I.
PENDAHULUAN
Hendrik Kraemer pernah berkata,
bahwa pemimpin gereja, maupun pengembangan/ pertumbuhannya yang terbaik bagi
gereja-gereja di Indonesia adalah orang-orang Indonesia sendiri. Dengan dasar
pertimbaganan tersebut diharapkan orang-orang Indonesia dapat meneruskan tugas
panggilan gereja di Indonesia dalam waktu tidak begitu lama, dengan harapan
gereja-gereja yang dipimpin oleh misionaris secara bertahap dipimpin oleh
pendeta pribumi (orang-orang Indonesia).
Choan Seng Song, teolog Taiwan yang
menggagas teologi kontekstual, berpendapat bahwa kebudayaan Asia adalah wadah
yang paling tepat bagi Injil Yesus Kristus untuk masyarakat Kristen di
Asia.Pengalaman ini ratusan tahun kekristenan di Asia masih terbungkus oleh
budaya Barat. Barat memang menarik (mungkin dominan) juga ketika mereka ke Asia
pada abad ke 16, untuk mendapatkan rempah-rempah. Disamping mendapatkan secara
langsung rempah-rempah mereka mewartakan Injil yang indah untuk orang-orang
Asia. Kekristenan (Protestan lahir pada abad ke 18) sejak itulah kekristenan Barat
di Indonesia sampai usainya Perang Dunia II, bertumbuh, namun lambat tidak
secepat yang dibayangkan, dibanding dengan misinya pekabaran Injil di Asia,
khususnya di Indonesia. Para Misionaris yang datang ke Indonesia adalah
orang-orang Barat (Misionaris Pietisme) sebagai orang Barat memiliki budaya Barat.
sebagai orang pietisme, mereka mencurigai terhadap nilai-nilai di luar kitab
suci. Akibatnya terjadilah pengeliminasian budaya Indonesia di dalam
kekristenan yang ada di Indonesia. Orang-orang pribumi yang menjadi kristen
dilepaskan dari akar budayanya. Salah satu istilah ejekan kepada orang-orang
Kristen yang meninggalkan budaya Jawa ialah “Londo ireng”. Namun budaya Baratbelum dia miliki. Ternyata apa yang
dikatakan “Sadhu Sundar Sing” (penginjil India) kekristenan berbaju Barat
kurang dapat diterima di Asia. Pertimbangan tersebut, meyakinkan kekristenan di
Asia tidak berkembang hanya + 10 % di Asia. Dalam konteks Indonesia,
menjadikan kekristenan berbudaya Indonesia. untuk menjadikan kekristenan eksis
dan bertumbuh di Asia, salah satu caranya ialah menjadikan kekristenan berwajah
Asia, dan di Indonesia menjadikan kekristenan berwajah kebudayaan Indonesia. Dalam
pengamatan saya, semangat untuk membawa Injil ke dalam konteks Indonesia tidak
terlihat di berbagai wilayah/daerah Indonesia, dengan pemakaian atribut budaya yang
telah dilakukan. Tetapi terbatas kontekstualisasinya, masih terkesan kegamangan
untuk masuk lebih dalam dan kekristenan menyentuh daerah terlarang “Sinkritisme”.Melalui paparan ini, saya
mencoba menyampaikan suara hati orang-orang kristen di Indonesia, mencari
fondasinya pada Injil dan membandingkannya dengan wajah kekristenan umum di
Indonesia. Kesimpulan saya selaku pejabat Ditjen Bimas Kristen, masih banyak
yang harus dikaji dengan penuh keterbukaan hati dan keberanian untuk demi kemuliaan
nama Tuhan melalui Injil Yesus Kristus dan demi menjaga istilah yang sering
muncul kepermukaan bahwa Kristen di Indonesia adalah Kristen kebarat-baratan.
1.
Kuasa dan Wibawa bagi Pertumbuhan Geraja
1.1.
