pengantara tadi.
Ayah dari keluarga pihak perempuan kemudian menimbal untuk menunjuk juga seorang juru bicara mereka. Sebelum kedua belah pihak bernegosiasi, maka minuman kopi disuguhkan kepada rombongan yang datang, namun mereka menolak untuk meminumnya sebelum misi mereka selesai (lhat Kej. 24:33 dalam kasus Eliezer). Setelah kedua juru bicara dari kedua belah pihak berhadapan, maka pembicaraan dilakukan dengan sungguh-sungguh. Pihak perempuan perlu mendapatkan bukti yang bisa dipegang mengenai bentuk pemberian yang akan diterimanya dari pihak lelaki. Bilamana suatu kesepakatan sudah diambil maka kedua juru bicara tadi bangkit berdiri saling menyalami satu dengan yang lain, dan kopi langsung dibawa dan mereka sama-sama minum sebagai tanda perjanjian yang telah dicapai.[28]
Untuk menyungguhkan maksudnya, pihak lelak menyerahkan berbagai hadiah kepada orang tua dan saudara-saudara pihak perempuan. Pemberian hadiah ini tidak selalu dalam bentuk material seperti yang dilakukan oleh Eliezer tetapi bisa juga dengan cara seperti yang dilakukan oleh Yakob misalnya: ia bekerja selama tujuh tahun untuk mendapatkan istrinya (Kej. 29:15-19). Maksud dari pemberian atau mas kawin ini adalah untuk memberikan jaminan hidup kepada si mempelai wanita seandainya perkawinan itu berakhir alias gagal di tengah perjalanan kehidupannya. Atas alasan itu maka mas kawin biasanya diberikan dalam bentuk uang logam atau permata. Karena itu cerita tentang perempuan yang kehilangan satu dari sepuluh uang peraknya (Luk. 15:8, 9) sangat menyesal dan berusaha untuk mencari dan mendapatkannya kembali.[29]
b. Bertunangan
Pertunangan dalam kalangan orang Yahudi merupakan suatu persiapan untuk perkawinan dan bukan hanya suatu perjanjian kawin tanpa ikatan. Pertunangan berarti suatu ikatan pasti untuk perkawinan sehingga tidak mungkin dibatalkan lagi. Sebelum pembuangan ke Babil, pertunangan merupakan perjanjian lisan oleh kedua belah pihak namun pertunangan ini hampir dapat disamakan dengan perkawinan seperti yang digambarkan dalam Yeh. 16:8, di mana dikatakan bahwa, "... kuikat janji perkawinan denganmu, dan engkau menjadi milikku." Janji perkawinan secara lisan seperti ini berlangsung sampai orang Israel kembali dari pembuangan waktu mana pertunangan dikukuhkan juga dengan penandatanganan perjanjian kawin.[30] Hari pertunangan dirayakan dengan suatu pesta dan saling memberi hadiah supaya perstiwa itu menjadi resmi. Masa pertunangan biasanya berlangsung selama satu tahun. Di zaman dahulu kala, orang lelaki Israel yang sedang menjalani masa pertunangan dilarang ikut dalam peperangan supaya ia tidak mati sebelum kawin (Ul. 20:7). Masa pertunangan itu dipandang sangat suci sehingga bilamana ada lelak lain yang bersetubuh dengan wanita yang sedang menjalankan pertunangan, maka si pelanggar akan dihukum dengan lemparan batu sampai mati (Ul. 22:23, 24). Tetapi bilamana si wanita yang digauli tidak bertunangan, maka lelaki itu tidak dilempar dengan batu tetapi harus membayar kepada ayah si wanita dan harus mengawininya.[31]
Pada waktu Yusuf dan Mara bertunangan secara sah, segala pengaturan pertunangan yang diperlukan menuju jenjang perkawinan sudah diselesaikan selengkapnya (Luk. 2:5). Namun sebagaimana kebiasaan masyarakat umum, mereka tidak pernah berhubungan kelamin sehingga kehamilan Maria merupakan sesuatu yang sangat memalukan bagi dua orang yang berpasangan maupun keluarga Maria sendiri. Dan lelaki yang menghamili dia harus dicari dan dilempar dengan batu sampai mati. Namun, Yusuf yang mengetahui akan seluk beluk adat istiadat itu, tidak menghendaki supaya Maria tersinggung dan menanggung aib, ia tidak mau memutuskan pertunangan mereka secara resmi melainkan secara diam-diam saja (Mat. 1:19).[32]
c. Perceraian
Perceraian perkawinan terjadi di kalangan orang Israel bilaman sang suami mendapatkan "ketidakbersihan" pada diri istrinya (Ul. 24: 1). Salah satu contoh mengenai "ketidakbersihan" ini ialah bahwa sang suami waktu menikahi istrinya ternyata bahwa istrinya itu bukan lagi gadis. Kalau ternyata bahwa gadis itu memang bersalah, maka ia harus dihukum mati dengan lemparan batu (Ul. 22:13-21).