Pertimbangan teori Peter Wagner dan
Wibawa bagi Pertumbuhan Gereja
Peter
Wagner (seorang ahli pertumbuhan gereja) dari Fuller Teological Seminary, dia
mengamati tentang pertumbuhan gereja-gereja Pentakosta, dan Kharismatik di
Amerika Latin dan Asia. kesimpulannya adalah peranan demonstrasi di dalam
gereja menjadi faktor yang sangat penting bagi pertumbuhan gereja. Peter Wagner
yang semula kurang tertarik tentang cara-cara Pentakosta – Kharismatik, tidak
bisa menyangkal bahwa kuasa mukjizat, kuasa penyembuhan yang berasal dari Roh
Kudus sungguh-sungguh menyebabkan pertumbuhan gereja sangat luar biasa hal
inilah yang Peter Wagner meneliti kebenaran Alkitab dan melihat bahwa
dialog-dialog akali dan teolog seperti yang pernah dilakukan oleh Rasul Paulus
dengan filsuf Yunani di panggung Aeropagus tidak membawa dampak yang signifikan
dibandingkan dengan demonstrasi kuasa Roh Kudus yang menyebabkan runtuhnya
tembok penjara Pilipi.
2.
Pertimbangan dari strategi Kiyai Sadrakh
dalam penginjilan di Jawa.
Kiyai
Sadrakh adalah penginjil dari kalangan orang Jawa pada awal abad XX. Ia seorang
yang berpendidikan yang sangat terbatas yang dipakai Tuhan sebagai Penginjil
dikalangan orang Jawa,yang dapat mendirikan gereja sampai tahun 1898, berhasil
mendirikan 70 Gereja dengan anggotanya + 8.000 orang. Para misionaris (Zending)
dari Barat belum bisa mengimbangi dari strategi penginjilan yang dilaksanakan
oleh Kiyai Sadrakh, walaupun pengetahuannya tentang agama Kristen sangat
terbatas. pendekatannya berbeda dengan yang dilakukan oleh misionaris/zending Barat.
Sadrakh sangat menguasai/menghargai kebudayaan Jawa dan menjadikan kebudayaan
Jawa sebagai bungkus Injil Yesus Kristus yang diimaninya. Jadi kontekstualisasi
merupakan ciri khas kekristenan yang dikembangkan oleh Sadrakh.
Ada 3 (tiga) pendekatan yang
dilakukan oleh Sadrakh;
a.
Pola kepemimpinan Sadrakh adalah budaya
Jawa, Sadrakh sangat menguasai dan menghargai budaya Jawa dan menjadikan
kebudayaan Jawa sebagai sarana penginjilan. Kepemimpinan Sadrakh yang sangat
Jawa, terasa asing bagi para Misionaris. Mereka menuduh Sadrakh menempatkan
dirinya terlalu tinggi, sehingga disembah oleh para pengikutnya bagaikan Allah
sendiri.
b.
Metode pelayanan Sadrakh yang menjadikan
kuasa rohani sebagai sarana utama, untuk mengkristenkan orang lain, dan
mengabaikan faktor-faktor teologi Protestan sebagai sarana mengkristenkan orang
lain. Bagi Misionaris, seorang yang menjadi Kristen hanya karena kagum kepada
Sadrakh, adalah tidak tepat. Menurut para Misionaris orang menjadi Kristen
mengikuti ajaran Kristen Protestan.
c.
Ajaran yang kontekstual;
Ajaran
kontekstual yang dilaksanakan oleh Sadrakh dipandang menyimpang dari para Misionaris.
Sadrakh mengajarkan “Yesus adalah Ratu Adil”, membakar kemenyan sambil
mengucapkan mantra untuk kesembuhan anggota jemaat, atau mengusir roh-roh jahat.
Dari uraian tersebut di atas, saya ingin menjelaskan dalam pengembangan
gerejanya, Sadrakh paling tidak menekankan 2 (dua) hal: pertama, dalam melayani
jemaat sangat dibutuhkan kepemimpinan yang baik, dan teladan kepada jemaat, dan
kedua, adanya demonstrasi kuasa, dalam pelayanan kepada jemaat.
II.
STRATEGI PENYAMPAIAN KHABAR BAIK YANG
KONTEKSTUAL
- POLA
KEPEMIMPINAN SADRAKH
Perbedaan model kepemimpinan Barat
dan Timur terletak pada penempatan kekuasaan. Di Barat kekuasaan dibagi-bagi
sedangkan di Timur, kekuasaan disatukan dan dipusatkan pada seorang pemimpin.
Model kepemimpinan Timur inilah yang diterapkan oleh Sadrakh. Sadrakh mengambil
seluruh kepemimpinan yang berfokus pada dirinya sendiri, dan mengambil seluruh
tanggung jawab gerejanya. Ia sendiri yang mengangkat seluruh pembantunya. Ia
sendiri yang menentukan pengembangan gerejanya, dan semua operasional gerejanya
harus dia ketahui. Salah satu contoh tentang komunikasi ke Misionaris, tidak
dapat dilakukan sebelum ada persetujuan dari Kiyai Sadrakh. Tapi dilain pihak
semua kegiatan dia sendiri yang langsung bekerja, misalnya: pembukaan lahan
pertanian di hutan. Dia mendirikan Gereja di lahan-lahan hutan sebagai tempat
memuji Tuhan, dan tempat belajar Firman Tuhan. Ketika Sadrakh ditangkap, lalu
dipenjarakan karena melawan Pemerintah, ia mewajibkan seluruh penduduk untuk di
cacar, Sadrakh menerimanya untuk dipenjarakan sebagai konsekuensi logis sebagai
pimpinan. Sadrakh merawat anggota jemaatnya jika ada yang sakit, membagikan
tanah kepada jemaatnya untuk diusahai para jemaatnya, dan mempekerjakan anggota
jemaatnya di tanah miliknya, dia memberi modal kepada jemaatnya supaya mereka
berusaha. Sadrakh bukan saja sebagai pemimpin rohani, juga pemimpin kehidupan
fisik dari jemaatnya yang ada dimana-mana.
- DEMONSTRASI
KUASA SADRAKH
Sadrakh memulai pelayanannya, ia
menjumpai para Kiyai-Kiyai dan menantang mereka dengan adu ilmu. Strategi ini
ia lakukan, untuk mempermudah pelayanannya kepada para Kiyai dan penduduk di
sekitar maupun lingkungan Kiyai. Penyebaran agama Kristen lebih cepat dibanding
dengan langsung berdialog dengan para Kiyai-kiyai dan para Guru-guru di
desa-desa. Kalau tidak berhasil dengan strategi pertama, maka ia menantang
mereka dengan cara, perang tanding di depan umum untuk mengetahui yang paling
hebat ilmunya. Sadrakh berjanji, kalau ia kalah, maka ia akan kembali ke
agamanya semula, tapi jika ia yang menang, maka pihak lawan-lawannya masuk
agama Kristen. Dengan kepintarannya, lawan-lawannya dengan sendiri ingin
menjadi agama Kristen. Dalam mengendalikan jemaatnya, Sadrakh menunjukkan
kekuatannya yang lebih hebat dari pada murid-muridnya, ia bisa menghilang
secara tiba-tiba dan muncul lagi dan kadang-kadang di tangan dan kakinya ada
bekas paku seperti Kristus. Ia membagi-bagi kuasanya kepada murid-muridnya
dengan menjual keris yang sudah lebih dahulu ia berkati. Untuk menolong
jemaatnya yang bermasalah, Sadrakh secara rutin mengadakan upacara penyembuhan
pada setiap Selasa kliwon, ia berdoa, lalu memberi air untuk diminum, ternyata
jemaatnya yang bermasalah sembuh kembali.