Contoh lain ialah bilamana sang suami mencurigai istrinya melakukan perbuatan zinah. Untuk menjernihkan soal itu sang suami membawa istrinya kepada imam untuk diuji. Ujian ini disebut "ujian kecemburuan" atau bisa juga disebut "ujian berat". Cara menguji seperti ini sudah biasa dalam adat budaya manusia di Asia Barat.[33] Dalam ujian ini wanita itu disuruh minum air putih. Bilamana ia tidak bersalah, maka air itu tidak akan mendatangkan bahaya baginya. Tetap bilamana ia bersalah, maka air itu akan menyebabkannya sakit dan bila demikian halnya, maka ia dihukum dengan lemparan batu sampai mati karena dianggap sebagai seorang pelacur (Bil. 5:11-31).
Sejauh masalah perceraian, maka perceraian hanya boleh terjadi kalau sang suami menceraikan istrinya. Sang istri sama sekali tidak mempunyai hak untuk menceraikan suaminya walaupun dengan alasan apa pun. Karena itu bilamana seorang wanita sudah tidak merasa betah lagi dengan suaminya, maka ia bisa saja pergi meninggalkan suaminya tanpa surat cerai (Hak. 19-21). Secara resmi sang istri terikat kepada suaminya selama mereka masih hidup atau sampai pada waktu suaminya menceraikannya. Seandainya sang istri diberikan surat keterangan cerai suaminya, maka ia boleh saja kawin dengan lelaki lain mana pun asal saja lelaki yang bukan imam (Im. 21:7, 14; Yeh. 44:22). Tetapi sayang bagi sang istri yang sudah diceraikan oleh suaminya; ia tidak mungkin rujuk kembali dengan suaminya karena wanita yang demikian sudah dianggap pelacur, hal mana merupakan sikap melawan terhadap suami (Mat. 2:16).[34]
KOTA DAN DESA
Berdasarkan hasil penggalian yang dilakukan di zaman modern ini, kota purbakala Israel dapat dibuat diskripsinya sebagai berikut. Kota-kota Israel, sama seperti kota-kota bangsa lainnya di zaman Alkitab Perjanjian Lama, terutama zaman Raja-raja dst., mempunyai dinding tembok yang kukuh sebagai kubu pertahanan. Tinggi tembok ini tidak tanggung-tanggung sehingga dilukiskan dalam Ul. 1:28 "... kota-kota di sana besar dan kubu-kubunya sampai ke langit."[35] Setiap kota mempunyai pintu gerbang sebagai jalan keluar masuk sehari-hari bagi penghuni kota.
Setiap kota berdinding tembok mempunyai pintu gerbang. Kota yang kecil mempunyai hanya satu pintu gerbang sedangkan kota yang lebih besar mempunyai lebih dari satu pintu gerbang. Di sebelah kiri dan kanan pintu gerbang dibangunkan menara-menara yang tinggi dan di atas pintu gerbang dibuatkan tempat penjaga (2Sam. 18-24). Daun pintu gerbang itu dilapisi dengan besi (Yes. 45:2). Ada juga kota yang dibuat dengan tembok rangkap, tembok luar dan tembok dalam. Kota Yerikho misalnya mempunyai tembok luar setebal 1,5 - 1,8 meter dan tembok dalamnya setebal 3,3 - 3,7 meter. [36] Dalam Yes. 26:1 dikatakan bahwa tembok luar itu adalah benteng.