- POLA
PELAYANAN YESAYA PARIADJI
Saya tidak memiliki sumber primer,
berupa buku-buku pola pelayanan Yesaya Pariadji, dengan pertimbangan tersebut
saya mempergunakan brosur-brosur yang dibagikan dalam ibadah-ibadah, beberapa
kali menghadiri kebaktian Gereja Tiberias di Medan, Jakarta, serta profil
Gereja Tiberias di Indonesia secara berturut-turut selama 3 tahun, yaitu 2009,
2010, 2011, ternyata pertumbuhan anggota jemaatnya sangat cepat, dari data
tersebut, Gereja Tiberias didirikan pada tanggal 17 Agustus 1990. Sekarang
dalam kurun waktu 20 tahun bahwa Gereja Tiberias tergolong menjadi salah satu
gereja besar di Indonesia bahkan pelayanannya sudah menjangkau hingga luar
negeri.
Selain
pertumbuhan anggota jemaatnya yang begitu cepat, Gereja Tiberias juga melahirkan
sebuah tren baru dalam pelayanan kekristenan di Indonesia. Dalam pengamatan
saya, istilah minyak urapan, adalah sumbangan Gereja Tiberias dalam pelayanan
gerejawi di Indonesia. Disamping itu perjamuan kudus, sebagai suatu yang sudah
lazim dilaksanakan dalam kegiatan gerejawi mendapat makna baru dengan penerapan
perjamuan kudus di Gereja Tiberias. Minyak urapan dan Perjamuan kudus menjadi
sarana kuasa ilahi dan tidak lagi sekedar simbol atas karya Kristus bagi
orang-orang percaya.
- DEMONSTRASI
KUASA DAN KEPEMIMPINAN YANG BAIK
Berdasarkan pengamatan saya yang
tampak pada Yesaya Pariadji bahwa ada 2 (dua) hal yang menonjol kepada
pelayanan Yesaya Pariadji:
Pertama
: Demonstrasi kuasa Roh Kudus,
dan
Kedua :
Kepemimpinan yang berwibawa.
Dalam
kesaksian pribadinya, ia melayani dan membangun gerejayang hidup dan penuh
kuasa dan mengembalikan kembali kuasa minyak urapan dan perjamuan kudus seperti
pada zaman kisah para Rasul, sesuai dengan hatinya Bapa Surgawi.
Tuhan yang amanahkan kepada Yesaya
Pariadji ialah untuk membebaskan dan menyembuhkan orang dari segala
penderitaan, segala penyakit, dan dari segala kutuk. Kemajuan Gereja Tiberias
Indonesia, begitu cepat berkembang di seluruh Indonesia, tidak terlepas dari
kepemimpinan Yesaya Pariadji. Yesaya Pariadji mengatakan bahwa dirinya paling
jujur. Menurut pendapat saya, kesaksian-kesaksian Yesaya Pariadji memberikan
wibawa khususnya sehingga jemaat-jemaatnya, pembantu-pembantunya, dan
murid-muridnya “sangat menghormatinya”. Yesaya Pariadji adalah pemimpin yang baik
dan berwibawa. Kalau dia pembohong terhadap sesamanya, jemaatnya, dan para
pembantu-pembantunya, maupun terhadap orang lain, yang pasti orang-orang
dekatnya akan segera meninggalkan dia, dan gerejanya akan berkurang yang
mengunjunginya.
BELAJAR
DARI GEREJA MULA-MULA
Kalau
kita baca kisah para Rasul-rasul, kelahiran dan pertumbuhan gereja-gereja
sangat pesat, dalam hal kuantitas maupun kualitas iman jemaatnya. Dari kisah
para Rasul tersebut mengenai pertumbuhan – pengembangan gereja dapat dicontoh
bagi gereja sepanjang masa. Apa yang kita contoh dari perkembangan –
pertumbuhan jemaat kisah Rasul memberi 2 (dua) hal:
Pertama : Faktor yang mempengaruhi
pertumbuhan gereja, dan
Kedua : Faktor kepemimpinan yang baik.
Pada
awalnya, demonstrasi kuasa Roh Kudus dalam setiap pewartaan Firman Tuhan adalah
hal yang umum. Para Rasul dapat menyelesaikan semua masalah dengan mengandalkan
kuasa Rohul Kudus, bukan dengan akal – pikiran – hikmat manusia, dan bukan
karena kekuatan manusia. mereka dapat menyembuhkan orang-orang sakit, kerasukan
setan, dan lain-lain. Yang sakit didoakan secara terus menerus dengan keyakinan
yang penuh kepada Tuhan. Hasilnya semuanya terjawab,mereka sehat, dan dapat
melakukan tugas-tugasnya dengan baik (Bad. KPR 3, 9, 14, dan 20). Bagi yang
dipenjarakan karena mewartakan Firman Tuhan, mereka terus menerus berdoa,
mereka tidak kunjungi jemaatnya yang dipenjara, mereka cukup didoakan ternyata
mereka dilepaskan tanpa syarat. Kalau diperhatikan pola yang dipergunakan oleh
Kisah Para Rasul ada 2 (dua) tokoh yang ditonjolkan, tokoh pertama ialah Petrus
(KPR 1 s/d Pasal 12) yang orientasinya kepada gereja Yahudi yang pusatnya di
Yerusalem. Tokoh kedua ialah Paulus (KPR 13 s/d 18). Faktor kedua tokoh ini
sangat dominan pada kehidupan gereja zaman Rasul, kepemimpinannya luar biasa
dalam pembangunan jemaat Kristen. jika kita lihat dari keterpanggilan Rasul
Petrus, dia mulai sebagai murid Tuhan Yesus Kristus, sedangkan Paulus dimulai
dari panggilan dan pertobatannya, yang mendapat perintah dari Tuhan Yesus
Kristus. Kedua Rasul ini memiliki khas masing-masing, namun memiliki kisah
pengorbanan yang istimewa. Petrus bersama Tuhan Yesus, berbagai tantangan, dan
penderitaan telah dialami, dia diancam dan dimasukkan ke dalam penjara,
berbagai kesulitan dia hadapi, namun karena kuasa Roh Kudus dia mampu bertahan.
Rasul Paulus lebih banyak lagi mengalami penderitaan (dibanding dengan
Rasul-rasul lainnya) Bad. 2 Korintus 11 … hidupnya sangat susah, tapi dia tetap
tegar tahan menghadapi tantangan dalam amanah / tugas yang disampaikan oleh
Yesus Kristus. Dia beberapa kali masuk penjara, disiksa dengan macam-macam
penderitaan, dia tetap bersabar, dengan kekuatan dari Roh Kudus. Tugas-tugas
pewartaan Firman Tuhan tidak terhalang dengan tidak bermaksud untuk
menyombongkan diri. Rasul Paulus memberitahukan bahwa dirinya adalah murid yang
terbaik dari guru yang terkenal pada masa itu “Gamaliel” (KPR 23:3), ia
memiliki kemampuan manajerial yang sangat baik, dengan prestasinya paling banyak
mendirikan jemaat. Rasul Paulus adalah guru yang terkenal, memiliki pengetahuan
yang luas, cerdas, cakap, memiliki keterampilan yang luar biasa, rajin dan
sungguh-sungguh dalam pelayanan. Paulus, Petrus tetap komit dalam tugas-tugas
pewartaan Firman Tuhan, walaupun pemimpin-pemimpin agama mengultimatum mereka
agar mereka menghentikan kegiatan pewartaan Firman Tuhan. (KPR 2:14; 4:10…)
tapi karena kuasa Roh Kudus yang membimbing, menuntunnya, mereka tetap
bersabar, walau banyak ancaman, penolakan, bahkan pembunuhan, tetap
melaksanakan tugas-tugasnya dengan tidak takut, itu semua karena Roh Kudus
bekerja di dalam kehidupan para Rasulnya Yesus Kristus.
III.
KESIMPULAN DAN PENERAPAN
a.
Dari uraian di atas, saya berpendapat
bahwa teori yang disampaikan Peter Wagner, tentang pentingnya kuasa Roh Kudus
dan kepemimpinan yang baik di dalam gereja sangat relevan untuk diterapkan.
Beberapa gembala yang menerapkan strategi ini yang saya amati adalah “ Pdt.
Niko Njotorahardjo, Pdt. Yesayas Pariadji, Pdt. Jacob Nahuway, Pdt. Timotius
Arifin, Pdt. Alex Abraham, Pdt. Yusak Hadisiswantoro, Pdt. Stephen Tong, dll.