Pintu gerbang bisa juga dipakai sebagai tempat pertahanan kota atau pusat keramaian untuk umum. Ke pintu gerbang seperti inilah Raja Daud telah turun untuk menentramkan pasukannya yang kecut hati karena Raja telah menderita kesedihan yang hebat atas kematian anaknya Absalom yang memberontak terhadapnya (2Sam. 18:4, 24, 33; 19:8). Dalam pada itu pintu gerbang juga bisa berfungsi sebagai tempat berjual-beli atau pasar (2Raj. 7:1, 18). Tetapi bisa juga sebagai tempat bersidang untuk memutuskan karena di sinilah orang tua-tua, para hakim dan raja bisa duduk secara resmi (Ul. 21:19; 22:15; Rut 4:1, 11; 2Sam. 18:24; Yes. 29:21).[37]
Tidak sulit untuk membedakan desa dan kota di Israel karena perbedaan itu sangat jelas. Bila kota mempunyai dinding tembok atau benteng, maka desa adalah suatu lokasi terbuka di mana terdapat kumpulan beberapa rumah, tanpa dinding tembok (Im. 25:29, 31; Ul, 3:5; 1Sam. 6:18; 1Taw. 27:25).Organisasi dan administrasi desa sangat sederhana dibandingkan dengan kota. Seperti dikatakan di atas, di desa rumah biasanya hanya mempunyai bilik satu saja. Desa tidak mempunyai parit dalam yang mengelilinginya, maupun benteng atau pertahanan lainnya (Yeh. 38:11). Ia adalah kota yang terbuka (Est. 9:19).[38]
\fig Ilustrasi (Rumah sederhana berbilik satu*
Wight, Fred H., Manners and Customs of Bible Lands. Chichago: Moody Press, 1987, p. 21.\fig*
Pada zaman Talmud desa bisa dengan mudah dibedakan dari kota karena desa tidak mempunyai rumah ibadat (sinagog). Hal itu tidak diungkapkan dalam Perjanjian Baru, meskipun sebutan tentang kota dan desa tetap diperlihatkan dalam kitab-kitab Injil Sinoptis. (Lih. Mat. 9:35; 10:11; Mrk. 6:56; Luk. 8:1; 13:22).
Sebuah desa bisa bertumbuh menjadi sebuah kota kecil dalam tempo beberapa tahun saja. Jadi desa seperti itu dibuat dinding temboknya sehingga menjadi kota kecil (1Sam. 23:7). Tembok ini dibuat untuk menahan serangan musuh pada masa perang. Tetapi pada masa damai orang tidak usah ragu-ragu tinggal di luar kota yang berdinding tembok. Nama KAPERNAUM ada kemungkinan menggambarkan pertumbuhan sebuah desa menjadi kota karena nama itu berarti "desa Nahum". Betlehem kadang-kadang disebut kota (plis) dalam Lukas 2:4 tetapi kadang-kadang desa (koome) dalam Yoh. 7:42. Sebaliknya suatu kota yang runtuh bisa berubah menjadi desa (Za. 2:4).[39]
Sering kali suatu desa bergantung kepada kota tertentu untuk perlindungan dan untuk hal-hal ekonomi dan politik tertentu. Dalam hal yang demikian maka desa itu di bawah pemerntahan kota yang bersangkutan. Di zaman purbakala, di Eropa desa-desa seperti itu dibangun di sekitar kota bahkan menempel pada tembok kota. Ketergantungan desa-desa pada kota seperti itu terbukti dalam pembagian tanah di bawah kewenangan Yosua. Misalnya dikatakan bahwa 114 kota terdaftar sebagai bagian yang diberikan kepada Yehuda "termasuk desa-desa di sekitarnya" (BIS) (Yos. 15:32-62; 18:24, 28; 1Taw. 6:54 dst. dll.)
Desa-desa itu terlibat dalam pengolahan tanah, pertanian dan peternakan Tanah di sekitar tempat itu secara bersama-sama dikerjakan oleh para penduduk desa di situ. Pada musim dingin, di situlah para gembala berkumpul untuk menjaga domba-dombanya. Pada musim semi atau musim panas sering kali para gembala itu keluar dari desa-desa itu. Perlu diketahui bahwa padang-padang rumput di sekitarnya adalah bagian milik dari desa bersangkutan (1Taw. 6:54 dst.).
Ada kalanya perkemahan juga disebut desa. Perkemahan orang-orang Ismael (Kej. 25:16; dari Kedar dalam Yes. 42:11) merupakan suatu desa. Itulah yang disinggung dalam syair paralelisme dalam Mazmur 69:25. Dari dalam kehidupan pedesaan inilah muncul orang-orang terkenal seperti Saul dan Daud. Jadi para petani di Israel bukanlah orang-orang yang terkecil (Hak. 5:11).