Dikalangan pendeta Pantekosta dan Kharismatik pertumbuhan gereja sangat luar
biasa. Beberapa penginjil juga yang datang ke Indonesia mengadakan KKR seperti
Benny Hinn untuk mendemonstrasikan kuasa Roh Kudus. Para jemaat yang datang
adalah bertujuan untuk jamahan Roh Kudus yang membuat banyak mukjizat
kesembuhan. Oleh karena itu, saya mengajak para gembala yang sedang merintis
jemaat (yang memulai pelayanan) supaya meminta kepada Tuhan “kuasa untuk
menyembuhkan orang sakit, mengusir setan-setan, melepaskan orang-orang dari
kuasa kegelapan” (Matius 10:1). Menurut saya, hal itu menunjukkan suatu
kerinduan dan kebutuhan sebab Tuhan sangat menghargai usaha-usaha yang
sungguh-sungguh untuk meminta dari Tuhan (Lukas 11: 1-13).
b.
Bagi masyarakat Indonesia, pemimpin
lebih berperan dari pada sistem. Hal ini juga berlaku di tempat tugas gereja,
pada umumnya. Oleh karena itu teori Peter Wagner menyangkut pertumbuhan gereja
dan menjalankan kepemimpinan yang baik untuk pertumbuhan dan pengembangan
gereja masih relevan, dan keduanya harus berjalan beriringan.
c.
Menjadi pemimpin yang baik, tentu saja
tidak terjadi dalam waktu yang singkat. Setiap orang memerlukan proses menuju
kepemimpinan yang baik, dan membutuhkan waktu dan kesempatan untuk mendewasakan
kepemimpinan itu sendiri. Kita harus bersedia menerima tanggung jawab yang
paling kecil, akan membuka peluang yang lebih besar. Bersamaan dengan tanggung
jawab itu, kita memperoleh kuasa dari Tuhan, sehingga kita mampu untuk memimpin
lebih baik. Seorang pemimpin yang baik akan berusaha untuk menjaga kepercayaan
yang diberikan Tuhan kepadanya.
d.
Beberapa pendeta beraliran Pantekosta
dan Kharismatis, yang melaksanakan demonstrasi kuasa dan kepemimpinan yang baik
yang saya amati sebagaimana saya sebutkan tadi di atas, saya melihat paling
tidak 2 (dua) hal yang ditonjolkan, pertama demonstrasi kuasa Roh Kudus dan
kedua kepemimpinan yang berwibawa. Dalam pengamatan saya misalnya istilah
minyak urapan, adalah sumbangan Gereja Tiberias dalam pelayanan gerejawi di
Indonesia. Disamping itu, perjamuan kudus yang sudah lazim dilaksanakan,
mendapat makna baru dengan penerapan perjamuan kudus di Gereja Tiberias minyak
urapan, dan perjamuan kudus menjadi sarana kuasa ilahi dan tidak sekedar simbol
atas karya Kristus bagi orang percaya.
IV.
PENUTUP
1.
Saya pikir ketokohan pimpinan
gereja-gereja di Indonesia tidak jauh beda dengan ketokohan pemimpin
gereja-gereja Barat. Akan tetapi nama-nama pemimpin gereja-gereja di Indonesia
tenggelam oleh penganggapan tokoh-tokoh gereja Barat, dan mengurangi wibawa
ketokohan pemimpin gereja-gereja di Indonesia. Mahasiswa
Teologi/Kependetaan/PAK di Indonesia dengan gampang dan mudah mengingat
nama-nama teolog Gereja Barat. Mungkin menyebut nama satu tokoh Gereja di
Indonesia sangat sulit. Saya pernah memberi ceramah di salah satu PTT/AK
tentang Keesaan Gereja di Indonesia. Saya menyebutkan nama Kiyai Sadrakh, dan
saya bertanya kepada Saudara-saudara Mahasiswa yang sudah menyusun Skripsi S1
Teologi/Kependetaan, Mahasiswa tersebut dengan senyum, dan bangga menjelaskan
kepada saya, tokoh Sadrack dalam kitab Daniel. Bagi saya selaku pernah menjadi
Dosen, saya merasa bahwa teman-teman saya yang S2, S3 belum begitu akrab dan
mengajarkan tokoh Kristen yang satu ini “Kiyai Sadrakh” adalah penginjil atau
pewarta khabar baik di kalangan orang-orang Jawa, khususnya di Jawa Tengah. Dia
bukan saja seorang tokoh/penginjil, dia juga penggerak dalam bidang pertanian,
peternakan, perikanan, dan pendidikan, serta penggerak ekonomi desa, untuk
masyarakat di sekitarnya.
2.
Saya melihat bahwa Gereja-gereja
Protestan di Indonesia sudah mempelopori teologi kontekstual, akan tetapi masih
sebatas konseptual – abstrak, masih mempergunakan cara-cara/pola pikir Barat.
Sebaliknya, teman-teman Pantekosta/Kharismatik yang berpikiran konkrit, tapi
kurang menerima teologi kontekstual. Alangkah indahnya bila Gereja-gereja di
Indonesia bisa menerima teologi kontekstual dan mengembangkan cara-cara
berpikir konkrit dan praktis.
3.
sudah saatnya Gereja-gereja menghormati
pendiri Gerejanya dengan mengabadikan nama dan perjuangannya dalam buku,
patung, atau orang-orang berjasa secara istimewa dan bukan pengultusan. Yang
patut kita kultuskan hanyalah Tuhan Yesus Kristus. Tapi murid-muridnya yang
istimewa perlu di kenang tentang peran dan pemikirannya, maupun jasa-jasanya.
DAFTAR
KEPUSTAKAAN
1. Peter Wagner, Pertumbuhan Gereja dan Peranan Roh Kudus, Malang. Gandum Mas, 1982.
2. Sutarman Soediman Partowadi, Komunitas Sadrach dan Akar Kontekstualnya,
Jakarta. BPK Gunung Mulia, 2001 dan C. Guillot, Kiai Sadrach Riwayat Kekristenan di Jawa, Jakarta. Gramedi, 1985.
3. Steven H. Talumewo, Sejarah Gerakan Pantekosta, Yogyakarta. ANDI, 2008.
4. Anton Wesseis, Arab dan Kekristenan. Gereja-gereja Kristen di Timur Tengah,
Jakarta. BPK Gunung Mulia, 2001.
5. Petrus Octavianus, Peran dan Pemikiran, Batu Malang. Dep. Literatur YPPII, 1998; Solusi Mengatasi Krisis Bangsa Indonesia,
Batu Malang, Dep. Literatur YPPII, 2002; dan Mengapa Orang Kristen Menerima Pancasila Sebagai Satu-satunya Azas,
Malang. Gandum Mas, 1985.
6. DR. Jacob Tomatala, Kepemimpinan Kristen, Mencari Format Kepemimpinan Gereja yang
Kontekstual di Indonesia, Jakarta, 2002; dan Pemimpin yang Handal, Pengembangan Sumber Daya Manusia Kristen Menjadi
Pemimpin Kompeten, Jakarta, 2005.
7.
Hendrik Kraemer, From Missionfield to Independent Church; Report on Decisive Decade in The Growth of Indigenous Churches in
Indonesia, The Hague: Boekencentrum, 1958.
8. Douglas J. Elwood, Asian Christian Theology, Emerging Themes, Philadelphia:
Westminster Press, 1980.
9.
David J. Bosch, Transforming Mission, New York. ORBIS Book, 1991.
10.
World Mission, A Compendium of The Asia Mission Congress, 1990.
11. Dewan Pertimbangan Presiden, Peranan Agama Dalam Kehidupan Berbangsa dan
Bernegara, Jakarta, 2008.
Orasi
Ilmiah oleh:
DR.
Saur Hasugian, M.Th., D.D.
Dalam
Rangka Wisuda VI STT Tiberias Jakarta
Tanggal
27 Nopember 2012