PENUTUP
Tulisan ini tidak bermaksud untuk mengungkapkan seluruh rincian latar belakang budaya Alkitab Perjanjian Lama karena hal itu tidak mungkin dilakukan dalam jumlah halaman yang telah ditentukan untuk itu. Cukilan-cukilan di atas adalah upaya minimal untuk menampung secara maksimal deskripsi budaya tersebut sehingga dapat memberikan contoh-contoh masukkan untuk melihat hubungan antara ungkapan-ungkapan Alkitabiah dan latar belakang budaya di balik ungkapan-ungkapan itu. Lukisan-lukisan secara visual juga diberikan secara terbatas hanya sekedar memberikan ilustrasi untuk memudahkan pembaca membayangkan apa yang melatarbelakangi pemikiran Alkitab pada umumnya dan Alkitab Perjanjian Lama pada khususnya.
Daftar Rujukan Pustaka:
Berrett, La Mar C., Discovering the World of the Bible. (Nashville, Tenessee: Thomas Nelson Publishers), 1979.
Buttrick, George Arthur. The Interpreter's Dictionary of the Bible (Vol. 1 & 2) New York: Abingdon Press, 1962.
Coleman, William L., Today's Handbook of Bible Times and Customs. (Minneapolis, Minnesota: Bethany House Publishers), 1984.
Packer, James L., (ed.), Daily Life in Bible Times.
(New York: Thomas Nelson Publishers). 1982.
Thomson, J.A. Handbook of Life in Bible Times.
Leicester: Inter Varsity Press, 1986.
van Deursen, A. Purbakala Alkitab Dalam Kata dan Gambar
(Jakarta: BPK Gunung Mulia), 1991, Judul asli: "Bijbels Beeldwoordenboek" diterjemahkan oleh E.I. Soekarso.
Wight, Fred H., Manners and Customs of Bible Lands.
Chicago: Moody Press, 1987.
[1] Thomson, J.A. Handbook of Life in Bible Times. Leicester: In-ter-Varsity Press, 1986 p. 11.
[2] Buttrick, George Arthur. The Interpreter's Dctionary of the Bible (Vol. ) New York: Abingdon Press, 1962, p. 438.
[3] Ibid., 418.
[4] Ibid. Vol. 4, p. 773.
[5] Ibid., vol. 3 , p. 596.
5a Ibid., vol. 3, p. 596.
[6] Ibid.
[7] Ibd., vol. , p. 597-599.
[8] Berrett, La Mar C., Discovering the World of the Bible (Nashville, Tenessee: Thomas Nelson Publishers), 1979, p. 237.
[9] Buttrick, op.ct, vol. 4, p. 840, cf, GEZER CALENDAR.
[10] Thomson, J.A., op. cit., p. 129.
[11] Ibid., p. 130.
[12] Mungkin juga bangsa-bangsa Asia pada umumnya.
[13] Wight, Fred H., Manners and Customs of Bible Lands. Chicago: Moody Press, 1987, p. 147.
[14] Ibid., p. 148.
[15] Edwn W. Rice, Orientalism in Bible Lands, p. 241-242 as quotes by Wight, op. cit., p. 150.
[16] Wight, Ibid., p. 151.
[17] Ibid., p. 157.
[18] Ibid., p. 158.
[19] Ibid., p. 159.
[20] James 1, Packer (ed.), Daily Life in Bble Times. (New York: Thomas Nelson Publshers), 1982, p. 149.
[21] Wight, op. cit., p. 35, quoted from George M. Mackie, Bible Manners and Customs, p. 90.
[22] Wight., Ibid., p. 22.
[23] Ibid., p. 25.
[24] Coleman, William L. Today's Handbook of Bible Times and Customs. (Minneapolis Minnesota: Bethany House Publishers), 1984, p. 13.
[25] Ibid., p. 19.
[26] Wight, op. cit., p. 127.
[27] Wight, op. cit., p. 127.
[28] Ibid., p. 127, quoted from H. Clay, Studies in Oriental Social Life, Philadelphia: The Sunday School Times Co., 1984, pp. 17-20.
[29] ft Ibid., p. 128.
[30] Ibid., p. 129.
[31] Coleman, op. cit., p. 88.
[32] Ibid.
[33] James I. Packer, op. cit., 54.
[34] Ibid.
[35] Mungkin tingginya antara 16 dan 18 meter. Lih. A van Deursen, Purbakala Alkitab dalam Kata dan Gambar (Jakarta: BPK Gunung Mulia), 1991, hal. - Judul asli: "Bijbels Beeldwoordenboek" diterjemahkan oleh E. I. Soekarso.
[36] Ibid.
[37] Buttrick, George Arthur, op. cit., vol. 2, p. 355.
[38] Ibid., vol. 4 , p. 784.
[39] Ibid.
Sumber: http://www.alkitab.or.id/index.php?option=com_content&task=view&id=144&Itemid=131
Langganan:
Postingan (Atom)